Sunday, 30 August 2015

PERENCANAAN AUDIT


1.1. Penugasan Audit

Penugas an b erhubungan  dengan p elaks anaan  kegiat an pendahuluan proses audit dalam rangka untuk mengetahui kondisi lapangan atau objek audit sesungguhnya. Kegiatan utama pada tahap ini adalah pengumpulan informasi umum tentang auditi, untuk ditelaah dalam rangka menentukan sasaran audit tentantif (tentative audit objectieves) atau perkiraan permasalahan yang perlu mendapat perhatian pada tahap audit pendahuluan.
Perencanaan penugasan audit merupakan keseluruhan rencana penugasan audit untuk masa yang akan datang dan dilakukan oleh lembaga audit. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab audit, wewenang audit dan pengawasan audit secara efektif, lembaga audit seharusnya, sesuai dengan keadaan negara dan praktik audit, membuat perencanaan audit dengan membuat perencanaan secara detil untuk prinsip pelaksanaan audit, tujuan dan tugas, prioritas, implementasi pengukuran, waktu dan langkah-langkah audit.
Secara keseluruhan aktivitas persiapan penugasan meliputi:
-    penerbitan Surat Tugas,
-    koordinasi dengan Inspektorat lain,
-    pemberitahuan kepada Auditi,
-    pengumpulan informasi umum,
-    penyusunan rencana penugasan,
-    penyiapan program audit untuk audit Pendahuluan.

Pada tahap penyelesaian penugasan, auditor merangkum semua permasalahan yang ditemukan dalam suatu daftar permasalahan/ temuan, kemudian mengkonfirmasikannya kepada pihak auditi untuk mendapatkan tanggapan dan pengembangan rekomendasi untuk persetujuan dan komitmen dari menajemen mengenai permasalahan yang dikemukakan dan pelaksanaan rekomendasi tersebut. Kegiatan konfirmasi dengan pihak auditi tersebut biasanya dilakukan dalam forum pertemuan akhir atau clossing conference.


1.2. Proses Awal Audit

Proses audit atau proses awal dilakukannya audit merupakan sebuah rangkaian sistemetis. Proses dapat diartikan sebagai aktivitas mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output) yang berguna/ memiliki nilai tambah (outcome). Demikian juga dengan proses audit, dapat dipandang sebagai aktivitas pengumpulan dan evaluasi bukti-bukti yang mendukung informasi/laporan yang disajikan auditi, untuk meningkatkan keyakinan (assurance) bagi pemakainya, bahwa laporan tersebut dapat dipakai sebagai dasar untuk pengambilan keputusan.

Tabel 3.1. Proses Audit

Input
Proces
Output/Outcome

Informasi/Laporan dari auditan dan bukti-bukti yang mendukungnya
Evaluasi kesesuaian informasi dengan bukti pendukung dan kriteria penyusunannya
Laporan Hasil Audit dan memperkuat keyakinan user dalam pengambilan keputusan
Sumber: STAN (2007).

Proses audit di atas cenderung mengacu pada pengertian audit keuangan, yang bertujuan untuk menilai layak dipercaya atau tidaknya laporan keuangan yang disajikan auditi. Namun secara konseptual, pengertian proses audit tersebut berlaku pula untuk audit kepatuhan dan audit operasional, karena walaupun memiliki tujuan berbeda, sebelum melakukan analisis lebih lanjut, pada awalnya auditor perlu memastikan lebih dahulu kebenaran nilai populasi yang terkait dengan kegiatan yang diaudit, seperti banyaknya sumber daya yang digunakan dan hasil yang diperoleh. Setelah itu barulah dilakukan evaluasi lebih lanjut sesuai tujuan audit, misalnya:
  • Pada pemeriksaan ketaatan atas ketentuan pengadaan barang dajasa, kegiatan audit dimulai dengan pengumpulan data mengenai frekuensi, volume dan nilai pengadaan yang akan diuji. Setelah itu barulah dilakukan pengujian mengenai ketaatan prosedur pengadaan tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Pada pemeriksaan operasional pemberian salah satu jenis perizinan, auditor terlebih dahulu mengumpulkan informasi mengenai volume dan nilai pendapatan retribusi dari pemberian izin tersebut. Setelah itu baru melakukan pengujian mengenai keekonomisan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan operasional pemberian izin tersebut.


Disamping itu, sebagai aktivitas mengolah masukan menjadi keluaran, proses audit juga dapat diartikan sebagai urut-urutan kegiatan dari awal sampai akhir. Secara umum proses audit internal dapat dikelompokkan dalam;
a)  Persiapan penugasa
b)  Audit pendahuluan
c)  Pelaksanaan pengujian. 
d)  Penyelesaian penugasan.
e)  Pelaporan dan Tindak Lanjut.

 1.3. Materialitas

Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.
Pernyataan FASB No. 2 mendefinisikan materialitas sebagai jumlah atau besarnya kekeliruan atau salah saji dalam informasi akuntansi yang, dalam kaitannya dengan kondisi yang bersangkutan, mungkin membuat pertimbangan pengambilan keputusan pihak yang berkepentingan berubah atau terpengaruh oleh salah saji tersebut.
Materialitas juga didefinisikan dalam International Accounting Standard. Menurut standar ini, informasi dipandang sebagai material bila disajikan salah atau tidak disajikan dapat mempengaruhi keputusan-keputusan ekonomis yang diambil oleh pengguna laporan yang mendasarkan keputusan-keputusannya sebagian pada informasi dalam laporan keuangan.
Materialitas bergantung pada ukuran pos atau kesalahan dan bergantung pada situasi-situasi tertentu yang melingkup kesalahsajian atau peniadaan informasi. Oleh karena itu, materialitas lebih merupakan pemberian suatu batasan daripada suatu karakteristik kualitatif primer yang harus dimiliki oleh informasi yang berguna. Definisi ini pada kenyataannya sulit diterapkan oleh auditor dalam praktik. Definisi ini memberikan penekanan kepada pengguna yang penuh pertimbangan (reasonable users) dalam menggunakan laporan keuangan untuk pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, auditor harus memiliki pemahaman tentang pengguna laporan keuangan dan keputusan-keputusan yang mereka buat. Dalam suatu audit keuangan, tujuan audit adalah memungkinkan auditor menyatakan opininya apakah laporan keuangan, dalam hal-hal yang material, disajikan sesuai dengan standar akuntansi. Dengan demikian, penilaian apakah sesuatu itu material merupakan pertimbangan profesional. Tujuan penetapan materialitas adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup.
Oleh karena itu auditor bertanggungjawab untuk menentukan apakah terdapat salah saji yang material dalam laporan keuangan, maka jika terdapat penemuan salah saji material, mereka harus membuatnya menjadi perhatian klien sehingga dapat dilakukan koreksi atas salah saji tersebut. Jika klien menolak untuk mengoreksi salah saji tersebut, maka auditor harus menerbitkan opini wajar dengan pengecualian atau tidak wajar. Langkah-langkah Penerapan Materialitas:

(1) Menetapkan pertimbangan materialitas awal
PSA 25 (Sa 312) mengharuskan auditor untuk memutuskan jumlah gabungan salah saji dalam laporan keuangan yang akan mereka anggap material diawal pengauditan bersamaan dengan ketika mereka mengembangkan strategi audit secara keseluruhan kita mengacu hal tersebut sebagai perimbangan materialitas awal.
Pertimbangan  materialit as awal merupakan  jumlah maksimal dimana  auditor  yakin dapat ter jadi s a lah s aji terhadalaporan keuangan namun  tidak mempengaruhi keputusan-keputusan  para pengguna yang rasional. Auditor menetapkan pertimbangan materialitas awal untuk membantunya merencanakan pengumpulan bukti-bukti audit yang tepat.
Makin kecil jumlah rupiah dalam penilaian awal, makin banyak jumlah bukti audit yang harus dikumpulkan. Selama melakukan audit, auditor sering kali mengubah pertimbangan materialitas awal. Kita mengistilah hal tersebut sebagai penilaian materialitas yang direvisi. Auditor kemungkinan akan membuat revisi karena perubahan dalam salah satu faktor yang digunakan dalam menentukan penilaian awal.

(2) Mengalokasikan pertimbangan materialitas awal ke setiap bagian pengauditan.
Pengalokasian pertimbangamaterialitas awal kesetiap bagian merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena auditor mengumpulkan bukti audit perbagian dibandingkan dengan laporan keuangan secara keseluruhan. Jika para auditor memiliki penilaian materialitas awal untuk setiap bagian, hal itu akan membantu mereka dalam memutuskan bukti audit yang tepat untuk dikumpulkan.
Un tu k  s u a tu  a k u n  piut ang  d a g a ng  d e n g a n  s a l d o Rp.1.000.000.000.000,-. Misalnya, auditor harus mengumpulkan lebih banyak bukti audit jika salah saji tersebut Rp.50.000.000,- dianggap material daripada jika salah saji tersebut sebesar Rp.300.000.000,- dianggap material. Auditor menghadapi 3 (tiga) kesulitan utama berikut dalam mengalokasikan materialitas ke dalam akun-akun neraca:
  • Auditor memperkirakan akun-akun tersebut memiliki salah saji yang lebih banyak dibandingkan dengan akun-akun lainnya.
  • Baik lebih saji maupun kurang saji harus dipertimbangkan
  • Biaya audit relatif mempengaruhi alokasi tersebut.


(3) Mengestimasikan salah saji total disetiap bagian pengauditan 
Ketika para auditor melakukan prosedur audit untuk setiap bagian pengauditan, mereka menyimpan kertas kerja dari semua salah saji yang ditemukan. Salah saji dalam satu akun dapat berbentuk satu dari dua jenis ini, yaitu Salah saji yang diketahui adalah salah saji dimana auditor dapat menentukan jumlah salah saji dalam akun tersebut. Contohnya ketika mengaudit aset tetap, auditor mungkin mengidentifikasikan adanya kapitalisasi aset yang disewa yang seharusnya dibebankan karena merupakan kegiatan sewa operasi.


1.4. Risiko Audit

Auditor menerima beberapa level risiko atau ketidakpastian dalam menjalani fungsi pengauditan. Auditor mengakui misalnya adanya ketidakpastian bawaan dalam ketepatan bahan bukti, ketidakpastian dalam efektivitas pengendalian internal klien, dan ketidakpastian mengenai apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar ketika audit telah selesai dilaksanakan.
Auditor yang efektif mengakui bahwa risiko-risiko muncul dan menangani risiko-risiko tersebut dengan cara yang tepat. Sebagian besar risiko yang dihadapi auditor sulit untuk diukur dan membutuhkan  pertimbangayang besar sebelum auditor dapat menanganinya dengan tepat. Menangani risiko dengan tepat merupakan hal yang penting untuk mencapai audit yang berkualitas tinggi.
Standar kedua pekerjaan lapangan mengharuskan auditor untuk mendapatkan pemahaman atas entitas dan lingkungan bisnis klien, termasuk pengendalian internalnya untuk menilai risiko salah saji material dalam laporan keuangan klien.
Auditor menangani risiko dalam perencanaan bukti audit umumnya dengan menggunakan model risiko audit. Model ini berasal dari literatur profesional dalam PSA 26 (SA350) tentang pengujian sampel audit dan dalam PSA 25 (SA312) tentang materialitas dan risiko.
Model ini dinyatakan sebagai berikut: PDR = AAR / (IRXCR)
Di mana,
PDR = Risiko deteksi yang direncanaka
AAR = Risiko audit yang dapat diterima
IR = Risiko bawaan
CR = Risiko pengendalian

Dibawah ini disajikan contoh perhitungauntuk dibahas, meskipun sering kali tidak memungkinkan untuk mengukur dengan angka setepat contoh perhitungan di bawah ini.
IR = 100% CR = 100% AAR = 5% Maka:
PDR = 0,05 / (1 X 1) = 0,05 atau 5%

Jenis-jenis Risiko menurut  Andrewa (2013: http://www.mdp. ac.id):

1)  Risiko Deteksi yang direncanakan (Planned Detection Risk)
Risiko Deteksi yang direncanakan merupakan risiko di mana bukti audit untuk suatu bagian tidak mampu mendeteksi salah saji yang melebihi salah saji yang dapat diterima. Terdapat dua hal yang penting untuk mengetahui risiko deteksi yang direncanakan:
  • Risiko deteksi yang direncanakan bergantung pada tiga faktolainnya dalam model tersebut. Risiko ini hanya dapat berubah jika auditor mengubah salah satu risiko dalam model risiko audit tersebut.
  • Risiko deteksi yang direncanakan menentukan jumlah bukti substantif yang direncanakan dikumpulkan oleh auditor, yang berbanding terbalik dengan ukuran risiko deteksi yang direncanakan.

Jika risiko deteksi audit yang direncanakan dikurangi maka auditor harus mengumpulkan lebih banyak bukti audit untuk mencapai pengurangan risiko yang direncanakan. Dalam contoh perhitungan angka sebelumnya, risiko deteksi yang direncanakan (PDR) sebesar 0,05 berarti bahwa auditor merencanakan untuk mengumpulkan bukti audit sampai risiko salah saji melebihi salah saji yang dapat diterima berkurang menjadi 5%. Jika seandainya risiko pengendalian (CR) adalah 0,5 dan bukan 1 risiko deteksi yang direncanakan (PDR) akan menjadi 0,10 sehingga bukti yang direncanakan menjadi berkurang.

2)  Risiko Bawaan (Inherent Risk)
Risik o  ba waa n  men g uk ur  p enila ia n  a udi t o r  a t as kemungkinan terdapatnya salah saji material (baik kecurangan maupun kesalahan) dalam sebuah bagian pengauditan sebelum mempertimbangkan efektivitas pengendalian internal klien. Jika auditor menyimpulkan bahwa kemungkinan salah saji tinggi tanpa mempertimbangkan pengendalian internal, auditor akan menyimpulkan bahwa risiko bawaannya adalah tinggi.

Pengendalian internal diabaikan dalam dalam menetapkan risiko bawaan karena pengendalian internal dianggap terpisah dari model risiko audit sebagai risiko pengendalian. Risiko bawaan berbanding terbalik dengan risiko deteksi yang direncanakan dan berbanding lurus dengan bukti audit.
Contoh :  pada siklus persediaan dan pergudangan di mana risiko bawaan tinggi sehingga mengakibatkan risiko deteksi yang direncanakan lebih rendah dan makin banyak bukti audit yang harus dikumpulkan dibandingkan jika risiko bawaanya lebih rendah.

3)  Risiko Pengendalian (Control Risk)
Risiko pengendalian mengukur penilaian auditor mengenai apakah salah saji melebihi jumlah yang dapat diterima di suatu bagian pengauditan akan dapat dicegah atau dideteksi dengan tepat waktu oleh pengendalian internal klien. Anggaplah auditor menyimpulkan bahwa pengendalian internal klien seluruhnya tidak efektif untuk mendeteksi salah saji. Sehingga auditor akan memberikan faktor risiko untuk risiko pengendalian tinggi bahkan mungkin 100%. Makin efektif pengendalian internal, makin rendah faktor risiko yang dapat diberikan pada risiko pengendalian. Model risiko audit menunjukkan hubungan yang erat antara risiko bawaan dan risiko pengendalian.
Sebagai contoh suatu risiko bawaan sebesar 40% dan risiko pengendalian 60% akan memengaruhi  risiko deteksi yang direncanakan dan bukti audit yang direncanakan, sama seperti halnya jika risiko bawaan 60% dan risiko pengendalian 40%. Dalam kedua kasus tersebut perkalian IR dan CR menghasilkan akan pembagi dalam model risiko audit sebesar 24%. Menurut PSA 25 (SA 312) gabungan dari risiko bawaan dan risiko pengendalian dinamakan risiko salah saji material (Risk of Material Misstatement).
Hubungan antara risiko pengendalian daan risiko deteksi yang direncanakan adalah berbanding terbalik, sedangkan hubungan

antara risiko pengendalian dan bukti substantif berbanding lurus. Jika auditor menyimpulkan bahwa pengendalian internalnya efektif, risiko deteksi yang direncanakan dapat dinaikkan sehingga bukti audit dapat diturunkan. Auditor dapat menaikkan risiko deteksi yang direncanakan ketika pengendalian internal efektif karena pengendalian yang efektif akan mengurangi kemungkinan salah saji dalam laporan keuangan.

4)  Risiko Audit yang dapat Diterima (Acceptable Audit Risk)
Risiko audit yang dapat diterima mengukur tingkat kesediaan auditor untuk menerima kemungkinan adanya salah saji dalam laporan keuangan setelah audit telah selesai dijalankan daan opini wajar tanpa pengecualian telah diterbitkan. Ketika para auditor memutuskan risiko audit yang dapat diterima lebih rendah mereka menginginkan untuk lebih yakin bahwa tidak ada salah saji dalam laporan keuangan. Risiko nol merupakan kepastian dan risik100% merupakan ketidakpastian mutlak. Keyakinan mutlak (risiko nol) atas keakuratan laporan keuangan tidak mungkin dilakukan.


1.5. Penjadwalan Audit

Tin gkat r i sik o det eksi ya n g dapat  di t e r i ma  mu n g kin mempengaruhpenentuawaktu pengujian. Jika tingkat risiko deteksi tinggi, pengujian substantif dapat dilakukan beberapa bulan sebelum akhir tahun. Sebaliknya pada saat risiko deteksi rendah, pengujian substantif dilakukan pada atau mendekati tanggal neraca. Akan tetapi terdapat kemungkinan bertambahnya risiko audit sampai tanggal neraca. SAS No. 45 tentang Substantive Test Prior to Balance Sheet Date menyebutkan bahwa kondisi yang memberikan kontribusi pada pengendalian risiko adalah:
  1. Pengendalian intern yang efektif selama periode tersisa.
  2. Tidak ada kondisi yang mendorong manajemen untuk melakukan salah saji dalam laporan keuangan selama periode tersisa
  3. Saldo akhir tahun dari akun yang telah diuji pada tanggal interim dengan pertimbangan yang tepat, dapat diprediksi dalam hal jumlah, signifikansi relatif serta komposisi
  4. Sistem akuntansi auditan dapat memberikan informasi mengenai transaksi yang tidak biasa maupun fluktuasi yang signifikan selama periode tersisa tersebut.


Jika kondisi di atas tidak terpenuhi, maka akun tersebut harus diuji pada tanggal neraca. Akan tetapi dalam praktik, auditor tidak akan melakukan pengujian substantif terhadap seluruh asersi dalam suatu akun. Misalnya, auditor dapat melakukan pemeriksaan fisik terhadap persediaan auditan pada tanggal interim untuk memenuhi asersi eksistensi. Tetapi auditor baru akan memperoleh nilai pasar setelah tanggal neraca untuk memenuhi asersi penilaian.

Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal

Thursday, 13 August 2015

SISTEM PENGENDALIAN SEKTOR PUBLIK

1.1. Akuntabilitas 

Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatif Kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan s e cara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat dipertanggungjawabkan (responsibility), (Dykstra, 1939) yang dapat dipertanyakan (answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait dengan tingkat problembilitas di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-perusahaan. 

Dalam peran kepemimpinan, akuntabilitas dapat merupakan pengetahuan dan adanya pertanggungjawaban tehadap tiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan termasuk pula di dalamnya administrasi publik pemerintahan, dan pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi kerja yang mencakup di dalam mempunyai suatu kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan dan dapat dipertanyakan bagi tiap-tiap konsekuensi yang sudah dihasilkan. 

akuntabilitas merupakan istilah yang terkait dengan tata kelola pemerintahan sebenarnya agak terlalu luas untuk dapat didefinisikan (Mulgan, 2000) dan (Sinclair, 1995), akan tetapi hal ini sering dapat digambarkan sebagai hubungan antara yang menyangkut saat sekarang ataupun masa depan, antar individu, kelompok sebagai sebuah pertanggungjawaban kepentingan merupakan sebuah kewajiban untuk memberitahukan, menjelaskan terhadap tiap-tiap tindakan dan keputusannya agar dapat disetujui maupun ditolak atau dapat diberikan hukuman bilamana diketemukan adanya penyalahgunaan kewenangan (Schedler, 1999). 

1.2. Akuntabilitas dalam Sektor Publik 

Sektor Publik yang lekat dengan sebutan untuk Instansi Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku terdiri dari: Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara, Markas Besar TNI (meliputi: Markas Besar TNI Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut), Kepolisian Republik Indonesia, Kantor Perwakilan Pemerintah RI di Luar Negeri, Kejaksaan Agung, Perangkat Pemerintahan Provinsi, Perangkat Pemerintahan Kabupaten/Kota, dan lembaga/ badan lainnya yang dibiayai dari anggaran negara (BPKP, 2011). 

Konsep dan kebijakan mengenai akuntabilitas memiliki akar yang kuat dalam kehidupan bernegara kita, khususnya mulai pada era reformasi. Kebijakan akuntabilitas di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 dan dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam UU No. 28/1999 disebutkan bahwa azas penyelenggaraan kepemerintahan yang baik meliputi: 

  1. Azas Kepastian Hukum. 
  2. Azas Tertib Penyelenggaraan Negara. 
  3. Azas Kepentingan Umum. 
  4. Azas Keterbukaan. 
  5. Azas Proporsionalitas. 
  6. Azas Profesionalistas. 
  7. Azas Akuntabilitas. 
Akuntabilitas memiliki makna umum tanggungjawab, jadi azas akuntabilitas di sini diartikan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku. 

Penyelengaran pemerintah saat ini telah menjadi sebuah sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Seiring dengan meningkatnya peran swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, manajemen sektor publik telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini antara lain dipicu oleh pemikiran Osborne dan Gaebler dalam bukunya Reinventing Government (1992) atau pemerintahan wirausaha. Perubahan tersebut pada dasarnya diarahkan pada penciptaan manajemen publik yang handal dan mempertajam serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi publik. 

Konsep dan sistem administrasi publik yang kaku, struktural/ hirarkis, dan birokratis telah ditinggalkan dan sebagai gantinya telah dikembangkan suatu konsep manajemen publik yang fleksibel dan berorientasi kepada pasar. Dalam paradigma manajemen sektor publik yang baru, birokrasi pemerintah dibuat seefisien dan seefektif mungkin sehingga mereka dapat bergerak fleksibel dalam mengikuti tuntutan masyarakat dan perubahan lingkungan. Paradigma baru ini dianggap sebagai solusi atas berbagai label negatif yang melekat pada sektor publik yaitu dengan mengacu pada kaidah-kaidah terhadap new public management (NPM). 

1.3. Tata Pemerintahan yang Baik (good governance) 

Pengelolaan pemerintahan atau biasa disebut Tata Pemerintahan merupaka suatu mekanisme interaksi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok untuk bersama-sama merumuskan berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan manajemen pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau administratif tertentu. 

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah memerlukan dasar atau prinsip Tata Pemerintahan daerah yang baik, yang dapat menjadi acuan bagi tercapainya tujuan pemberian otonomi, yang adalah: 

Peningkatan pelayanan aparatur pemerintah di daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, 
Pengemb angan kehidup an demokrasi, p ening kat an ras a kebangsaan, keadilan, pemerataan, dan kemandirian daerah serta, 
Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Dalam publikasi yang diterbitkan oleh sekretariat Partnership for Governace menyebutkan bahwa “good governance is a concensus reached by government, citiziens and the privat sector for the adminstration of country or state”. Artinya, kepemerintahan yang baik itu adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani dan sektor swasta. Karena itu, untuk terwujudnya kepemerintahan yang baik, diperlikan dialog antara pelaku-pelaku penting dalam negara. 

Agar semua pihak merasa memiliki tata pengaturan tersebut. Tanpa kesepakatan yang dilahirkan dari dialog ini, kesejahteraan tidak akan tercapai karena aspirasi politik maupun ekonomi rakyat tersumbat. LAN & BPKP (2000) mengemukakan bahwa, arti Good Governance mengandung dua pengertian : 

Pertama, nilai-nilai yang menjujung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pemabangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. 
Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut. Beberapa pendapat lain tentang Good Governance diantaranya adalah: “OECD dan World Bank mendefinisikan Good Governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworksbagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. 

Dalam rangka mengembangkan strategi yang lebih implementatif, terdapat banyak karakteristik dan prinsip tentang Good Governance. Salah satu yang menjadi tonggak penting adalah karakteristik Good Governance yang dirumuskan pada deklarasi Manila, yaitu transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan responsive. Masing masing karakteristik dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: 
  1. Transparan, mengindikasikan adanya adanya kebebasan dan kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai bagi mereka yang memerlukan. Informatif, mutakhir, dapat diandalkan, mudah diperoleh dan dimengerti adalah beberapa parameter yang digunakan untuk mengecek keberhasilan tranparansi. 
  2. Akuntabel dimana semua pihak (baik pemerintah, swasta dan masyarakat) harus mampu memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang diberikan kepadanya (stakeholders nya). Secara umum organisasi atau institusi harus akuntabel kepada mereka yang terpengaruh dengan keputusan atau aktivitas yang mereka lakukan. 
  3. Adil dalam arti terdapat jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan kesempatan yang sama dalam menjalankan kehidupannya. Sifat adil ini diperoleh dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Adil ini juga berarti terdapat jaminan akan kesejahteraan masyarakat dimana semua masyarakat merasa bahwa mereka memiliki hak dan tidak merasa diasingkan dari kehidupan masyarakat. 
  4. Wajar dalam arti jaminan atas pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (standar). Hal ini mensyaratkan bahwa semua kelompok, terutama kelompok yang lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk alasan ini, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pemerintah harus menyediakan standar pelayanan untuk menjamin kesamaan (fair) dan konsistensi pelayanan. 
  5. Demokratis dalam arti terdapat jaminan kebebasan bagi setiap individu untuk berpendapat/mengeluarkan pendapat serta ikut dalam kegiatan pemilihan umum yang bebas, langsung, dan jujur. 
  6. Partisipatif dalam arti terdapat jaminan kesamaan hak bagi setiap individu dalam pengambilan keputusan (baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan). Dalam kaitannya dengan partisipasi ini, terdapat tuntutan agar pemerintah meningkatkan fungsi kontrol terhadap manajemen pemerintah dan pembangunan dengan melibatkan organisasi non pemerintah. Peran organisasi non pemerintah sangat penting dalam konteks ini karena diyakini organisasi ini memiliki kontak yang lebih baik dengan masyarakat miskin, memiliki hubungan yang baik dengan daerah pedalaman dan pedesaan, mampu menyediakan metodealternatif pelayanan publik dengan harga yang murah dan sebagai mediator dalam menyampaikan berbagai pandangan dan kebutuhan masyarakat. 
  7. Tanggap/peka/responsif yang berarti bahwa dalam melaksanakan kepemerintahan semua institusi dan proses yang dilaksanakan pemerintah harus melayani semua stakeholders secara tepat, baik dan dalam waktu yang tepat (tanggap terhadap kemauan masyarakat). 
Tonggak atau pilar penting GG antara lain transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan responsive telah membawa konsep yang kuat bagi pengelolaan pemerintahan yang baik. Good governance adalah strategi untuk menciptakan institusi masyarakat yang kuat, dan juga untuk membuat pemerintah/publik sektor semakin terbuka, responsif, akuntable dan demokratis. 
Di samping itu, konsep good governance jika dikembangkan akan menciptakan moder n gover nance (baik good ‘national’ governance maupun good local governance) yang handal yang tidak hanya menekankan aktivitasnya dalam kerangka efisiensi tetapi juga akuntabilitasnya di mata publik. Hal yang tidak kalah pentingnya, penerapan good governance sangat berperan dalam pencegahan dan pemberantasan praktik-praktik KKN. Hal ini berarti bahwa dengan adanya good governance maka penyalahgunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi dapat dihindarkan semaksimal mungkin. 

1.4. Sistim Pengendalian Intern sektor Publik 

Sistem Pengendalian Intern (SPI) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. 

Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak, sehingga dalam pengembangan dan penerapannya perlu dilakukan secara komprehensif dan harus memperhatikan aspek biaya manfaat (cost and benefit), rasa keadilan dan kepatutan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta mempertimbangkan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. 

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dijelaskan bahwa SPIP adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 

Berkaitan dengan hal ini, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Sedangkan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang perbendaharaan, Menteri/ pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang pemerintahan masing-masing, dan Gubernur/Bupati/Walikota selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mengatur lebih lanjut dan meyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya. 

Unsur SPIP di Indonesia mengac u pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yaitu meliputi: 
1) Lingkungan pengendalian 
Lingkungan pengendalian adalah kondisi dalam Instansi Pemerintah yang memengaruhi efektivitas pengendalian intern. Unsur ini menekankan bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara keseluruhan lingkungan organisasi, sehingga dapat menimbulkan perilaku positif dan mendukung pengendalian intern dan manajemen yang sehat. Lingkungan pengendalian dapat diwujudkan melalui: 
  • Penegakan integritas dan nilai etika; 
  • Komitmen terhadap kompetensi; 
  • Kepemimpinan yang kondusif; 
  • Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan; 
  • Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat; 
  • Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia; 
  • Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; 
  • Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait. 
2) Penilaian risiko 
Penilaian risiko adalah kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran Instansi Pemerintah. Unsur ini memberikan penekanan bahwa pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam. 

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis resiko. Identifikasi risiko sekurang-kurangnya dilaksanakan dengan menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pe me rint ah dan tujuan pada ting katan ke giat an secara komprehensif, menggunakan mekanisme yang memadai untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan faktor internal serta menilai faktor lain yang dapat meningkatkan risiko. 

Sedangkan analisis resiko dilaksanakan untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah dengan tetap menerapkan prinsip 
kehati-hatian. Dalam rangka penilaian risiko pimpinan Instansi Pemerintah perlu menetapkan tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. 

Tujuan Instansi Pemerintah memuat pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu. Tujuan Instansi Pemerintah tersebut wajib dikomunikasikan kepada seluruh pegawai, sehingga untuk mencapainya pimpinan Instansi Pemerintah perlu menetapkan strategi operasional yang konsisten dan strategi manajemen yang terintegrasi dengan rencana penilaian risiko. 

Begitupula dengan tujuan pada tingkatan kegiatan, sekurangkurangnya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: 

- Berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah; 
- Saling melengkapi, saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya; 
- Relevan dengan seluruh kegiatan utama Instansi Pemerintah; 
- Mengandung unsur kriteria pengukuran; Didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang cukup; 
- Melibatkan seluruh tingkat pejabat dalam proses penetapannya. 

3) Kegiatan pengendalian 
Kegiatan pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif. Unsur ini menekankan bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan. 
Penyelenggaraan kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah, seperti: 

- Review atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan; 
- Pembinaan sumber daya manusia/Pegawai Pemerintahan; 
- Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi; 
- Pengendalian fisik atas aset; 
- Penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja; 
- Pemisahan fungsi; 
- Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting; 
- Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian; 
- Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya; 
- Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; 
- Dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting. 

Selain itu, kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko dan disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah. Kebijakan dan prosedur dalam kegiatan pengendalian harus ditetapkan secara tertulis dan dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan tersebut, sehingga untuk menjamin kegiatan pengendalian masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan maka harus dievaluasi secara teratur. 

4) Informasi dan komunikasi 
Informasi adalah data yang telah diolah yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian pesan atau informasi dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan umpan balik. 

D a lam hal ini pimpinan Inst ansi Pemer int ah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam b e ntuk dan waktu yang te pat. Berkaitan dengan pengkomunikasian informasi, wajib diselenggarakan secara efektif, dengan cara sebagai berikut: 
- Menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan 
- Mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus. 

5) Pemantauan 
Pemantauan pengendalian intern pada dasarnya adalah untuk memastikan apakah sistem pengendalian intern pada suatu instansi pemerintah telah berjalan sebagaimana yang diharapkan dan apakah perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan telah dilaksanakan sesuai dengan perkembangan. Unsur ini mencakup penilaian desain dan operasi pengendalian serta pelaksanaan tindakan perbaikan yang diperlukan. 

Pimpinan instansi harus menaruh perhatian serius terhadap kegiatan pemantauan atas pengendalian intern dan perkembangan misi organisasi. Pengendalian yang tidak dipantau dengan baik cenderung memberikan pengaruh yang buruk dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, agar kegiatan pemantauan menjadi lebih efektif, seluruh pegawai perlu mengerti misi organisasi, tujuan, tingkat toleransi risiko dan tanggung jawab rnasing-masing. 

Dalam menerapkan unsur SPIP, setiap pimpinan Instansi Pemerintah bertanggung jawab untuk mengembangkan kebijakan, prosedur dan praktik detail untuk menyesuaikan dengan kegiatan Instansi Pemerintah dan untuk memastikan bahwa unsur tersebut telah menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi Pemerintah. 

Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan SPIP dilakukan pengawasan intern dan pembinaan penyelenggaraan SPIP. Pengawasan intern merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian intern yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. 
Lingkup pengaturan pengawasan intern ini mencakup kelembagaan, lingkup tugas, kompetensi sumber daya manusia, kode etik, standar audit, pelaporan, dan telaahan sejawat. Sedangkan Pembinaan penyelenggaraan SPIP meliputi penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan konsultansi SPIP, serta peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) pada setiap instansi Pemerintahan. 

1.5. Pengendalian dalam Pencegahan KKN

Setiap organisasi memiliki situasi dan kondisi yang berbeda- beda akan tetapi mereka mempunyai beberapa pengendalian intern kunci yang sama dalam mencegah KKN. Pengendalian-pengendalian tersebut seperti dikutif dari Murwanto (2007:211) adalah: 
a) Pengendalian-pengendalian yang melibatkan lebih dari satu pejabat. 
  • Pemisahan tugas sehingga tidak ada satu pegawai pun yang mengendalikan seluruh proses dalam suatu transaksi atau kegiatan. Pada umumnya, ketika ada risiko KKN, terutama penggelapan, tugas-tugas harus melibatkan minimal dua pegawai. 
  • Supervisi langsung untuk mengurangi kemungkinan dan godaan untuk melakukan KKN. Pegawai yang dibiarkan sendiri untuk suatu periode yang panjang atau periode yang dapat diprediksi dapat tergoda untuk melakukan KKN, terutama apabila pegawai tersebut bertanggung jawab atas aset-aset yang dapat dipindahkan dan berharga. 
b) Pengendalian-pengendalian yang menggunakan rekonsiliasi independen. 
Rekonsiliasi bank adalah contoh nyata pengendalian jenis ini. Rekonsiliasi independen atas dua perangkat catatan seringkali dapat mencegah atau menemukan kecurangan karena tidak semua pihak memiliki akses atas semua catatan. Seringkali pelaksanaan rekonsiliasi, walaupun bukan dengan maksud untuk menemukan kecurangan, dapat mencegah terjadinya kecurangan karena pegawai yang mempersiapkan suatu catatan atau laporan biasanya tidak mengetahui catatan/laporan lainnya yang direkonsiliasikan dengan catatan atau laporannya. 
Rekonsiliasi antara pegawai pada posisinya dengan catatan kepegawaian, misalnya mampu mencegah adanya pembayaran- pembayaran kepada pegawai fiktif. 
c) Pengendalian-pengendalian yang melibatkan penggunaan tanda tangan. 
Para pelaku KKN potensial seringkali dapat dicegah melakukan KKN jika mereka diharuskan memberikan tanda tangan pada pekerjaan mereka. Bukti yang menunjukkan siapa yang mengerjakan suatu pekerjaan biasanya merupakan prasyarat untuk mencapai suatu kualitas dan keandalan kinerja yang baik. 
Pembayaran yang disertai tanda tangan antara pejabat yang menerima dan yang memberi merupakan contoh umum jenis pengendalian ini. 
d) Pengendalian fisik. 
Kunci pada pintu, lemari brankas, halaman yang berpagar terkunci merupakan contoh pengendalian yang membantu mencegah pencurian. Pengendalian-pengendalian fisik umumnya membantu meminimalkan risiko-risiko dan godaan-godaan. 
e) Daftar kekayaan yang dimiliki pejabat. 
Daftar ini harus tersedia bagi politisi maupun pejabat yang memiliki kepentingan terhadap pekerjaan organisasi. 

Kegiatan-kegiatan yang rawan berbeda-beda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, tetapi kegiatan-kegiatan ini memiliki kesamaan umum yang berkenaan dengan pengeluaran- pengeluaran untuk (Murwanto, 2007): 
  1. Pembayaran tunjangan atau subsidi. 
  2. Pembayaran-pembayaran kontrak, terutama pekerjaan pembangunan. 
  3. Persediaan, termasuk perkakas-perkakas kantor yang berharga. d) Pinjaman kepada pegawai, pinjaman mobil, dan sebagainya. 
  4. Pembayaran lembur, bonus dan honor-honor. f ) Pembayaran perjalanan dinas. 
  5. Barang-barang inventaris pada perumahan pegawai, penjara, rumah sakit, dan sejenisnya. 
  6. Kas kecil. 
  7. Dana-dana tak resmi, seperti sumbangan-sumbangan. j) Pembayaran kepada pegawai honorer. 
Dalam bukunya Murwanto dkk (2007) juga mengemukakan beberapa kegiatan yang dapat menjadi rawan terhadap praktik- praktik korupsi yang meluas adalah: 
  • Pentenderan, pemberian dan penyelesaian kontrak, menyewa konsultan atau staf sementara dari unit lain. 
  • Penjualan dengan tekanan, seperti pemberian hadiah atau liburan bila membeli suatu barang. 
  • Jamuan. 
  • Pemberian ijin/lisensi. 
  • Pembelian barang-barang yang langsung dikirimkan ke lokasi gedung bukannya ke gudang. 
  • Konflik kepentingan yang timbul ketika politisi atau pejabat (atau teman dan kerabat mereka) memiliki kepentingan-kepentingan finansial atas pekerjaan yang diberikan oleh instansi publik. 
  • Penggunaan peralatan khusus, seperti laptop dan mobil, untuk pekerjaan pribadi. 
  • Penghapusan atau penjualan barang-barang inventaris bekas.
Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal

Monday, 10 August 2015

ETIKA PROFESI AUDITOR

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. 
Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. 

1.1. Pengertian Etika

Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. 
Berikut ini beberapa teori etika:
1) Egoisme 
Rachels (2004) memp erkenalkan du a kons ep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang bolah saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur dan/atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. 

Kedua, egoisme etis, adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri sendiri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Berikut adalah pokok- pokok pandangan egoisme etis: 
  1. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain.
  2. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu-satunya tuga adalah kepentingan diri.
  3. Meski egois etis berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan diri, tetapi egoisme etis juga tidak mengatakan bahwa anda harus menghindari tindakan menolong orang lain
  4. Menurut paham egoisme etis, tindakan menolong orang lain dianggap sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri karena mungkin saja kepentingan orang lain tersebut bertautan dengan kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.
  5. Inti dari paham egoisme etis adalah apabila ada tindakan yang menguntungkan orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar. Sesuatu yang membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu menguntungkan diri sendiri. 
Alasan yang mendukung teori egoisme: 
  • Argumen bahwa altruisme adalah tindakan menghancurkan diri sendiri. Tindakan peduli terhadap orang lain merupakan gangguan ofensif bagi kepentingan sendiri. Cinta kasih kepada orang lain juga akan merendahkan martabat dan kehormatan orang tersebut.
  • Pandangan terhadap kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai dengan moralitas akal sehat. Pada akhirnya semua tindakan dapat dijelaskan dari prinsip fundamental kepentingan diri.

Alasan yang menentang teori egoisme etis: 
  • Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan. Kita memerlukan aturan moral karena dalam kenyataannya sering kali dijumpai kepentingan-kepentingan yang bertabrakan.
  • Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. Egoisme etis dapat dijadikan sebagai pembenaran atas timbulnya rasisme.
2) Utilitarianisme 
Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest number). Paham utilitarianisme sebagai berikut: 
  • Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak,
  • Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan,
  • Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan orang banyak (kepentingan orang banyak). Kritik terhadap teori utilitarianisme: 
  • Utilitarianisme hanya menekankan tujuan/mnfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani.
  • Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu/minoritas demi keuntungan mayoritas orang banyak.

3) Deontologi 
Paradigma teori deontologi saham berbeda dengan paham egoisme dan utilitarianisme, yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu (egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat (utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka tindakan tersebut dikatakan tidak etis. 

Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori teleologi Sangat berbeda dengan paham teleologi yang menilai etis atau tidaknya suatu tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau konsekuensi dari tindakan tersebut, paham deontologi justru mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjdi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan.

1.2. Pentingnya Etika Profesi

Apakah etika, dan apakah etika profesi itu? Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. 

Menurut Ahia& Martin (1993) etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. 

Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsipprinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepenringan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. 

Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan kehlian (Wignjosoebroto, 1999).

Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. 
Tanpa etika profesi, apa yang semual dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini. 

1.3. Profesi

Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek (Isnanto, 2009). 

PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. 

PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang. 
Menurut Isnanto (2009) Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
  1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
  2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
  3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi har us meletak kan kep entingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
  4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
  5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Suatu pekerjaan atau keguatan dikatakan profesi jika memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat Suatu Profesi antara lain: 
  • Melibatkan kegiatan intelektual.
  • Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
  • Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.
  • Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan. 
  • Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
  • Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
  • Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
  • Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.

1.4. Etika Akuntan Indonesia

Etika profesi akunt an di Indonesia diatur dalam Ko de Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:
  1. Prinsip Etika, prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota.
  2. Aturan Etika, aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan
  3. Interpretasi Aturan Etika, Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

Kode etik akuntan Indonesia memuat delapan prinsip etika sebagai berikut (Mulyadi, 2001: 53): 

1) Tanggung Jawab profesi. 
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada s emua p emakai jasa profesional mereka. 
Anggota juga harus selalu bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi. 

2) Kepentingan Publik 
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. 
Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara. 
Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. 

3) Integritas 
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip. 

4) Obyektivitas. 
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. 
Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas. 

5) Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional 
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir.
Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik- baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. 
Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya. 

6) Kerahasiaan 
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. 
Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan. 
Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.

7) Perilaku Profesional 
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum. 

8) Standar Teknis 
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. 
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan. 

1.5. Independensi Auditor

Independensi me ny ang kut ke m ampuan untuk b er t indak obyekt if serta penuh integritas. Hal ini hanya bi s a dilaku kan oleh seseorang yang secara psikologis memiliki intelektual ting gi dan p enu h dengan kejujuran. Oleh karena itu independensi adalah state of mind yang tidak mudah untuk diukur. Penilaian terhadap independensi terbatas pada evaluasi terhadap appearance, terhadap cara dan hasil kerja yang dilakukan oleh akuntan publik. Untuk tujuan praktis seorang akuntan publik harus bebas dari hubungan-hubungan yang memiliki potensi untuk menimbulkan bias dalam memberikan opini atas laporan keuangan klien (Kasidi, 2007). 

Independensi adalah sikap tidak memihak. Independensi auditor adalah sikap tidak memihak kepada kepentingan siapapun dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan yang dibuat oleh pihak manajemen. Auditor mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur tidak saja kepada pihak manajemen, tetapi juga terhadap pihak ketiga sebagai pemakai laporan keuangan, seperti kreditor, pemilik maupun calon pemeilik.

Teori sikap dan perilaku (Theory of Attitude and Behaviour) yang dikembangkan oleh Triandis (1971) dalam Janti Soegiastuti (2005), dipandang sebagai teori yang dapat mendasari untuk menjelaskan independensi. Teori tersebut menyatakan, bahwa: perilaku ditentukan untuk apa orang-orang ingin lakukan (sikap), apa yang mereka pikirkan akan mereka lakukan (aturan-aturan sosial), apa yang mereka bisa lakukan (kebiasaan) dan dengan konsekuensi perilaku yang mereka pikirkan. 

Sikap menyangkut komponen kognitif berkaitan dengan keyakinan, sedangkan komponen sikap afektif memiliki konotasi suka atau tidak suka. Sikap adalah pernyataan evaluatif mengenai seluruh tendensi tindakan, baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai obyek, orang atau peristiwa. Sikap merupakan kecenderungan dalam merespon sesuatu. Sikap bukanlah perilaku, namun sikap menghadirkan suatu kesiapsiagaan untuk tindakan yang mengarah pada perilaku, sehingga sikap merupakan wahana dalam membimbing perilaku. 

Fenomena sikap timbulnya tidak saja ditentukan oleh keadaan obyek yang sedang dihadapi, tetapi juga oleh kaitanya dengan pengalaman-pengalaman, oleh situasi pada saat ini, dan oleh harapan untuk masa yang akan datang. Seseorang membentuk sikap dari pengalaman pribadi, orang tua, panutan masyarakat, dan kelompok sosial. Ketika pertama sekali seseorang mempelajarinya sikap menjadi suatu bentuk bagian dari pribadi individu yang membantu konsistensi perilaku. Para akuntan harus memahami sikap dalam rangka memahami dan memprediksikan perilaku. 

Seorang auditor hasil auditnya memberikan pendapat dan pemahaan. Pemahaman berfungsi membantu seseorang dalam memberikan maksud atau memahami situasi atau peristiwa baru. Sikap juga melayani suatu hal yang bermanfaat atau sebagai fungsi kebutuhan yang memuaskan. Sikap juga melayani fungsi defensif ego dengan melakukan pengembangan guna melindungi manusia dari pengetahuan yang berlandaskan kebenaran mengenai dasar manusia itu sendiri atau dunianya, dan akhirnya sikap juga melayani fungsi nilai ekpresi untuk mencapai kepuasan.

Jika dilihat berbagai hasil penelitian bidang Audit, baik sektor privat maupun sektor publik, sebagian besar studi empiris yang ada tentang persepsi independensi auditor memfokuskan pada pengidentifikasian faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi independensi dan menilai dampaknya terhadap independensi dalam persepsi, karena independensi aktual tidak mudah untuk diobsevasi. Beberapa studi mencoba untuk menemukan hubungan antara faktor- faktor tersebut dengan independensi auditor, apakah berhubungan secara signifikan atau tidak, apakah berhubungan secara positif atau secara negatif (Pany dan Reckers, 1980). Kelompok yang lain mencoba untuk membuat peringkat berdasarkan tingkat pengaruhnya pada persepsi indepenensi auditor (Shockley, 1981). 

Diantara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi independensi auditor yang telah diteliti adalah : 
  1. Efek dari pemberiah hadiah (Pany dan Reckers, 1980); hadiah yang diberikan klien terhadap audit bisa mempengaruhi independensi auditor dalam memberikan opini.
  2. pemberian diskon pembelian (Pany dan Reckers, 1980); hal ini berpengaruh melalui hubungan tidak langsung, berhubungan dengan pribadi atau keluarga auditor, jika ingin bertransaksi dengan perusahaan klien, maka akan mendapatkan keringanan harga dalam pemberian produk.
  3. ukuran kantor akunt an publ ik (KAP) (Sho ck le y 1981); b es arkecilnya at au ting kat b onaf idit as s ebuah KAP bis a mempengaruhi independensi auditor.
  4. layanan pemberian jasa konsultasi manajemen atau management advisory services (MAS) (Shockley, 1981; Knapp, 1985;); sama halnya dengan diskon atau keringanan harga, layanan pemberian jasa konsultasi manajemen atau management advisory services juga merupakan jasa timbal balik dari klien terhadap auditor.
  5. kondisi keuangan klien (Knapp, 1985); kondisi keuangan klien dapat mengganggu keputusan auditor dalam menjaga independensi.
  6. lamanya hubungan audit dengan perusahaan klien (Shockley, 1981; Teoh dan Lim, 1996); hubungan baik sebagai pelanggan antara klien dengan auditor dapat melemahkan independensi auditor.
  7. tingkat persaingan dalam memberikan layanan jasa auditing (Knapp, 1985); kadangkala sebuah KAP lebih mengejar output dan hasil, hal ini dapat membahayakan independensi auditor.
  8. besarnya jasa audit yang relatif terhadap besarnya klien (Teoh dan Lim, 1996; Pany dan Reckers,1980); hasil yang diperoleh atau pemberian jaa audit dapat menurunkan atau bahkan menaikan kadar independensi seorang auditor.
  9. keberadaan komite audit (Teoh dan Lim, 1996); keberadaan komite audit dapat mempengaruhi etika seorang auditor.
Di Indonesia berbagai kasus pelanggaran etika auditor, baik sektor privat maupun sektor publik, apalagi ciri Indonesia adalah negara berkembang, di mana proses adopsi good governance baru saja digulirkan. Masalah independensi sebenarnya bukanlah monopoli akuntan publik Indonesia, melainkan sudah merupakan masalah internasional. Internasional Federation of Accountans telah mengeluarkan exposure draft yang membahas masalah independensi ini (Media Akuntansi, Juni 2000).
Tidak sekedar independensi dalam sikap mental dan penampilan saja, tetapi juga mencakup mutu, integritas, obyektivitas dan sikap kehati–hatian akuntan publik. Independensi dalam penampilan akuntan publik dianggap rusak jika ia mengetahui atau patut mengetahui keadaan atau hubungan yang mungkin mengkompromikan independensinya. 
Menurut Ruchjat Kosasih (2000) ada empat jenis risiko yang dapat merusak independensi akuntan publik , yaitu :
  1. Self interest risk, yang terjadi apabila akuntan publik menerima manfaat dari keterlibatan keuangan klien.
  2. Self Review Risk. Yang terjadi jika akuntan publik melaksanakan penugasan pemberian jasa keyakinan yang menyangkut keputusan yang dibuat untuk kepentingan klien atau melaksanakan jasa lain yang mengarah pada produk atau pertimbangan yang mempengaruhi informasi yang menjadi pokok bahasan dalam penugasan pemberian jasa keyakinan.
  3. Advocacy risk, yang terjadi apabila tindakan akuntan publik menjadi terlalu erat kaitanya dengan kepentingan klien.
  4. Client influence risk, yang terjadi apabila akuntan publik mempunyai hubungan erat yang kontinyu dengan klien, termasuk hubungan pribadi yang dapat mengakibatkan intimidasi oleh atau keramah-tamahan (familiarity) yang berlebihan dengan klien (Ruchjat Kosasih, hal. 47-48).

1.6. Pelanggaran Etika dan Tindakan Melanggar Hukum 

Etika sebagai sebuah nilai yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku di dalam kehidupan kelompok tersebut, tentunya tidak akan terlepas dari tindakan- tindakan tidak etis. Tindakan tidak etis yang dimaksudkan di sini adalah tindakan melanggar etika yang berlaku dalam lingkungan kehidupan tersebut. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya tindakan- tindakan tidak etis dalam sebuah perusahaan menurut Jan Hoesada (2002) adalah: 
a) Kebutuhan Individu 
Kebutuhan individu merupakan faktor utama penyebab terjadinya tindakan-tindakan tidak etis. Contohnya, seseorang bisa saja melakukan korupsi untuk mencapai kebutuhan pribadi dalam kehidupannya. Sebuah keinginan yang tidak terpenuhi itulah yang memancing individu melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis.
  
b) Tidak ada pedoman
Tindakan tidak etis bisa saja muncul karena tidak adanya pedoman atau prosedur-prosedur yang baku tentang bagaimana melakukan sesuatu. 

c) Perilaku dan kebiasaan individu 
Tindakan tidak etis juga bisa muncul karena perilaku dan kebiasaan individu, tanpa memperhatikan faktor lingkungan di mana individu tersebut berada. Kebiasan tersebut bisa terikut kemana saja yang bersangkutan berada termasuk dalam profesinya. 

d) Lingkungan tidak etis 
Suatu lingkungan dapat mempengaruhi orang lain yang berada dalam lingkungan tersebut untuk melakukan hal serupa. Lingkungan tidak etis ini terkait pada teori psikologi sosial, di mana anggota mencari konformitas dengan lingkungan dan kepercayaan pada kelompok. 

e) Perilaku atasan 
Jika atasan yang terbiasa melakukan tindakan tidak etis, dapat mempengaruhi orang-orang yang berada dalam lingkup pekerjaannya untuk melakukan hal serupa. Hal itu terjadi karena dalam kehidupan sosial sering kali berlaku pedoman tidak tertulis bahwa apa yang dilakukan atasan akan menjadi contoh bagi anak buahnya.


Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal