1.1. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatif Kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan s e cara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat dipertanggungjawabkan (responsibility), (Dykstra, 1939) yang dapat dipertanyakan (answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait dengan tingkat problembilitas di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-perusahaan.
Dalam peran kepemimpinan, akuntabilitas dapat merupakan pengetahuan dan adanya pertanggungjawaban tehadap tiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan termasuk pula di dalamnya administrasi publik pemerintahan, dan pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi kerja yang mencakup di dalam mempunyai suatu kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan dan dapat dipertanyakan bagi tiap-tiap konsekuensi yang sudah dihasilkan.
akuntabilitas merupakan istilah yang terkait dengan tata kelola pemerintahan sebenarnya agak terlalu luas untuk dapat didefinisikan (Mulgan, 2000) dan (Sinclair, 1995), akan tetapi hal ini sering dapat digambarkan sebagai hubungan antara yang menyangkut saat sekarang ataupun masa depan, antar individu, kelompok sebagai sebuah pertanggungjawaban kepentingan merupakan sebuah kewajiban untuk memberitahukan, menjelaskan terhadap tiap-tiap tindakan dan keputusannya agar dapat disetujui maupun ditolak atau dapat diberikan hukuman bilamana diketemukan adanya penyalahgunaan kewenangan (Schedler, 1999).
1.2. Akuntabilitas dalam Sektor Publik
Sektor Publik yang lekat dengan sebutan untuk Instansi Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku terdiri dari: Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara, Markas Besar TNI (meliputi: Markas Besar TNI Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut), Kepolisian Republik Indonesia, Kantor Perwakilan Pemerintah RI di Luar Negeri, Kejaksaan Agung, Perangkat Pemerintahan Provinsi, Perangkat Pemerintahan Kabupaten/Kota, dan lembaga/ badan lainnya yang dibiayai dari anggaran negara (BPKP, 2011).
Konsep dan kebijakan mengenai akuntabilitas memiliki akar yang kuat dalam kehidupan bernegara kita, khususnya mulai pada era reformasi. Kebijakan akuntabilitas di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 dan dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam UU No. 28/1999 disebutkan bahwa azas penyelenggaraan kepemerintahan yang baik meliputi:
- Azas Kepastian Hukum.
- Azas Tertib Penyelenggaraan Negara.
- Azas Kepentingan Umum.
- Azas Keterbukaan.
- Azas Proporsionalitas.
- Azas Profesionalistas.
- Azas Akuntabilitas.
Akuntabilitas memiliki makna umum tanggungjawab, jadi azas akuntabilitas di sini diartikan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.
Penyelengaran pemerintah saat ini telah menjadi sebuah sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Seiring dengan meningkatnya peran swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, manajemen sektor publik telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini antara lain dipicu oleh pemikiran Osborne dan Gaebler dalam bukunya Reinventing Government (1992) atau pemerintahan wirausaha. Perubahan tersebut pada dasarnya diarahkan pada penciptaan manajemen publik yang handal dan mempertajam serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi publik.
Konsep dan sistem administrasi publik yang kaku, struktural/ hirarkis, dan birokratis telah ditinggalkan dan sebagai gantinya telah dikembangkan suatu konsep manajemen publik yang fleksibel dan berorientasi kepada pasar. Dalam paradigma manajemen sektor publik yang baru, birokrasi pemerintah dibuat seefisien dan seefektif mungkin sehingga mereka dapat bergerak fleksibel dalam mengikuti tuntutan masyarakat dan perubahan lingkungan. Paradigma baru ini dianggap sebagai solusi atas berbagai label negatif yang melekat pada sektor publik yaitu dengan mengacu pada kaidah-kaidah terhadap new public management (NPM).
1.3. Tata Pemerintahan yang Baik (good governance)
Pengelolaan pemerintahan atau biasa disebut Tata Pemerintahan merupaka suatu mekanisme interaksi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok untuk bersama-sama merumuskan berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan manajemen pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau administratif tertentu.
Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah memerlukan dasar atau prinsip Tata Pemerintahan daerah yang baik, yang dapat menjadi acuan bagi tercapainya tujuan pemberian otonomi, yang adalah:
Peningkatan pelayanan aparatur pemerintah di daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,
Pengemb angan kehidup an demokrasi, p ening kat an ras a kebangsaan, keadilan, pemerataan, dan kemandirian daerah serta,
Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Dalam publikasi yang diterbitkan oleh sekretariat Partnership for Governace menyebutkan bahwa “good governance is a concensus reached by government, citiziens and the privat sector for the adminstration of country or state”. Artinya, kepemerintahan yang baik itu adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani dan sektor swasta. Karena itu, untuk terwujudnya kepemerintahan yang baik, diperlikan dialog antara pelaku-pelaku penting dalam negara.
Agar semua pihak merasa memiliki tata pengaturan tersebut. Tanpa kesepakatan yang dilahirkan dari dialog ini, kesejahteraan tidak akan tercapai karena aspirasi politik maupun ekonomi rakyat tersumbat. LAN & BPKP (2000) mengemukakan bahwa, arti Good Governance mengandung dua pengertian :
Pertama, nilai-nilai yang menjujung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pemabangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut. Beberapa pendapat lain tentang Good Governance diantaranya adalah: “OECD dan World Bank mendefinisikan Good Governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworksbagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.
Dalam rangka mengembangkan strategi yang lebih implementatif, terdapat banyak karakteristik dan prinsip tentang Good Governance. Salah satu yang menjadi tonggak penting adalah karakteristik Good Governance yang dirumuskan pada deklarasi Manila, yaitu transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan responsive. Masing masing karakteristik dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
- Transparan, mengindikasikan adanya adanya kebebasan dan kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai bagi mereka yang memerlukan. Informatif, mutakhir, dapat diandalkan, mudah diperoleh dan dimengerti adalah beberapa parameter yang digunakan untuk mengecek keberhasilan tranparansi.
- Akuntabel dimana semua pihak (baik pemerintah, swasta dan masyarakat) harus mampu memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang diberikan kepadanya (stakeholders nya). Secara umum organisasi atau institusi harus akuntabel kepada mereka yang terpengaruh dengan keputusan atau aktivitas yang mereka lakukan.
- Adil dalam arti terdapat jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan kesempatan yang sama dalam menjalankan kehidupannya. Sifat adil ini diperoleh dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Adil ini juga berarti terdapat jaminan akan kesejahteraan masyarakat dimana semua masyarakat merasa bahwa mereka memiliki hak dan tidak merasa diasingkan dari kehidupan masyarakat.
- Wajar dalam arti jaminan atas pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (standar). Hal ini mensyaratkan bahwa semua kelompok, terutama kelompok yang lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk alasan ini, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pemerintah harus menyediakan standar pelayanan untuk menjamin kesamaan (fair) dan konsistensi pelayanan.
- Demokratis dalam arti terdapat jaminan kebebasan bagi setiap individu untuk berpendapat/mengeluarkan pendapat serta ikut dalam kegiatan pemilihan umum yang bebas, langsung, dan jujur.
- Partisipatif dalam arti terdapat jaminan kesamaan hak bagi setiap individu dalam pengambilan keputusan (baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan). Dalam kaitannya dengan partisipasi ini, terdapat tuntutan agar pemerintah meningkatkan fungsi kontrol terhadap manajemen pemerintah dan pembangunan dengan melibatkan organisasi non pemerintah. Peran organisasi non pemerintah sangat penting dalam konteks ini karena diyakini organisasi ini memiliki kontak yang lebih baik dengan masyarakat miskin, memiliki hubungan yang baik dengan daerah pedalaman dan pedesaan, mampu menyediakan metodealternatif pelayanan publik dengan harga yang murah dan sebagai mediator dalam menyampaikan berbagai pandangan dan kebutuhan masyarakat.
- Tanggap/peka/responsif yang berarti bahwa dalam melaksanakan kepemerintahan semua institusi dan proses yang dilaksanakan pemerintah harus melayani semua stakeholders secara tepat, baik dan dalam waktu yang tepat (tanggap terhadap kemauan masyarakat).
Tonggak atau pilar penting GG antara lain transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan responsive telah membawa konsep yang kuat bagi pengelolaan pemerintahan yang baik. Good governance adalah strategi untuk menciptakan institusi masyarakat yang kuat, dan juga untuk membuat pemerintah/publik sektor semakin terbuka, responsif, akuntable dan demokratis.
Di samping itu, konsep good governance jika dikembangkan akan menciptakan moder n gover nance (baik good ‘national’ governance maupun good local governance) yang handal yang tidak hanya menekankan aktivitasnya dalam kerangka efisiensi tetapi juga akuntabilitasnya di mata publik. Hal yang tidak kalah pentingnya, penerapan good governance sangat berperan dalam pencegahan dan pemberantasan praktik-praktik KKN. Hal ini berarti bahwa dengan adanya good governance maka penyalahgunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi dapat dihindarkan semaksimal mungkin.
1.4. Sistim Pengendalian Intern sektor Publik
Sistem Pengendalian Intern (SPI) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak, sehingga dalam pengembangan dan penerapannya perlu dilakukan secara komprehensif dan harus memperhatikan aspek biaya manfaat (cost and benefit), rasa keadilan dan kepatutan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta mempertimbangkan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dijelaskan bahwa SPIP adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Berkaitan dengan hal ini, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Sedangkan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang perbendaharaan, Menteri/ pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang pemerintahan masing-masing, dan Gubernur/Bupati/Walikota selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mengatur lebih lanjut dan meyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.
Unsur SPIP di Indonesia mengac u pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yaitu meliputi:
1) Lingkungan pengendalian
Lingkungan pengendalian adalah kondisi dalam Instansi Pemerintah yang memengaruhi efektivitas pengendalian intern. Unsur ini menekankan bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara keseluruhan lingkungan organisasi, sehingga dapat menimbulkan perilaku positif dan mendukung pengendalian intern dan manajemen yang sehat. Lingkungan pengendalian dapat diwujudkan melalui:
- Penegakan integritas dan nilai etika;
- Komitmen terhadap kompetensi;
- Kepemimpinan yang kondusif;
- Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
- Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
- Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;
- Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif;
- Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.
2) Penilaian risiko
Penilaian risiko adalah kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran Instansi Pemerintah. Unsur ini memberikan penekanan bahwa pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis resiko. Identifikasi risiko sekurang-kurangnya dilaksanakan dengan menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pe me rint ah dan tujuan pada ting katan ke giat an secara komprehensif, menggunakan mekanisme yang memadai untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan faktor internal serta menilai faktor lain yang dapat meningkatkan risiko.
Sedangkan analisis resiko dilaksanakan untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah dengan tetap menerapkan prinsip
kehati-hatian. Dalam rangka penilaian risiko pimpinan Instansi Pemerintah perlu menetapkan tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Tujuan Instansi Pemerintah memuat pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu. Tujuan Instansi Pemerintah tersebut wajib dikomunikasikan kepada seluruh pegawai, sehingga untuk mencapainya pimpinan Instansi Pemerintah perlu menetapkan strategi operasional yang konsisten dan strategi manajemen yang terintegrasi dengan rencana penilaian risiko.
Begitupula dengan tujuan pada tingkatan kegiatan, sekurangkurangnya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
- Berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah;
- Saling melengkapi, saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya;
- Relevan dengan seluruh kegiatan utama Instansi Pemerintah;
- Mengandung unsur kriteria pengukuran; Didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang cukup;
- Melibatkan seluruh tingkat pejabat dalam proses penetapannya.
3) Kegiatan pengendalian
Kegiatan pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif. Unsur ini menekankan bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
Penyelenggaraan kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah, seperti:
- Review atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
- Pembinaan sumber daya manusia/Pegawai Pemerintahan;
- Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
- Pengendalian fisik atas aset;
- Penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
- Pemisahan fungsi;
- Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
- Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
- Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
- Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya;
- Dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.
Selain itu, kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko dan disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah. Kebijakan dan prosedur dalam kegiatan pengendalian harus ditetapkan secara tertulis dan dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan tersebut, sehingga untuk menjamin kegiatan pengendalian masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan maka harus dievaluasi secara teratur.
4) Informasi dan komunikasi
Informasi adalah data yang telah diolah yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian pesan atau informasi dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan umpan balik.
D a lam hal ini pimpinan Inst ansi Pemer int ah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam b e ntuk dan waktu yang te pat. Berkaitan dengan pengkomunikasian informasi, wajib diselenggarakan secara efektif, dengan cara sebagai berikut:
- Menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan
- Mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus.
5) Pemantauan
Pemantauan pengendalian intern pada dasarnya adalah untuk memastikan apakah sistem pengendalian intern pada suatu instansi pemerintah telah berjalan sebagaimana yang diharapkan dan apakah perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan telah dilaksanakan sesuai dengan perkembangan. Unsur ini mencakup penilaian desain dan operasi pengendalian serta pelaksanaan tindakan perbaikan yang diperlukan.
Pimpinan instansi harus menaruh perhatian serius terhadap kegiatan pemantauan atas pengendalian intern dan perkembangan misi organisasi. Pengendalian yang tidak dipantau dengan baik cenderung memberikan pengaruh yang buruk dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, agar kegiatan pemantauan menjadi lebih efektif, seluruh pegawai perlu mengerti misi organisasi, tujuan, tingkat toleransi risiko dan tanggung jawab rnasing-masing.
Dalam menerapkan unsur SPIP, setiap pimpinan Instansi Pemerintah bertanggung jawab untuk mengembangkan kebijakan, prosedur dan praktik detail untuk menyesuaikan dengan kegiatan Instansi Pemerintah dan untuk memastikan bahwa unsur tersebut telah menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi Pemerintah.
Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan SPIP dilakukan pengawasan intern dan pembinaan penyelenggaraan SPIP. Pengawasan intern merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian intern yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.
Lingkup pengaturan pengawasan intern ini mencakup kelembagaan, lingkup tugas, kompetensi sumber daya manusia, kode etik, standar audit, pelaporan, dan telaahan sejawat. Sedangkan Pembinaan penyelenggaraan SPIP meliputi penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan konsultansi SPIP, serta peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) pada setiap instansi Pemerintahan.
1.5. Pengendalian dalam Pencegahan KKN
Setiap organisasi memiliki situasi dan kondisi yang berbeda- beda akan tetapi mereka mempunyai beberapa pengendalian intern kunci yang sama dalam mencegah KKN. Pengendalian-pengendalian tersebut seperti dikutif dari Murwanto (2007:211) adalah:
a) Pengendalian-pengendalian yang melibatkan lebih dari satu pejabat.
- Pemisahan tugas sehingga tidak ada satu pegawai pun yang mengendalikan seluruh proses dalam suatu transaksi atau kegiatan. Pada umumnya, ketika ada risiko KKN, terutama penggelapan, tugas-tugas harus melibatkan minimal dua pegawai.
- Supervisi langsung untuk mengurangi kemungkinan dan godaan untuk melakukan KKN. Pegawai yang dibiarkan sendiri untuk suatu periode yang panjang atau periode yang dapat diprediksi dapat tergoda untuk melakukan KKN, terutama apabila pegawai tersebut bertanggung jawab atas aset-aset yang dapat dipindahkan dan berharga.
b) Pengendalian-pengendalian yang menggunakan rekonsiliasi independen.
Rekonsiliasi bank adalah contoh nyata pengendalian jenis ini. Rekonsiliasi independen atas dua perangkat catatan seringkali dapat mencegah atau menemukan kecurangan karena tidak semua pihak memiliki akses atas semua catatan. Seringkali pelaksanaan rekonsiliasi, walaupun bukan dengan maksud untuk menemukan kecurangan, dapat mencegah terjadinya kecurangan karena pegawai yang mempersiapkan suatu catatan atau laporan biasanya tidak mengetahui catatan/laporan lainnya yang direkonsiliasikan dengan catatan atau laporannya.
Rekonsiliasi antara pegawai pada posisinya dengan catatan kepegawaian, misalnya mampu mencegah adanya pembayaran- pembayaran kepada pegawai fiktif.
c) Pengendalian-pengendalian yang melibatkan penggunaan tanda tangan.
Para pelaku KKN potensial seringkali dapat dicegah melakukan KKN jika mereka diharuskan memberikan tanda tangan pada pekerjaan mereka. Bukti yang menunjukkan siapa yang mengerjakan suatu pekerjaan biasanya merupakan prasyarat untuk mencapai suatu kualitas dan keandalan kinerja yang baik.
Pembayaran yang disertai tanda tangan antara pejabat yang menerima dan yang memberi merupakan contoh umum jenis pengendalian ini.
d) Pengendalian fisik.
Kunci pada pintu, lemari brankas, halaman yang berpagar terkunci merupakan contoh pengendalian yang membantu mencegah pencurian. Pengendalian-pengendalian fisik umumnya membantu meminimalkan risiko-risiko dan godaan-godaan.
e) Daftar kekayaan yang dimiliki pejabat.
Daftar ini harus tersedia bagi politisi maupun pejabat yang memiliki kepentingan terhadap pekerjaan organisasi.
Kegiatan-kegiatan yang rawan berbeda-beda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, tetapi kegiatan-kegiatan ini memiliki kesamaan umum yang berkenaan dengan pengeluaran- pengeluaran untuk (Murwanto, 2007):
- Pembayaran tunjangan atau subsidi.
- Pembayaran-pembayaran kontrak, terutama pekerjaan pembangunan.
- Persediaan, termasuk perkakas-perkakas kantor yang berharga. d) Pinjaman kepada pegawai, pinjaman mobil, dan sebagainya.
- Pembayaran lembur, bonus dan honor-honor. f ) Pembayaran perjalanan dinas.
- Barang-barang inventaris pada perumahan pegawai, penjara, rumah sakit, dan sejenisnya.
- Kas kecil.
- Dana-dana tak resmi, seperti sumbangan-sumbangan. j) Pembayaran kepada pegawai honorer.
Dalam bukunya Murwanto dkk (2007) juga mengemukakan beberapa kegiatan yang dapat menjadi rawan terhadap praktik- praktik korupsi yang meluas adalah:
- Pentenderan, pemberian dan penyelesaian kontrak, menyewa konsultan atau staf sementara dari unit lain.
- Penjualan dengan tekanan, seperti pemberian hadiah atau liburan bila membeli suatu barang.
- Jamuan.
- Pemberian ijin/lisensi.
- Pembelian barang-barang yang langsung dikirimkan ke lokasi gedung bukannya ke gudang.
- Konflik kepentingan yang timbul ketika politisi atau pejabat (atau teman dan kerabat mereka) memiliki kepentingan-kepentingan finansial atas pekerjaan yang diberikan oleh instansi publik.
- Penggunaan peralatan khusus, seperti laptop dan mobil, untuk pekerjaan pribadi.
- Penghapusan atau penjualan barang-barang inventaris bekas.
Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal