Friday, 24 July 2015

PEMAHAMAN UMUM TENTANG AUDIT

1.1. Pengertian Audit

Audit atau pemeriksaan paling banyak digunakan pada sektor keuangan, atau lebih jelasnya sebagai pemeriksaan keuangan, apakah itu berkaitan dengan penerimaan uang maupun penggunaan atau proses pengeluaran uang tersebut. Bila kita mendengar kata audit, yang ada di pikiran kita pasti teringat pada seorang yang meneliti dan melakukan pengecekan atas berbagai macam hal terutama yang berkaitan dengan keuangan.
Secara khusus Audit adalah sebuah proses pemeriksaan. Mengingat pentingnya proses audit, maka biasanya
pihak auditor (pihak yang melakukan audit bisa disebut dengan auditor) akan mem erintahkan kepada lembaga/ perusahaan yang akan diaudit untuk menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan. Dalam kasus tertentu  terkadang proses audit dilaku kan oleh s ebuah lembaga audit independent supaya hasilnya bisa lebih dipercaya, biasanya bagi perusahaan akan menunjuk sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terpercaya.

Berbagai ahli memberikan pengertian mengenai audit, beragam defisini diungkapkan, (yang dikutip dari www.carapedia.com) antara lain:
a)  Menurut Arens dan Loebbecke (2003) audit merupakan Suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten.
b)  Mulyadi (2002) menyebutkan pengertian Audit sebagai Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

Menurut (Mulyadi, 2002), berdasarkan beberapa pengertian auditing di atas maka audit mengandung unsur-unsur:
a)  suatu proses sistematis, artinya audit merupakan suatu langkah atau prosedur yang logis, berkerangka dan terorganisasi. Auditing dilakukan dengan suatu urutalangkah yang direncanakan, terorganisasi dan bertujuan.
b)  untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif, artinya proses sistematik ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat oleh individu atau badan usaha serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau berprasangka terhadap bukti-bukti tersebut.
c)  pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi, artinya pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi merupakan hasil proses akuntansi.
d)  menetapkan tingkat kesesuaian, artinya pengumpulan bukti mengenai pernyataan dan evaluasi terhadap hasil pengumpulan

bukti tersebut dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Tingkat kesesuaian antara pernyataan dengan kriteria tersebut kemungkinan dapat dikuantifikasikan, kemungkinan pula bersifat kualitatif.
e)  kriteria yang telah ditetapkan, artinya kriteria atau standar yang dipakai sebagai dasar untuk menilai pernyataan (berupa hasil akuntansi) dapat berupa:
·         peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan legislatif;
·         ang garan at au ukuran  prest asi yang ditet apkan oleh manajemen;
·         prinsip akuntansi berterima umum (PABU) diindonesia
f )  Penyampaian hasil (atestasi), dimana penyampaian hasil dilakukan secara tertulis dalam bentuk laporan audit (audit report)
g)  pemakai yang berkepentingan, pemakai yang berkepentingan terhadap laporan audit adalah para pemakai informasi keuangan, misalnya pemegang saham, manajemen, kreditur, calon investor,
organisasi buruh dan kantor pelayanan pajak.

Berdasarkan sifat dan karakter pekerjaan dan tujuan yang akan dicapai, Audit dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :

a)  Audit Laporan Keuangan (financial statement audit).
Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Hasil audit lalu dibagikan kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.

b)  Audit Kepatuhan (compliance audit).
Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa sesuai dengan kondisi, peratuan, dan undang-undang  tertentu. Kriteria- kriteria yang ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-sumbeyang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya disebut fungsi audit internal, karena oleh pegawai perusahaan.

c)  Audit Operasional (operational audit).
Audit operasional merupakan penelahaan secara sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yang obyektif dan analisis yang komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu.

1.2. Klasifikasi Auditor

Auditor biasanya diklasifikasikan dalam dua kategori berdasarkan siapa yang mempekerjakan mereka, yaitu: Auditor eksternal, dan auditor internal, perbedaannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)  Auditor eksternal. Audit eksternal merupakan pihak luar yang bukan merupakan karyawan perusahaan atau instansi pemerintah terkait, berkedudukan independen dan tidak memihak baik terhadap  auditeenya maupun  terhadapihak-pihak yang berkepentingan dengan auditeenya (pengguna laporan keuangan). Auditor eksternal dapat melakukan setiap jenis audit.
2)  Auditor Internal. Auditor internal adalah pegawai dari perusahaan yang diaudit atau lembaga teknis pemerintah yang memiliki sifat audit internal, auditor ini melibatkan diri dalam suatu kegiatan penilaian independen dalam lingkungan perusahaan atau institusi
pemerintah sebagai suatu bentuk jasa bagi perusahaaan.



 Fungsi dasar dari Internal Audit adalah suatu penilaian, yang dilakukan oleh pegawai perusahaan atau instansi pemerintah terkait yang terlatih mengenai ketelitian, dapat dipercayainya, efisiensi, dan kegunaan catatan-catatan (akutansi) perusahaan/organisasi, serta pengendalian intern yang terdapat dalam perusahaan/organisasi. Tujuannya adalah untuk membantu pimpinan perusahaan/ organisasi (manajemen) dalam melaksanakan tanggungjawabnya dengan memberikan analisa, penilaian, saran, dan komentar mengenai kegiatan yang di audit.
Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor melakukan kegiatan–kegiatan berikut:
  1. Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan sistem pengendalian manajemen, struktur pengendalian intern, dan pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal.
  2. Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur- prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen
  3. Memast i kan s eb erap a jau h har t a p er us a haan/organis asi dipertanggung-jawabkan dan dilindungi dari kemungkinan t e r j adinya  s egala b e n t uk  p e nc ur ia n,  k e c ura n g a n  da n penyalahgunaan.
  4. Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya.
  5. Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh manajemen.
  6. Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka meningkatkan efisensi dan efektifitas.


Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya tersebut dapat disimpulkan bahwa internal auditor antara lain memiliki peranan dalam:
-    Pencegahan Kecurangan (Fraud Prevention),
-    Pendeteksian Kecurangan (Fraud Detection), dan
-    Penginvestigasian Kecurangan (Fraud Investigation).

 1.3. Lembaga Audit

Profesi Auditor sangat dibutuhkan pada berbagai aspek yang berkaitan dengan pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja dan kepatuhan. Apalagi hingga saat ini, dengan diterapkannya prinsip-prinsiGood Governance, pengawasan pengelolaan keuangan negara semakin mempersempit ruang gerak kesempatan untuk melakukan kolusi dan praktik melanggar hukum lainnya.

Auditor yang bekerja untuk kepentingan pemilik, yang ditugaskan melakukan pemeriksaan atas laporan pertanggung jawaban pengurus organisasi, biasanya ditunjuk dari lembaga independen, disebut auditor eksternal. Sedangkan auditor yang dipekerjakan oleh dan untuk kepentingan manajemen, karena posisinya berada di bawah kendali manajemen yang memberi penugasan, disebut auditor internal (STAN, 2007).
Auditor adalah sebuah profesi, diberbagai negara tidak berbeda dengan indonesia auditor memiliki strata tersendiri. Di negara kita, ada dua lembaga yang memberikan jasa sebagai auditor eksternalatau auditor independen, yaitu Kantor Akuntan Publik atau KAP” dan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK (STAN, 2007):
a)  Kantor Akuntan Publik (KAP) yang memiliki izin yang masih berlaku dari Kementerian Keuangan, yang anggotanya tergabung dalam Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Lembaga ini biasanya melakukan audit terhadalaporan keuangan perusahaan komersial dan institusi/lembaga non pemerintah berdasarkan perintah stakeholder, biasanya oleh Komisaris selaku wakil dari pemegang saham, yang dituangkan dalam satu perikatan (SPK/ Kontrak).
b)  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang- undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Sesuai dengan agency theroy bahwa ada pemberi tugas dan ada peneriman tugas.begitu pula dengan auditor, auditor internal dipekerjakan oleh manajemen/pimpinan  organisasi (Direksi atau Kepala Pemerintahan, Menteri/ Kepala LPND) untuk dan atas nama serta bertanggung jawab kepada manajemen. Tenaganya dapat berasal dari para profesional yang disewa secara temporer (sesuai kebutuhan/ tidak permanen) dari luar (outsource) atau dari sumber internal yanditampung dalam satu wadah (institusi/satuan kerja) yang madiri dan bersifat permanen dan secara khusus diberi tugas melaksanakan fungsi pengawasan.
Tugas utama audit internal adalah memberikan pendampingan dan pengawasan pengelolaan keuangan. Pemerintah Indonesia memiliki salah satu Auditor Internal yaitu BPKP. Ada banyak lembaga audit internal yang bersifat permanen dengan tugas membantu manajemen di bidang pengawasan dalam pengelolaan keuangan, antara lain (STAN, 2007):
  • Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yaitu lembaga audit internal pemerintapusat, dibentuk dengan Keputusan Presiden, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
  • Inspektorat Jenderal Kementerian/Unit  Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), merupakan auditor internal di lingkungan masing-masing Kementerian/LPND.
  • Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota sebagai auditor internal di lingkungan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten/ Kota.
  • Auditor internal pada Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta yang disebut dengan berbagai istilah, seperti Satuan Pemeriksa Intern (SPI), Kantor Audit Internal (KAI), Satuan Kerja Audit Internal (SKAI).


Berbagai profesi biasanya memiliki asosiasi yang menaunginya, begitu pula untuk auditor internal di Indonesia, telah berdiri Konsorsium Organisasi Profesi Audit Internal, terdiri dari The Institute of Internal Auditors Indonesia Chapter, Forum Komunikasi Satuan Pengawasan Intern BUMN/BUMD, Yayasan Pendidikan Internal Audit, Dewan Sertifikasi Qualified Internal Audit, Perhimpunan Audit Internal Indonesia, dan Asosiasi Auditor Internal (STAN, 2007).

1.4. Audit Sektor Publik

Sebagian cerita di atas adalah bagaimana proses pemeriksaan atau audit dilakukan pada organisasi perusahaan atau lembaga bisnis private. Sementara untuk organisasi sektor publik isu pemeriksaan hanya baru terasa 10 tahun terakhir setelah era reformasi.
Audit terhadap institusi sektor publik menjadi terasa penting saat baru disadari bahwa lembaga eksekutif sebagai pihak yang mengelola uang negara yang merupakan uang rakyat, uang orang banyak, perlu untuk dipertanggungjawabkan penggunanaanya dan perlu diperiksa kewajarannya. Audit terhadap sektor publik menjadi fokus perhatian karena dinilai instansi pemerintah tidak terbuka terhadap masyarakat mengenai kondisi keuangan sebenarnya dan instansi sektor publik rawan akan penyalahgunaan dana sehingga dibutuhkan aturan yang ketat dan audit yang independen terhadap pemeriksaan laporan keuangan instansi pemerintahan.
Audit terhadap sektor publik sangat penting dilakukan hal ini merupakan bentuk tanggung jawab sektor publik (pemerintah pusat dan daerah) untuk mempertanggungjawabkan dana yang telah digunakan oleh instansi sehingga dapat diketahui pemanfaatan dana tersebut dilaksanakan sesuai prosedur dan standar atau tidak.
Banyak sekali suara miring tentang penyalahgunaan wewenang para penyelenggara negara, korupsi, kolusi dan nepotisme. Berbagai kritik bahwa keberadaan sektor publik tak efisien dan jauh tertinggal dengan kemajuan dan perkembangan yang terjadi di sektor swasta lembaga sektor publik masih memiliki kesempatan yang luas untuk memperbaiki kinerja dan memanfaatkan sumberdaya secara ekonomis efisien dan efektif. Istilah akuntabilitas publik value for money reformasi sektor publik privatisasi good public governancetelah begitu cepat masuk kedalam kamus sektor publik (Mardiasmo2004:17).
Bahkan istilah pemeriksaan khusus terhadap kasus-kasus yg diperkirakan mengandung unsur penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sudah dikenal luas di lingkungan pemerintahan dan BUMN/BUMD (Karni, 2000:117).


1.5. Institusi Sektor Publik

Menurut Mahsun dkk (2007) bahwa sektor publik dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan umum dan penyediaan barang dan jasa kepada publik yang dibayar melalui pajak atau pendapatan negara lainnya yang diatur dengan hukum. Dalam kerangka pemahaman sektor publik maka barang publik yang dimaksud tidak hanya berupa dalam bentuk barang secara fisik namun juga mengandung makna non fisik yaitu pelayanan publik (untuk selanjutnya dalam bab ini barang publik juga diartikan sebagai pelayanan publik). Dari berbagai literatur, barang publik dapat dikategorisasikan menjadi dua jenis, yaitu:
a)  Barang publik murni (pure public goods), contohnya: pertahanan nasional (defence) dan layanan pemadam kebakaran (fire service), dimana pengadaan barang publik murni ini dibiayai dari pajak. Dengan begitu terdapat empat karakteristik barang publik murni, sebagai berikut:
  1. Non rivalry in consumption, maksudnya barang publik merupakan konsumsi umum  sehingga konsumen tidak bersaing dalam mengkonsumsinya.
  2. Non-exclusive, maksudnya penyediaan barang publik tidak hanya diperuntukkan bagi seseorang dan mengabaikan yang lainnya sehingga tidak ada yang eksklusif antar individu dalam masyarakat, semua orang memiliki hak yang sama untuk mengkonsumsinya.
  3. Low excludability, maksudnya penyedia atau konsumen suatu barang tidak bisa menghalangi atau mengecualikan orang lain untuk menggunakan atau memperoleh mamfaat dari barang tersebut.
  4. Low competitive, maksudnya antar penyedia barang publik tidak saling bersaing secara ketat, hal ini karena keberadaan barang ini tersedia dalam jumlah dan kualitas yang sama.

b)  Barang semi publik (quasi-public goods) atau biasa juga disebut common pool goods, yaitu barang-barang atau jasa kebutuhan masyarakat yang mamfaat barang atau jasa dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, namun apabila dikonsumsi oleh individu tertentu akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Barang atau jasa ini sebetulnya mempunyai daya saing yang tinggi tetapi non excludable, maksudnya penyedia atau konsumen barang atau pelayanan publik ini tidak bisa menghalangi/mengecualikan orang lain untuk menggunakan serta memperoleh mamfaat dari barang tersebut, meskipun konsumsi seseorang akan mengurangi keberadaaan barang atau jasa tersebut. Contohnya adalah pelayanan kesehatan dan pendidikan. Penyediaan barang atau jasa semi publik ini sebagian dapat dibiayai oleh sektor publik dan sebagian lainnya dibiayai oleh sektor privat.

Berdasarkan penjelasan diatas, keberadaan sektor publik tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan barang publik yang menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga keberadaan sektor publik ditengah masyarakat tidak bisa dihindarkan (inevitable). Dengan demikian, menurut  Jones dan Bates (1990) terdapat tiga peran utama sektor publik dalam masyarakat yaitu:
1)  Regulatory role, sektor publik berperan dalam menetapkan segala aturan yang berkaitan dengan kepentingan umum, karena tanpa ada aturan maka ketimpangan akan terjadi dalam masyarakat. Bisa saja sebagian masyarakat akan dirugikan karena tidak mampu/ mendapatkaakses memperoleh barang atau layanan yang sebetulnya untuk umum sebagai akibat dari penguasaan barang atau layanan tersebut oleh kelompok masyarakat lainnya.
2)  Enabling role, adalah peran sektor publik dalam menjamin terlaksananya peraturan yang sudah ditetapkan dalam penyediaabarang dan jasa publik, dimana sektor publik harus dapat memastikan kelancaran aktivitas pelaksanaan program dan kegiatan yang diperuntukkamasyarakat. Implikasinya sektor publlik diberi kewenangan untuk penegakkan hukum (law enforcement) dalam kaitannya menjamin ketersediaan barang dan jasa publik yang sesuai dengan hukum.
3)  Direct provision of goods and services, karena semakin kompleksnya area yang harus di cover oleh sektor publik dan adanya keterbatasan dalam pembiayaan barang dan jasa publik secara langsung maka pemerintah dapat melakukan privatisasi. Sehingga disini peran sektor publik adalah ikut mengendalikan/mengawasi sejumlah proses pengadaan barang dan jasa publik serta regulasi yang ditetapkan sehingga tidak merugikan masyarakat.

Jika dilihat dari definisi dan peran sektor publik tersebut di atas, maka dengan kata lain sektor publik adalah government (pemerintah) yang berfungsi untuk  mensejahterakamasyarakat, dimana pemerintah diberi kekuasaan oleh masyarakat untuk mengatur dan menjamin pemenuhan kebutuhan barang dan jasa publik yang berdasarkan hukum.


Organisasi Sektor Publik

Organisasi secara umum dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang berkumpul  dan berker jasama dengan cara yang terstruktuuntuk mencapai tujuan atau sejumlah sasaran tertentu yang telah ditetapkan bersama-sama. Apabila dilihat dari tujuan dan sumber pendanaannya maka terdapat 2 tipe organisasi sektor publik (Mahsun dkk, 2007) yaitu:
1)  Pure non-profit organization, tujuan organisasi ini adalah menyediakan atau menjual barang dan/atau jasa dengan maksud untuk melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumber pendanaan organisasi ini berasal dari pajak, retribusi, dan pemenerimaan pemerintah lainnya.

2)  Quasi non-profit organization, tujuan organisasi ini adalah menyediakan atau menjual barang dan/atau jasa dengan maksud untuk melayani dan memperoleh keuntungan (surplus). Sumber pendanaan organisasi ini bersal dari investor pemerintah/swasta dan kreditor.

Dalam perkembangannya di setiap negara cakupan organisasi sektor publik sering tidak sama, sehingga tidak ada definisi yang secara komprehensif memformulasikan secara baku menyatakan cakupan organisasi sektor publik untuk semua sistem pemerintahan. Sehingga dalam suatu pemerintahadimungkinkan terdiri dari berbagai macam organisasi sektor publik yang pendirian dan fungsinya memiliki misi tersendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia sendiri organisasi sektor publik yang bertujuan non-profit  contohnya adalah Badan Layanan Umum (BLU) dan yayasan sosial yang dibiayai pemerintah. Sedangkan organisasi sektor publik yang bertujuan mencari laba contohnya adalah BUMN/BUMD. Banyaknya variasi dari organisasi sektor publik juga disebabkan adanya perubahan lingkungan organisasi itu sendiri karena secara natural para manager/pimpinan  organisasi akan selalu berupaya mengembangkan berbagai pendekatan yang paling efektif dan efisien untuk meningkatkan kinerja organisasi secara terus menerus, bahkan menurut Niviari (2008), berbagai organisasi sektor publik di Amerika terutama agen-agen pemerintahan justru yang memulai dalam inovasi dan pengembangan manajemen kinerja.
Selanjutnya menurut  Mahsun dkk (2007) bentuk adaptasi organisasi sektor publik dalam menghadapi pesatnya perubahan lingkungan antara lain:
1)  Struktur yang terlalu birokratik dan bertingkat mengalami pemangkasan, karena model struktur yang terlalu birokratik dalam prakteknya tidak efektif untuk meningkatkan produktifitas organis asi, memic u ter j adinya praktek KKN dan s er ing mengecewakan users.

2)  Sistem sentralisasi mulai banyak diubah menjadi desentralisasi, yaitu memunc ulnya unit-unit  p er t ang gungjawab an at as pendelegasian kewenangan yang mempunyai keleluasaan untuk mengatur dan mengelola sumber daya yang dimiliki.
3)  Melakukan perbaikan organisasi berbasis kinerja, dimana laporan pengukuran kinerja mulai dilengkapi tidak hanya berisikan tentang penggunaan anggaran tetapi lebih berorientasi pada input, output, outcome dan benefit. Disamping itu juga adanya umpan balik berupa saran dan rekomendasi perbaikan kinerja untuk tahun berikutnya.
4)  Pe ng ambi lan ke putus an dilaku kan s e cara cepat dengan membangun sistem informasi manajemen yang handal sebagai respon atas semakin kompleksnya transaksi organisasi.
5)  Adanya perbedaan yang sistematis terhadap individu-individu dalam organisasi, merupakan akibat dari pengembangan kapasitas anggota organisasi atas respon dari perubahan lingkungan organisasi.
6)  Munculnya kesadaran yang tinggi atas pentingnya ukuran kinerja non finansial, sebagai akibat dari tuntutan  optimalisasi tingkat kepuasan masyarakat atas penyediaan barang atau pelayanan publik.
7)  Berdasarkan ciri-ciri adaptasi organisasi sektor publik tersebut diatas, jika dikaitkan dengan pekembangan organisasi sektor publik di Indonesia maka dapat dilihat bahwa pemerintah kita saat ini telah mengarah pada perubahan manajemen sektor publik secara sistematis dimulai dari pembentukan undang-undang otonomi daerah sampai dengan undang-undang yang mengatur keuangan negara.


1.6. Akuntansi Sektor Publik

Bila dicermati lebih dalam mengenai ciri dari organisasi sektor publik bahwa sebenarnya institusi sektor publik wajib keberadaanya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tentu memiliki konswekwensi pendanaan, artinya dibutuhkan anggaran pengeluaran sebagai akibat aktifitas pelayanan tersebut.
Dana atau anggaran pengeluar an y ang di kelola harus dipertanggungjawabkan dengan menggunakan model pertanggungjawaban yang memiliki standar pencatatan yang sama, yaitu standar akuntansi pemerintah. Sektor publik adalah manajemen keuangan yang berasal dari publik sehingga menimbulkan konsekuensi untuk dipertanggung jawabkan kepada publik. Dengan demikian, pengelolaannya memerlukan keterbukaan dan akuntabilitas terhadap publik.
Dengan demikian dalam setiap institusi sektor publik wajib adanya akuntansi yang disebut sebagai Akuntansi sektor publik. Akuntansi sektor publik adalah sistem akuntansi yang dipakai oleh lembaga-lembaga publik sebagai salah satu alat pertanggung jawaban kepada publik. Sekarang terdapat perhatian yang makin besar terhadap praktek akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga publik, baik akuntansi sektor pemerintahan maupun lembaga publik non-pemerintah. Lembaga publik mendapat tuntutan dari masyarakat untuk dikelola secara transparan dan bertanggung jawab.
Organisasi sektor publik menghadapi tekanan untuk lebih efisien, memperhitungkan  biaya ekonomi dan biaya sosial dan memanfaatkannya bagi publik, serta dampak negatif atas aktivitas yang dilakukan. Berbagai tuntutan tersebut menyebabkan akuntansi dapat diterima sebagai ilmu yang dibutuhkan  untuk mengelola urusan-urusan  publik. Akuntansi sektor publik sedang mengalami proses untuk menjadi disiplin ilmu yang lebih dibutuhkan.
Organisasi sektor publik luas lingkupnya dengan berbagai karakteristik. Ruang lingkup akuntansi sektor publik meliputi badan-badapemerintahan  (pemerintah  pusat, pemerintah daerah, dan unit-unit  kerja pemerintah), organisasi sukarelawan, rumah sakit, perguruan tinggi dan universitas, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, organisasi politik, dan sebagainya.

Seperti telah disebutkan di atas, proses pencatatan akuntansi harus memiliki standarisasi yang sama. Sistem akuntansi untuk badan-badan pemerintahaharus mengikuti standar akuntansi pemerintah (SAP) seperti dimaksud dalam undang-undang nomo17 tahun 2003 pasal 32, undang-undang nomor 1 tahun 2004 pasa51 ayat 3, dan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 2005. Di sisi lain, unit-unipemerintah yang bergerak di bidang bisnis (BUMN dan BUMD) harus mengikuti standar akuntansi keuangan yang dikeluarkan oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia). Sementara itu, organisasi publik non pemerintahan mengikuti standar akuntansi keuangan.
Salah satu bentuk penerapan teknik akuntansi sektor publik adalah di organisasi BUMN. Pada tahun 1959 pemerintahan orde lama mulai melakukan kebijakan-kebijakan berupa nasionalisasi perusahaan asing yang ditransformasi menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tetapi karena tidak dikelola oleh manajer profesional dan terlalu banyaknya politisasi atau campur tangan pemerintah, mengakibatkan perusahaan tersebut hanya dijadikasapi perah oleh para birokrat. Sehingga sejarah kehadirannya tidak memperlihatkan hasil yang baik dan tidak menggembirakan.
Kondisi ini terus berlangsung pada masa orde baru. Lebih b er tolak b elakang lagi pada s aat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang fungsi dari BUMN. Dengan memperhatikan beberapa fungsi tersebut, konsekuensi yang harus ditanggung oleh BUMN sebagai perusahaan publik adalah menonjolkan keberadaannya sebagai agent of development daripada sebagai business entity. Terlepas dari itu semua, bahwa keberadaan praktik akuntansi sektor publik di Indonesia dengan status hukum yang jelas telah ada sejak beberapa tahun bergulir dari pemerintahan yang sah. Salah satunya adalah Perusahaan Umum Telekomunikasi (1989).

Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal

Wednesday, 15 July 2015

ALAT DAN BUKTI AUDIT

Prinsip audit adalah pemeriksaan dengan bukti nyata. Kegiatan audit adalah membuktikan dapat dipercaya atau tidaknya informasi yang disajikan dalam laporan yang diaudit. Olehkarena itu, dalam pelaksanaan audit, auditor melakukan kegiatan pengumpulan bukti audit, yaitu hal yang dapat digunakan sebagai bukti untuk mendukung kesimpulan-kesimpulan yang akan diambil oleh auditor.

Bukti audit (audit evidence) mendukung laporan keuangan yang terdiri dari data akuntansi dan semua informasi penguat yang tersedia bagi auditor. Jurnal, buku besar dan buku pembantu, dan buku pedoman akuntansi yang berkaitan, serta catatan seperti lembaran kerja (work sheet) dan spread sheet yang mendukung alokasi biaya, perhitungan, dan rekonsiliasi keseluruhannya merupakan bukti yang mendukung laporan keuangan. Ukuran keabsahan (validity) bukti tersebut untuk tujuan audit tergantung pada pertimbangan auditor independen; dalam hal ini bukti audit berbeda dengan bukti hukum (legal evidence) yang diatur secara tegas oleh peraturan perundang- undangan.

1.1. Jenis-jenis bukti Audit

Bukti audit dapat dikelompokkan ke dalam 9 jenis bukti. Berikut ini dikemukakan ke Sembilan jenis bulti tersebut (Tyastuty, 2013):

1) Struktur Pengendalian Intern
Struktur pengendalian intern dapat dipergunakan untuk mengecek ketelitian dan dapat dipercayai data akuntansi. Kuat lemahnya struktur pengendalian intern merupakan indicator utama yang menentukan jumlah bukti yang harus dikumpulkan. Oleh karena itu, struktur pengendalian intern merupakan bukti yang kuat untuk menentukan dapat atau tidaknya informasi keuangan dipercaya.

2) Bukti Fisik
Bukti fisik banyak dipakai dalam verifikasi saldo berwujud terutama kas dan persediaan. Bukti ini banyak diperoleh dalam perhitungan aset berwujud. Pemeriksaan langsung auditor secara fisik terhadap aset merupakan cara yang paling obyektif dalam menentukan kualitas yang bersangkutan.
Oleh karena itu, bukti fisik merupakan jenis bukti yang paling dapat dipercaya. Bukti fisik diperoleh melalui prosedur auditing yang berupa inspeksi penghitungan, dan observasi. Pada umumnya biaya memperoleh bukti fisik sangat tinggi. Bukti fisk berkaitan erat dengan keberadaan atau kejadian, kelengkapan, dan penilaian atau alokasi.

3) Catatan Akuntansi

Catatan akuntansi seperti jurnal dan buku besar, merupakan sumber data untuk membuat laporan keuangan. Oleh karena itu, bukti catatan akuntansi merupakan obyek yang diperiksa dalam audit laporan keuangan. Ini bukan berarti catatan akuntansi merupakan obyek audit. Obyek audit adalah laporan keuangan. Tingkat dapat dipercayanya catatan akuntansi tergantung kuat lemahnya struktur pengendalian intern.

4) Konfirmasi

Konfirmasi merupakan proses pemerolehan dan penilaian suatu komunikasi langsung dari pihak ketiga sebagai jawaban atas permintaan informasi tentang unsur tertentu yang berdampak terhadap asersi laporan keuangan. Konfirmasi merupakan bukti yang sangat tinggi reliabilitasnya karena berisi informasi yang berasal dari pihak ketiga secara langsung dan tertulis.
Konfirmasi sangat banyak menghabiskan waktu dan biaya. Ada tiga jenis konfirmasi, yaitu:
a) Konfirmasi positif 
b) Blank confirmation 
c) Konfirmasi negatif

Konfirmasi yang dilakukan auditor pada umumnya dilakukan pada pemeriksaan:
a) Kas di bank dikonfirmasikan ke bank klien
b) Piutang usaha dikonfirmasikan ke pelanggan
c) Persediaan yang disimpan di gudang umum. Persediaan ini dikonfirmasikan ke penjaga atau kepala gudang
d) Hutang lease dikonfirmasikan kepada lessor

5) Bukti Dokumenter

Bukti dokumenter merupakan bukti yang paling penting dalam audit. Menurur sumber dan tingkat kepercayaannya bukti, bukti dokumenter dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Bukti dokumenter yang dibuat pihak luar dan dikirim kepada auditor secara langsung
b) Bukti dokumenter yang dibuat pihak luar dan dikirim kepada auditor melalui klien
c) Bukti dokumenter yang dibuat dan disimpan oleh klien
Bukti dokumenter kelompok a mempunyai kredibilitas yang lebih tinggi daripada kelompok b. Bukti dokumenter kelompok b mempunyai kredibilitas yang lebih tinggi daripada kelompok c. bukti dokumenter meliputi notulen rapat, faktur penjualan, rekening Koran bank (bank statement), dan bermacam-macam kontrak. Reliabilitas bukti dokumenter tergantung sumber dokumen, cara memperoleh bukti, dan sifat dokumen itu sendiri.

Sifat dokumen mengacu tingkat kemungkinan terjadinya kesalahan atau kekeliruan yang mengakibatkan kecacatan dokumen. Bukti dokumenter banyak digunakan secara luas dalam auditing. Bukti dokumenter dapat memberikan bukti yang dapat dipercaya (reliabel) untuk semua asersi.

6) Bukti Surat Pernyataan Tertulis
Surat pernyataan tertulis merupakan pernyataan yang ditandatangani seorang individu yang bertanggung jawab dan berpengetahuan mengenai rekening, kondisi, atau kejadian tertentu.

Bukti surat pernyataan tertulis dapat berasal dari manajemen atau organisasi klien maupun dari dari sumber eksternal termasuk bukti dari spesialis. Reprentation letter atau representasi tertulis yang dibuat manajemen merupakan bukti yang berasal dari organisasi klien. Surat pernyataan konsultan hokum, ahli teknik yang berkaitan dengan kegiatan teknik operasional organisasi klien merupakan bukti yang berasal dari pihak ketiga. Bukti ini dapat menghasilkan bukti yang reliable untuk semua asersi.

7) Perhitungan Kembali sebagai Bukti Matematis

Bukti matematis diperoleh auditor melalui perhitungan kembali oleh auditor. Penghitungan yang dilakukan auditor merupakan bukti audit yang bersifat kuantitatif dan matematis. Bukti ini dapat digunakan untuk membuktikan ketelitian catatan akuntansi klien. Perhitungan tersebut misalnya:

a) Footing untuk meneliti penjumlahan vertical
b) Cross-footing untuk meneliti penjumlahan horizontal
c) Perhitungan depresiasi Bukti matematis dapat diperoleh dari tugas rutin seperti penjumlahan total saldo, dan perhitungan kembali yang rumit seperti penghitungan kembali anuitas obligasi.

Bukti matematis menghasilkan bukti yang handal untuk asersi penilaian atau pengalokasian dengan biaya murah, walaupun memakan waktu yang cukup lama dan dibutuhkan ketelitian yang tinggi dalam proses perhitungan ulang.

8) Bukti Lisan
Auditor dalam melaksanakan tugasnya banyak berhubungan dengan manusia, sehingga ia mempunyai kesempatan untuk mengajukan pertanyaan lisan. Masalah yang ditanyakan antara lain meliputi kebijakan akuntansi, lokasi dokumen dan catatan, pelaksanaan prosedur akuntansi yang tidak lazim, kemungkinan adanya utang bersyarat maupun piutang yang sudah lama tak tertagih. Jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan merupaka bukti lisan. Bukti lisan harus dicatat dalam kertas kerja audit. Bukti ini dapat menghasilkan bukti yang berkaitan dengan semua asersi.

9) Bukti Analitis dan Perbandingan
Bukti analitis mencakup penggunaan rasio dan perbandingan data klien dengan anggaran atau standar prestasi, trend industry, dan kondisi ekonomi umum. Bukti analitis menghasilkan dasar untuk menentukan kewajaran suatu pos tertentu dalam laporan keuangan dan kewajaran hubungan antas pos-pos dalam laporan keuangan. Keandalan bukti analitis sangat tergantung pada relevansi data pembanding.
Bukti analitis berkaitan serta dengan asersi keberadaan atau keterjadian, kelengkapan, dan penilaian atau pengalokasian. Bukti analitis meliputi perbandingan atas pos-pos tertentu antara laporan keuangan tahun berjalan dengan laporan keuangan tahun sebelumnya. Perbandingan in dilakukan untuk meneliti adanya perubahan yang terjadi dan untuk menilai penyebabnya.

1.2. Temuan Audit

Temuan audit adalah himpunan data dan informasi yang dikumpulkan, diolah dan diuji selama melaksanakan tugas audit atas kegiatan instansi tertentu yang disajikan secara analitis menurut unsur-unsurnya yang dianggap bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Menurut Murwanto dkk (2007) selain untuk menguji kelayakan penyajian laporan keuangan auditan, dalam audit atas laporan keuangan, auditor juga disyaratkan untuk menguji efektifitas pengendalian intern, memeriksa kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundangan serta memeriksa kemungkinan terjadinya kecurangan dan ketidakpatutan.

Temuan audit yang berupa temuan atas pengendalian intern, temuan atas ketaatan terhadap peraturan per undangan dan temuan kecurangan dan ketidakpatutan selanjutnya harus disajikan menurut elemen temuan yang terdiri dari kriteria, kondisi, sebab dan akibat. Hal ini dimaksudkan untuk membantu manajemen atau lembaga pengawas auditan dalam memahami perlunya untuk melakukan tindakan perbaikan. Sebagai tambahan auditor juga harus memberikan rekomendasi untuk tindakan perbaikan. Merujuk pendapat Mur wanto dkk (2007) temuan audit dirinci sebagai berikut:

1) Temuan atas pengendalian Intern
Tujuan utama auditor dalam mempelajari pengendalian intern adalah untuk memperkirakan risiko pengendalian dalam menentukan lingkup pengujian substantif yang berhubungan. Selama memahami pengendalian intern dan memperkirakan risiko pengendalian, auditor bisa jadi menemukan kelemahan yang signifikan dalam kebijakan dan prosedur pengendalian intern yang tidak diketahui oleh komite audit atau pihak lain yang memiliki kewenangan yang sama.

Hal-hal ini disebut juga keadaan-keadaan yang dapat dilaporkan (reportable conditions). Keadaan yang dapat dilaporkan didefinisikan sebagai hal-hal yang menjadi perhatian auditor yang menurut penilaiannya hal-hal tersebut harus dikomunikasikan kepada komite audit atau pihak lain yang memiliki kewenangan yang sama karena hal-hal ini menunjukkan kekurangan yang penting dalam perancangan dan pengoperasian pengendalian intern, di mana hal-hal ini dapat memberikan dampak negatif bagi kemampuan auditan dalam mencatat, mengolah, mengikhtisarkan dan melaporkan data keuangan secara konsisten dengan asersi- asersi manajemen dalam laporan keuangan.

Contoh-contoh dari keadaan yang dapat dilaporkan:

a) Tidak adanya pemisahan tugas yang memadai. (orang yang sama yang menyetor kas, mencatat penerimaan kas, atau orang yang sama yang menghitung persediaan dan memelihara catatan persediaan);
b) Tidak adanya otorisasi dan telaah yang memadai atas transaksi, pencatatan akuntansi, atau keluaran sistem. (Tidak ada orang yang mengotorisasi faktur pembelian sebelum dilakukan pembayaran);
c) Tidak cukupnya batasan-batasan untuk mengamankan aset; 
d) Bukti yang menunjukkan terjadinya kegagalan dalam mengamankan aset dari kerugian, kerusakan atau kehilangan;
e) Bukti yang menunjuk kan bahwa sistem gagal untuk menyediakan keluaran yang lengkap dan tepat sesuai dengan tujuan pengendalian auditan karena kesalahan pelaksanaan kegiatan pengendalian;
f ) Bukti adanya kesengajaan untuk melangkahi pengendalian intern oleh pihak-pihak yang karena kewenangannya memiliki kesempatan untuk melakukan hal terssebut. (Kepala kantor menandatangani cek yang disiapkan tanpa dokumen-dokumen pendukung dan otorisasi).
g) Bukti yang menunjukkan kelalaian untuk melakukan tugas yang merupakan bagian penting dalam pengendalian intern seperti tidak adanya rekonsiliasi, atau rekonsiliasi yang dibuat tidak pada waktunya.
h) Kelemahan dalam lingkungan pengendalian pada auditan seperti tidak adanya sikap yag positif dan mendukung efektifitas pengendalian intern dari manajemen auditan.
i) Kurang memadainya perancangan dan pelaksanaan pengendalian intern yang dapat menyebabkan pelanggaran p raturan perundangan, kecurangan dan KKN, atau ketidakpatutan yang memiliki dampak langsung dan material terhadap laporan keuangan atau tujuan audit; dan
j) Kelalaian untuk menindaklanjuti dan memperbaiki kekurangan yang teridentifikasi sebelumnya dalam pengendalian intern. Standar auditing mensyaratkan auditor untuk mengkomunikasikan keadaan yang dapat dilaporkan kepada komite audit sebagai bagian dalam setiap audit. Jika auditan tidak memiliki komite audit, laporan ini harus dikomunikasikan kepada orang-orang dalam auditan yang bertanggung jawab atas pengendalian intern. Auditor harus menyampaikan keadaan- keadaan yang dapat dilaporkan melalui pembicaraan sesegera mungkin setiap ditemukan. Pada akhir periode audit, auditor juga dapat membuat laporan tertulis mengenai kondisi-kondisi yang dapat dilaporkan tersebut.

2) Temuan atas kecurangan (fraud)


Kecurangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting) dapat didefinisikan suatu perilaku yang disengaja, baik dengan tindakan atau penghapusan, yang menghasilkan laporan keuangan yang menyesatkan (bias). Fraudulent financial reporting merupakan problem yang dapat terjadi di perusahaan mana saja dan kapan saja. Fraudulent financial reporting yang terjadi pada suatu perusahaan memerlukan perhatian khusus dari akuntan publik (auditor independen).

Menurut Ferdian & Na’im (2006), kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan yang disajikan berikut ini :
  • Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan. 
  • Representasi yang dalam atau penghilangan dari laporan keuangan, peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan. 
  • Salah penerapan secara senngaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan. 
Fraudulent financial reporting juga dapat disebabkan adanya kolusi antara lembaga pemerintah (oknum) dengan auditor. Salah satu upaya untuk mencegah timbulnya kolusi tersebut, yaitu perlunya perputaran (rotasi) auditor dalam melakukan general audit suatu instansi pemerintah atau BUMN/BUMD.

Definisi kecurangan menurut Association of Certified Fraud Examiner (ACFE). ACFE, organisasi yang mendedikasikan kegiatannya pada pencegahan dan penanggulangan kecurangan di USA, mengkategorikan kecurangan menjadi tiga kelompok, yaitu

(a) kecurangan laporan keuangan, 
(b) penyalahgunaan aset dan
(c) korupsi.

The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The Treadway Commission) merekomendasikan 4 (empat) tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya fraudulent financial reporting, yaitu:

1) Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap integritas proses pelaporan keuangan(financial reporting).
2) Mengidentifikasi dan memahami faktor- faktor yang mengarah kefraudulent financial reporting.
3) Menilai resiko fraudulent financial reporting di dalam institusi perusahaan (dalam sektor publik: pemerintah/BUMN/ BUMD).
4) Mendisain dan mengimplementasikan internal control yang memadai untuk financial reporting.
3) Temuan atas Perbuatan Melanggar Hukum

Pelanggaran-pelanggaran atas peraturan perundang- undangan dapat memiliki dampak keuangan langsung pada saldo akun tertentu dalam laporan keuangan. Tanggung jawab auditor untuk pelanggaran hukum yang berdampak langsung ini sama dengan tanggung jawab untuk kekeliruan dan kecurangan (Murwanto dkk, 2007).

Oleh karena itu dalam setiap audit, auditor akan mengevaluasi apakah terdapat bukti yang mengindikasikan pelanggaran peraturan dan perundang-undangan yang material. Namun demikian, sebagian besar dari pelanggaran hukum tidak b erdampak langsung dalam lap oran keuangan. Dampak dari pelanggaran hukum ini mungkin hanya membutuhkan pengungkapan dalam catatan atas laporan keuangan.

Menurut Arens dan Loebbecke, ada 3 (tiga) tingkatan tanggung jawab auditor untuk menemukan dan melaporkan perbuatan melanggar hukum:

a) Pengumpulan bukti audit ketika tidak ada alasan untuk menduga bahwa perbuatan melanggar hukum yang memiliki dampak tidak langsung terjadi.

Banyak prosedur audit melaksanakan pemeriksaan untuk mencari kekeliruan dan kecurangan tetapi tidak mencakup perbuatan melanggar hukum. Contohnya, membaca notulen rapat dan menanyakan pengacara tentang kasus hukum. Auditor harus menanyakan juga kepada manajemen tentang kebijakan yang ditetapkan mereka untuk mencegah perbuatan melanggar hukum dan apakah pihak manajemen tahu tentang peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar. Selain prosedur-prosedur ini auditor tidak perlu mencari perbuatan melanggar hukum yang berdampak tidak langsung kecuali ada alasan mendasar atau dugaan itu terjadi.

b) Pengumpulan bukti audit dan kegiatan-kegiatan lain ketika terdapat dugaan yang mendasar bahwa perbuatan melanggar hukum yang berdampak langsung atau tidak langsung terjadi.
Auditor mungkin menemukan kemungkinan perbuatan melawan hukum dilakukan dengan bermacam-macam cara. Ketika auditor yakin bahwa perbuatan melanggar hukum mungkin terjadi, maka perlu untuk melakukan beberapa tindakan. Pertama, auditor harus menanyakan manajemen dengan cara pada tingkat di mana mereka terlibat dalam perbuatan melanggar hukum yang potensial. Kedua, auditor harus berkonsultasi dengan ahli hukum tentang perbuatan melanggar hukum yang mungkin terjadi. Ketiga, auditor harus memerlukan untuk mengumpulkan bukti tambahan untuk menentukan apakah perbuatan melanggar hukum benar-benar terjadi.
Ketiga tindakan ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan informasi tentang apakah dugaan perbuatan melawan hukum ini benar-benar terjadi.

c) Tindakan ketika auditor mengetahui terjadinya perbuatan melanggar hukum

Tindakan pertama ketika perbuatan melanggar hukum teridentifikasi adalah mempertimbangkan dampaknya dalam laporan keuangan termasuk pengungkapan yang memadai. D ampak-dampak ini mung kin r umit dan sulit untuk dipecahkan. Jika auditor menyimpulkan bahwa pengungkapan perbuatan melanggar hukum ini tidak diungkapkan secara memadai maka auditor har us memo dif ikasi lap oran auditnya.

Auditor harus juga mempertimbangkan dampak perbuatan melanggar hukum ini pada hubungannya dengan manajemen. Jika manajemen tahu perbuatan melanggar hukum ini dan tidak menginformasikannya kepada auditor maka perlu dipertanyakan apakah manajemen dapat dipercaya pada pembicaraan yang lain.

Auditor harus mengkomunikasikan kepada komite audit atau pihak lain dalam otoritas yang sama untuk memastikan mereka mengetahui perbuatan melanggar hukum ini. Penyampaian ini dapat berbentuk pembicaraan atau laporan tertulis. Jika dalam bentuk pembicaraan, hal-hal yang disampaikan dan diskusinya harus didokumentasikan dalam file audit.

1.3. Penyajian Temuan

Dalam audit atas laporan keuangan, temuan audit harus disajikan menurut elemen-elemennya baik dalam laporan terpisah maupun menjadi satu dengan laporan audit yang berisi opini atas laporan keuangan. Seperti yang dijelaskan di atas, penyajian temuan berdasarkan elemen-elemennya menjadi penting untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya pengambilan tindakan perbaikan kepada manajemen dan lembaga pengawas auditan. Menurut Indra Bastian, sistematika penyajian temuan audit adalah seperti yang digambarkan dalam Gambar dibawah, dimana sejalan dengan GAS 2003 revision, bentuk temuan audit yang efektif terdiri dari 5 (lima) elemen yaitu:



1.4. Pengujian dalam Audit

Kegiatan pengumpulan dan penelaahan bukti audit sebagaimana dijelaskan di atas dilakukan dalam rangka melaksanakan pengujian audit (audit test) yang dilakukan pada tahap audit pendahuluan dan pelaksanaan pengujian (STAN, 2007). Ada tiga jenis pengujian yang dikenal dalam audit:

a) Pengujian Pengendalian yaitu pengujian pengendalian intern yang diterapkan oleh manajemen. Kegiatan ini dilakukan pada tahap audit pendahuluan.

b) Pengujian Substantif yaitu pengujian terhadap kebenaran substansi permasalahan yang dijumpai pada tahap audit pendahuluan. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada tahap audit lanjutan atau pelaksanaan pengujian.

c) Pengujian dengan tujuan ganda, yaitu satu jenis pengujian yang dimaksudkan sekaligus untuk menilai pengendalian intern dan substansi dari informasi yang disajikan dalam laporan yang diaudit.

d) Pengujian perhitungan dalam rangka menguji kebenaran angka- angka baik angka-angka pada dokumen pendukung maupun angka-angka yang disajikan dalam laporan. Pengujian perhitungan dilakukan dengan cara melakukan perhitungan ulang mengenai penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.

e) Reviu analitis yaitu teknik pemeriksaan dengan melakukan berbagai teknik analisis yang sesuai, seperti:
  • Analisis perbandingan antara data yang saling terkait, seperti tingkat kehadiran dengan potongan gaji dan atau tunjangan. 
  • Analisis kecenderungan (trend) seperti perkembangan pengeluaran bulan perbulan, dalam satu periode pemeriksaan. 
  • Analisis perbandingan antara kegiatan sejenis, misalnya belanja pengadaan barang tertentu dengan pengadaan barang yang sama di instansi/satuan kerja lain, dan sebagainya. 
f) Konfirmasi yaitu kegiatan untuk memperoleh pernyataan tertulis atas permasalahan tertentu dari pihak eksternal. Misalnya jumlah piutang yang masih belum diselesaikan, barang yang dititipkan kepada pihak ketiga. Kegiatan konfirmasi ini dilakukan oleh dan atau seizin auditi, tetapi hasilnya harus disampaikan langsung oleh pihak yang dikonfirmasi kepada auditor.

g) Wawancara yaitu metode pengumpulan bukti dengan melakukan wawancara dengan pihak yang perlu dimintai pernyataan. Hasilnya didokumentasikan oleh auditor dalam bentuk rekaman atau tulisan. Secara hukum, bukti ini dianggap lemah. Oleh karena itu perlu dipertegas dengan bukti tertulis.

Kegiatan pengumpulan dan penelaahan bukti audit sebagaimana dijelaskan di atas dilakukan dalam rangka melaksanakan pengujian audit (audit test) yang dilakukan pada tahap audit pendahuluan dan pelaksanaan pengujian. Ada tiga jenis pengujian yang dikenal dalam audit:
  • Pengujian Pengendalian yaitu pengujian pengendalian intern yang diterapkan oleh institusi. Kegiatan ini dilakukan pada tahap audit pendahuluan. 
  • Pengujian Substantif yaitu pengujian terhadap kebenaran substansi permasalahan yang dijumpai pada tahap audit pendahuluan. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada tahap audit lanjutan atau pelaksanaan pengujian. 
  • Pengujian dengan tujuan ganda, yaitu satu jenis pengujian yang dimaksudkan sekaligus untuk menilai pengendalian intern dan substansi dari informasi yang disajikan dalam laporan yang diaudit.

Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal