Monday, 10 August 2015

ETIKA PROFESI AUDITOR

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. 
Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. 

1.1. Pengertian Etika

Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. 
Berikut ini beberapa teori etika:
1) Egoisme 
Rachels (2004) memp erkenalkan du a kons ep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang bolah saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur dan/atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. 

Kedua, egoisme etis, adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri sendiri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Berikut adalah pokok- pokok pandangan egoisme etis: 
  1. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain.
  2. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu-satunya tuga adalah kepentingan diri.
  3. Meski egois etis berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan diri, tetapi egoisme etis juga tidak mengatakan bahwa anda harus menghindari tindakan menolong orang lain
  4. Menurut paham egoisme etis, tindakan menolong orang lain dianggap sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri karena mungkin saja kepentingan orang lain tersebut bertautan dengan kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.
  5. Inti dari paham egoisme etis adalah apabila ada tindakan yang menguntungkan orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar. Sesuatu yang membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu menguntungkan diri sendiri. 
Alasan yang mendukung teori egoisme: 
  • Argumen bahwa altruisme adalah tindakan menghancurkan diri sendiri. Tindakan peduli terhadap orang lain merupakan gangguan ofensif bagi kepentingan sendiri. Cinta kasih kepada orang lain juga akan merendahkan martabat dan kehormatan orang tersebut.
  • Pandangan terhadap kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai dengan moralitas akal sehat. Pada akhirnya semua tindakan dapat dijelaskan dari prinsip fundamental kepentingan diri.

Alasan yang menentang teori egoisme etis: 
  • Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan. Kita memerlukan aturan moral karena dalam kenyataannya sering kali dijumpai kepentingan-kepentingan yang bertabrakan.
  • Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. Egoisme etis dapat dijadikan sebagai pembenaran atas timbulnya rasisme.
2) Utilitarianisme 
Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest number). Paham utilitarianisme sebagai berikut: 
  • Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak,
  • Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan,
  • Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan orang banyak (kepentingan orang banyak). Kritik terhadap teori utilitarianisme: 
  • Utilitarianisme hanya menekankan tujuan/mnfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani.
  • Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu/minoritas demi keuntungan mayoritas orang banyak.

3) Deontologi 
Paradigma teori deontologi saham berbeda dengan paham egoisme dan utilitarianisme, yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu (egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat (utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka tindakan tersebut dikatakan tidak etis. 

Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori teleologi Sangat berbeda dengan paham teleologi yang menilai etis atau tidaknya suatu tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau konsekuensi dari tindakan tersebut, paham deontologi justru mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjdi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan.

1.2. Pentingnya Etika Profesi

Apakah etika, dan apakah etika profesi itu? Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. 

Menurut Ahia& Martin (1993) etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. 

Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsipprinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepenringan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. 

Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan kehlian (Wignjosoebroto, 1999).

Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. 
Tanpa etika profesi, apa yang semual dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini. 

1.3. Profesi

Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek (Isnanto, 2009). 

PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. 

PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang. 
Menurut Isnanto (2009) Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
  1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
  2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
  3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi har us meletak kan kep entingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
  4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
  5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Suatu pekerjaan atau keguatan dikatakan profesi jika memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat Suatu Profesi antara lain: 
  • Melibatkan kegiatan intelektual.
  • Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
  • Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.
  • Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan. 
  • Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
  • Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
  • Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
  • Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.

1.4. Etika Akuntan Indonesia

Etika profesi akunt an di Indonesia diatur dalam Ko de Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:
  1. Prinsip Etika, prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota.
  2. Aturan Etika, aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan
  3. Interpretasi Aturan Etika, Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

Kode etik akuntan Indonesia memuat delapan prinsip etika sebagai berikut (Mulyadi, 2001: 53): 

1) Tanggung Jawab profesi. 
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada s emua p emakai jasa profesional mereka. 
Anggota juga harus selalu bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi. 

2) Kepentingan Publik 
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. 
Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara. 
Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. 

3) Integritas 
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip. 

4) Obyektivitas. 
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. 
Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas. 

5) Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional 
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir.
Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik- baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. 
Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya. 

6) Kerahasiaan 
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. 
Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan. 
Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.

7) Perilaku Profesional 
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum. 

8) Standar Teknis 
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. 
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan. 

1.5. Independensi Auditor

Independensi me ny ang kut ke m ampuan untuk b er t indak obyekt if serta penuh integritas. Hal ini hanya bi s a dilaku kan oleh seseorang yang secara psikologis memiliki intelektual ting gi dan p enu h dengan kejujuran. Oleh karena itu independensi adalah state of mind yang tidak mudah untuk diukur. Penilaian terhadap independensi terbatas pada evaluasi terhadap appearance, terhadap cara dan hasil kerja yang dilakukan oleh akuntan publik. Untuk tujuan praktis seorang akuntan publik harus bebas dari hubungan-hubungan yang memiliki potensi untuk menimbulkan bias dalam memberikan opini atas laporan keuangan klien (Kasidi, 2007). 

Independensi adalah sikap tidak memihak. Independensi auditor adalah sikap tidak memihak kepada kepentingan siapapun dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan yang dibuat oleh pihak manajemen. Auditor mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur tidak saja kepada pihak manajemen, tetapi juga terhadap pihak ketiga sebagai pemakai laporan keuangan, seperti kreditor, pemilik maupun calon pemeilik.

Teori sikap dan perilaku (Theory of Attitude and Behaviour) yang dikembangkan oleh Triandis (1971) dalam Janti Soegiastuti (2005), dipandang sebagai teori yang dapat mendasari untuk menjelaskan independensi. Teori tersebut menyatakan, bahwa: perilaku ditentukan untuk apa orang-orang ingin lakukan (sikap), apa yang mereka pikirkan akan mereka lakukan (aturan-aturan sosial), apa yang mereka bisa lakukan (kebiasaan) dan dengan konsekuensi perilaku yang mereka pikirkan. 

Sikap menyangkut komponen kognitif berkaitan dengan keyakinan, sedangkan komponen sikap afektif memiliki konotasi suka atau tidak suka. Sikap adalah pernyataan evaluatif mengenai seluruh tendensi tindakan, baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai obyek, orang atau peristiwa. Sikap merupakan kecenderungan dalam merespon sesuatu. Sikap bukanlah perilaku, namun sikap menghadirkan suatu kesiapsiagaan untuk tindakan yang mengarah pada perilaku, sehingga sikap merupakan wahana dalam membimbing perilaku. 

Fenomena sikap timbulnya tidak saja ditentukan oleh keadaan obyek yang sedang dihadapi, tetapi juga oleh kaitanya dengan pengalaman-pengalaman, oleh situasi pada saat ini, dan oleh harapan untuk masa yang akan datang. Seseorang membentuk sikap dari pengalaman pribadi, orang tua, panutan masyarakat, dan kelompok sosial. Ketika pertama sekali seseorang mempelajarinya sikap menjadi suatu bentuk bagian dari pribadi individu yang membantu konsistensi perilaku. Para akuntan harus memahami sikap dalam rangka memahami dan memprediksikan perilaku. 

Seorang auditor hasil auditnya memberikan pendapat dan pemahaan. Pemahaman berfungsi membantu seseorang dalam memberikan maksud atau memahami situasi atau peristiwa baru. Sikap juga melayani suatu hal yang bermanfaat atau sebagai fungsi kebutuhan yang memuaskan. Sikap juga melayani fungsi defensif ego dengan melakukan pengembangan guna melindungi manusia dari pengetahuan yang berlandaskan kebenaran mengenai dasar manusia itu sendiri atau dunianya, dan akhirnya sikap juga melayani fungsi nilai ekpresi untuk mencapai kepuasan.

Jika dilihat berbagai hasil penelitian bidang Audit, baik sektor privat maupun sektor publik, sebagian besar studi empiris yang ada tentang persepsi independensi auditor memfokuskan pada pengidentifikasian faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi independensi dan menilai dampaknya terhadap independensi dalam persepsi, karena independensi aktual tidak mudah untuk diobsevasi. Beberapa studi mencoba untuk menemukan hubungan antara faktor- faktor tersebut dengan independensi auditor, apakah berhubungan secara signifikan atau tidak, apakah berhubungan secara positif atau secara negatif (Pany dan Reckers, 1980). Kelompok yang lain mencoba untuk membuat peringkat berdasarkan tingkat pengaruhnya pada persepsi indepenensi auditor (Shockley, 1981). 

Diantara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi independensi auditor yang telah diteliti adalah : 
  1. Efek dari pemberiah hadiah (Pany dan Reckers, 1980); hadiah yang diberikan klien terhadap audit bisa mempengaruhi independensi auditor dalam memberikan opini.
  2. pemberian diskon pembelian (Pany dan Reckers, 1980); hal ini berpengaruh melalui hubungan tidak langsung, berhubungan dengan pribadi atau keluarga auditor, jika ingin bertransaksi dengan perusahaan klien, maka akan mendapatkan keringanan harga dalam pemberian produk.
  3. ukuran kantor akunt an publ ik (KAP) (Sho ck le y 1981); b es arkecilnya at au ting kat b onaf idit as s ebuah KAP bis a mempengaruhi independensi auditor.
  4. layanan pemberian jasa konsultasi manajemen atau management advisory services (MAS) (Shockley, 1981; Knapp, 1985;); sama halnya dengan diskon atau keringanan harga, layanan pemberian jasa konsultasi manajemen atau management advisory services juga merupakan jasa timbal balik dari klien terhadap auditor.
  5. kondisi keuangan klien (Knapp, 1985); kondisi keuangan klien dapat mengganggu keputusan auditor dalam menjaga independensi.
  6. lamanya hubungan audit dengan perusahaan klien (Shockley, 1981; Teoh dan Lim, 1996); hubungan baik sebagai pelanggan antara klien dengan auditor dapat melemahkan independensi auditor.
  7. tingkat persaingan dalam memberikan layanan jasa auditing (Knapp, 1985); kadangkala sebuah KAP lebih mengejar output dan hasil, hal ini dapat membahayakan independensi auditor.
  8. besarnya jasa audit yang relatif terhadap besarnya klien (Teoh dan Lim, 1996; Pany dan Reckers,1980); hasil yang diperoleh atau pemberian jaa audit dapat menurunkan atau bahkan menaikan kadar independensi seorang auditor.
  9. keberadaan komite audit (Teoh dan Lim, 1996); keberadaan komite audit dapat mempengaruhi etika seorang auditor.
Di Indonesia berbagai kasus pelanggaran etika auditor, baik sektor privat maupun sektor publik, apalagi ciri Indonesia adalah negara berkembang, di mana proses adopsi good governance baru saja digulirkan. Masalah independensi sebenarnya bukanlah monopoli akuntan publik Indonesia, melainkan sudah merupakan masalah internasional. Internasional Federation of Accountans telah mengeluarkan exposure draft yang membahas masalah independensi ini (Media Akuntansi, Juni 2000).
Tidak sekedar independensi dalam sikap mental dan penampilan saja, tetapi juga mencakup mutu, integritas, obyektivitas dan sikap kehati–hatian akuntan publik. Independensi dalam penampilan akuntan publik dianggap rusak jika ia mengetahui atau patut mengetahui keadaan atau hubungan yang mungkin mengkompromikan independensinya. 
Menurut Ruchjat Kosasih (2000) ada empat jenis risiko yang dapat merusak independensi akuntan publik , yaitu :
  1. Self interest risk, yang terjadi apabila akuntan publik menerima manfaat dari keterlibatan keuangan klien.
  2. Self Review Risk. Yang terjadi jika akuntan publik melaksanakan penugasan pemberian jasa keyakinan yang menyangkut keputusan yang dibuat untuk kepentingan klien atau melaksanakan jasa lain yang mengarah pada produk atau pertimbangan yang mempengaruhi informasi yang menjadi pokok bahasan dalam penugasan pemberian jasa keyakinan.
  3. Advocacy risk, yang terjadi apabila tindakan akuntan publik menjadi terlalu erat kaitanya dengan kepentingan klien.
  4. Client influence risk, yang terjadi apabila akuntan publik mempunyai hubungan erat yang kontinyu dengan klien, termasuk hubungan pribadi yang dapat mengakibatkan intimidasi oleh atau keramah-tamahan (familiarity) yang berlebihan dengan klien (Ruchjat Kosasih, hal. 47-48).

1.6. Pelanggaran Etika dan Tindakan Melanggar Hukum 

Etika sebagai sebuah nilai yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku di dalam kehidupan kelompok tersebut, tentunya tidak akan terlepas dari tindakan- tindakan tidak etis. Tindakan tidak etis yang dimaksudkan di sini adalah tindakan melanggar etika yang berlaku dalam lingkungan kehidupan tersebut. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya tindakan- tindakan tidak etis dalam sebuah perusahaan menurut Jan Hoesada (2002) adalah: 
a) Kebutuhan Individu 
Kebutuhan individu merupakan faktor utama penyebab terjadinya tindakan-tindakan tidak etis. Contohnya, seseorang bisa saja melakukan korupsi untuk mencapai kebutuhan pribadi dalam kehidupannya. Sebuah keinginan yang tidak terpenuhi itulah yang memancing individu melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis.
  
b) Tidak ada pedoman
Tindakan tidak etis bisa saja muncul karena tidak adanya pedoman atau prosedur-prosedur yang baku tentang bagaimana melakukan sesuatu. 

c) Perilaku dan kebiasaan individu 
Tindakan tidak etis juga bisa muncul karena perilaku dan kebiasaan individu, tanpa memperhatikan faktor lingkungan di mana individu tersebut berada. Kebiasan tersebut bisa terikut kemana saja yang bersangkutan berada termasuk dalam profesinya. 

d) Lingkungan tidak etis 
Suatu lingkungan dapat mempengaruhi orang lain yang berada dalam lingkungan tersebut untuk melakukan hal serupa. Lingkungan tidak etis ini terkait pada teori psikologi sosial, di mana anggota mencari konformitas dengan lingkungan dan kepercayaan pada kelompok. 

e) Perilaku atasan 
Jika atasan yang terbiasa melakukan tindakan tidak etis, dapat mempengaruhi orang-orang yang berada dalam lingkup pekerjaannya untuk melakukan hal serupa. Hal itu terjadi karena dalam kehidupan sosial sering kali berlaku pedoman tidak tertulis bahwa apa yang dilakukan atasan akan menjadi contoh bagi anak buahnya.


Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal

No comments:

Post a Comment