Thursday, 13 August 2015

SISTEM PENGENDALIAN SEKTOR PUBLIK

1.1. Akuntabilitas 

Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatif Kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan s e cara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat dipertanggungjawabkan (responsibility), (Dykstra, 1939) yang dapat dipertanyakan (answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait dengan tingkat problembilitas di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-perusahaan. 

Dalam peran kepemimpinan, akuntabilitas dapat merupakan pengetahuan dan adanya pertanggungjawaban tehadap tiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan termasuk pula di dalamnya administrasi publik pemerintahan, dan pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi kerja yang mencakup di dalam mempunyai suatu kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan dan dapat dipertanyakan bagi tiap-tiap konsekuensi yang sudah dihasilkan. 

akuntabilitas merupakan istilah yang terkait dengan tata kelola pemerintahan sebenarnya agak terlalu luas untuk dapat didefinisikan (Mulgan, 2000) dan (Sinclair, 1995), akan tetapi hal ini sering dapat digambarkan sebagai hubungan antara yang menyangkut saat sekarang ataupun masa depan, antar individu, kelompok sebagai sebuah pertanggungjawaban kepentingan merupakan sebuah kewajiban untuk memberitahukan, menjelaskan terhadap tiap-tiap tindakan dan keputusannya agar dapat disetujui maupun ditolak atau dapat diberikan hukuman bilamana diketemukan adanya penyalahgunaan kewenangan (Schedler, 1999). 

1.2. Akuntabilitas dalam Sektor Publik 

Sektor Publik yang lekat dengan sebutan untuk Instansi Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku terdiri dari: Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara, Markas Besar TNI (meliputi: Markas Besar TNI Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut), Kepolisian Republik Indonesia, Kantor Perwakilan Pemerintah RI di Luar Negeri, Kejaksaan Agung, Perangkat Pemerintahan Provinsi, Perangkat Pemerintahan Kabupaten/Kota, dan lembaga/ badan lainnya yang dibiayai dari anggaran negara (BPKP, 2011). 

Konsep dan kebijakan mengenai akuntabilitas memiliki akar yang kuat dalam kehidupan bernegara kita, khususnya mulai pada era reformasi. Kebijakan akuntabilitas di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 dan dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam UU No. 28/1999 disebutkan bahwa azas penyelenggaraan kepemerintahan yang baik meliputi: 

  1. Azas Kepastian Hukum. 
  2. Azas Tertib Penyelenggaraan Negara. 
  3. Azas Kepentingan Umum. 
  4. Azas Keterbukaan. 
  5. Azas Proporsionalitas. 
  6. Azas Profesionalistas. 
  7. Azas Akuntabilitas. 
Akuntabilitas memiliki makna umum tanggungjawab, jadi azas akuntabilitas di sini diartikan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku. 

Penyelengaran pemerintah saat ini telah menjadi sebuah sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Seiring dengan meningkatnya peran swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, manajemen sektor publik telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini antara lain dipicu oleh pemikiran Osborne dan Gaebler dalam bukunya Reinventing Government (1992) atau pemerintahan wirausaha. Perubahan tersebut pada dasarnya diarahkan pada penciptaan manajemen publik yang handal dan mempertajam serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi publik. 

Konsep dan sistem administrasi publik yang kaku, struktural/ hirarkis, dan birokratis telah ditinggalkan dan sebagai gantinya telah dikembangkan suatu konsep manajemen publik yang fleksibel dan berorientasi kepada pasar. Dalam paradigma manajemen sektor publik yang baru, birokrasi pemerintah dibuat seefisien dan seefektif mungkin sehingga mereka dapat bergerak fleksibel dalam mengikuti tuntutan masyarakat dan perubahan lingkungan. Paradigma baru ini dianggap sebagai solusi atas berbagai label negatif yang melekat pada sektor publik yaitu dengan mengacu pada kaidah-kaidah terhadap new public management (NPM). 

1.3. Tata Pemerintahan yang Baik (good governance) 

Pengelolaan pemerintahan atau biasa disebut Tata Pemerintahan merupaka suatu mekanisme interaksi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok untuk bersama-sama merumuskan berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan manajemen pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau administratif tertentu. 

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah memerlukan dasar atau prinsip Tata Pemerintahan daerah yang baik, yang dapat menjadi acuan bagi tercapainya tujuan pemberian otonomi, yang adalah: 

Peningkatan pelayanan aparatur pemerintah di daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, 
Pengemb angan kehidup an demokrasi, p ening kat an ras a kebangsaan, keadilan, pemerataan, dan kemandirian daerah serta, 
Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Dalam publikasi yang diterbitkan oleh sekretariat Partnership for Governace menyebutkan bahwa “good governance is a concensus reached by government, citiziens and the privat sector for the adminstration of country or state”. Artinya, kepemerintahan yang baik itu adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani dan sektor swasta. Karena itu, untuk terwujudnya kepemerintahan yang baik, diperlikan dialog antara pelaku-pelaku penting dalam negara. 

Agar semua pihak merasa memiliki tata pengaturan tersebut. Tanpa kesepakatan yang dilahirkan dari dialog ini, kesejahteraan tidak akan tercapai karena aspirasi politik maupun ekonomi rakyat tersumbat. LAN & BPKP (2000) mengemukakan bahwa, arti Good Governance mengandung dua pengertian : 

Pertama, nilai-nilai yang menjujung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pemabangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. 
Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut. Beberapa pendapat lain tentang Good Governance diantaranya adalah: “OECD dan World Bank mendefinisikan Good Governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworksbagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. 

Dalam rangka mengembangkan strategi yang lebih implementatif, terdapat banyak karakteristik dan prinsip tentang Good Governance. Salah satu yang menjadi tonggak penting adalah karakteristik Good Governance yang dirumuskan pada deklarasi Manila, yaitu transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan responsive. Masing masing karakteristik dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: 
  1. Transparan, mengindikasikan adanya adanya kebebasan dan kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai bagi mereka yang memerlukan. Informatif, mutakhir, dapat diandalkan, mudah diperoleh dan dimengerti adalah beberapa parameter yang digunakan untuk mengecek keberhasilan tranparansi. 
  2. Akuntabel dimana semua pihak (baik pemerintah, swasta dan masyarakat) harus mampu memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang diberikan kepadanya (stakeholders nya). Secara umum organisasi atau institusi harus akuntabel kepada mereka yang terpengaruh dengan keputusan atau aktivitas yang mereka lakukan. 
  3. Adil dalam arti terdapat jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan kesempatan yang sama dalam menjalankan kehidupannya. Sifat adil ini diperoleh dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Adil ini juga berarti terdapat jaminan akan kesejahteraan masyarakat dimana semua masyarakat merasa bahwa mereka memiliki hak dan tidak merasa diasingkan dari kehidupan masyarakat. 
  4. Wajar dalam arti jaminan atas pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (standar). Hal ini mensyaratkan bahwa semua kelompok, terutama kelompok yang lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk alasan ini, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pemerintah harus menyediakan standar pelayanan untuk menjamin kesamaan (fair) dan konsistensi pelayanan. 
  5. Demokratis dalam arti terdapat jaminan kebebasan bagi setiap individu untuk berpendapat/mengeluarkan pendapat serta ikut dalam kegiatan pemilihan umum yang bebas, langsung, dan jujur. 
  6. Partisipatif dalam arti terdapat jaminan kesamaan hak bagi setiap individu dalam pengambilan keputusan (baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan). Dalam kaitannya dengan partisipasi ini, terdapat tuntutan agar pemerintah meningkatkan fungsi kontrol terhadap manajemen pemerintah dan pembangunan dengan melibatkan organisasi non pemerintah. Peran organisasi non pemerintah sangat penting dalam konteks ini karena diyakini organisasi ini memiliki kontak yang lebih baik dengan masyarakat miskin, memiliki hubungan yang baik dengan daerah pedalaman dan pedesaan, mampu menyediakan metodealternatif pelayanan publik dengan harga yang murah dan sebagai mediator dalam menyampaikan berbagai pandangan dan kebutuhan masyarakat. 
  7. Tanggap/peka/responsif yang berarti bahwa dalam melaksanakan kepemerintahan semua institusi dan proses yang dilaksanakan pemerintah harus melayani semua stakeholders secara tepat, baik dan dalam waktu yang tepat (tanggap terhadap kemauan masyarakat). 
Tonggak atau pilar penting GG antara lain transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan responsive telah membawa konsep yang kuat bagi pengelolaan pemerintahan yang baik. Good governance adalah strategi untuk menciptakan institusi masyarakat yang kuat, dan juga untuk membuat pemerintah/publik sektor semakin terbuka, responsif, akuntable dan demokratis. 
Di samping itu, konsep good governance jika dikembangkan akan menciptakan moder n gover nance (baik good ‘national’ governance maupun good local governance) yang handal yang tidak hanya menekankan aktivitasnya dalam kerangka efisiensi tetapi juga akuntabilitasnya di mata publik. Hal yang tidak kalah pentingnya, penerapan good governance sangat berperan dalam pencegahan dan pemberantasan praktik-praktik KKN. Hal ini berarti bahwa dengan adanya good governance maka penyalahgunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi dapat dihindarkan semaksimal mungkin. 

1.4. Sistim Pengendalian Intern sektor Publik 

Sistem Pengendalian Intern (SPI) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. 

Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak, sehingga dalam pengembangan dan penerapannya perlu dilakukan secara komprehensif dan harus memperhatikan aspek biaya manfaat (cost and benefit), rasa keadilan dan kepatutan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta mempertimbangkan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. 

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dijelaskan bahwa SPIP adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 

Berkaitan dengan hal ini, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Sedangkan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang perbendaharaan, Menteri/ pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang pemerintahan masing-masing, dan Gubernur/Bupati/Walikota selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mengatur lebih lanjut dan meyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya. 

Unsur SPIP di Indonesia mengac u pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yaitu meliputi: 
1) Lingkungan pengendalian 
Lingkungan pengendalian adalah kondisi dalam Instansi Pemerintah yang memengaruhi efektivitas pengendalian intern. Unsur ini menekankan bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara keseluruhan lingkungan organisasi, sehingga dapat menimbulkan perilaku positif dan mendukung pengendalian intern dan manajemen yang sehat. Lingkungan pengendalian dapat diwujudkan melalui: 
  • Penegakan integritas dan nilai etika; 
  • Komitmen terhadap kompetensi; 
  • Kepemimpinan yang kondusif; 
  • Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan; 
  • Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat; 
  • Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia; 
  • Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; 
  • Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait. 
2) Penilaian risiko 
Penilaian risiko adalah kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran Instansi Pemerintah. Unsur ini memberikan penekanan bahwa pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam. 

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis resiko. Identifikasi risiko sekurang-kurangnya dilaksanakan dengan menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pe me rint ah dan tujuan pada ting katan ke giat an secara komprehensif, menggunakan mekanisme yang memadai untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan faktor internal serta menilai faktor lain yang dapat meningkatkan risiko. 

Sedangkan analisis resiko dilaksanakan untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah dengan tetap menerapkan prinsip 
kehati-hatian. Dalam rangka penilaian risiko pimpinan Instansi Pemerintah perlu menetapkan tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. 

Tujuan Instansi Pemerintah memuat pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu. Tujuan Instansi Pemerintah tersebut wajib dikomunikasikan kepada seluruh pegawai, sehingga untuk mencapainya pimpinan Instansi Pemerintah perlu menetapkan strategi operasional yang konsisten dan strategi manajemen yang terintegrasi dengan rencana penilaian risiko. 

Begitupula dengan tujuan pada tingkatan kegiatan, sekurangkurangnya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: 

- Berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah; 
- Saling melengkapi, saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya; 
- Relevan dengan seluruh kegiatan utama Instansi Pemerintah; 
- Mengandung unsur kriteria pengukuran; Didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang cukup; 
- Melibatkan seluruh tingkat pejabat dalam proses penetapannya. 

3) Kegiatan pengendalian 
Kegiatan pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif. Unsur ini menekankan bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan. 
Penyelenggaraan kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah, seperti: 

- Review atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan; 
- Pembinaan sumber daya manusia/Pegawai Pemerintahan; 
- Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi; 
- Pengendalian fisik atas aset; 
- Penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja; 
- Pemisahan fungsi; 
- Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting; 
- Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian; 
- Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya; 
- Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; 
- Dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting. 

Selain itu, kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko dan disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah. Kebijakan dan prosedur dalam kegiatan pengendalian harus ditetapkan secara tertulis dan dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan tersebut, sehingga untuk menjamin kegiatan pengendalian masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan maka harus dievaluasi secara teratur. 

4) Informasi dan komunikasi 
Informasi adalah data yang telah diolah yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian pesan atau informasi dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan umpan balik. 

D a lam hal ini pimpinan Inst ansi Pemer int ah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam b e ntuk dan waktu yang te pat. Berkaitan dengan pengkomunikasian informasi, wajib diselenggarakan secara efektif, dengan cara sebagai berikut: 
- Menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan 
- Mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus. 

5) Pemantauan 
Pemantauan pengendalian intern pada dasarnya adalah untuk memastikan apakah sistem pengendalian intern pada suatu instansi pemerintah telah berjalan sebagaimana yang diharapkan dan apakah perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan telah dilaksanakan sesuai dengan perkembangan. Unsur ini mencakup penilaian desain dan operasi pengendalian serta pelaksanaan tindakan perbaikan yang diperlukan. 

Pimpinan instansi harus menaruh perhatian serius terhadap kegiatan pemantauan atas pengendalian intern dan perkembangan misi organisasi. Pengendalian yang tidak dipantau dengan baik cenderung memberikan pengaruh yang buruk dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, agar kegiatan pemantauan menjadi lebih efektif, seluruh pegawai perlu mengerti misi organisasi, tujuan, tingkat toleransi risiko dan tanggung jawab rnasing-masing. 

Dalam menerapkan unsur SPIP, setiap pimpinan Instansi Pemerintah bertanggung jawab untuk mengembangkan kebijakan, prosedur dan praktik detail untuk menyesuaikan dengan kegiatan Instansi Pemerintah dan untuk memastikan bahwa unsur tersebut telah menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi Pemerintah. 

Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan SPIP dilakukan pengawasan intern dan pembinaan penyelenggaraan SPIP. Pengawasan intern merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian intern yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. 
Lingkup pengaturan pengawasan intern ini mencakup kelembagaan, lingkup tugas, kompetensi sumber daya manusia, kode etik, standar audit, pelaporan, dan telaahan sejawat. Sedangkan Pembinaan penyelenggaraan SPIP meliputi penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan konsultansi SPIP, serta peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) pada setiap instansi Pemerintahan. 

1.5. Pengendalian dalam Pencegahan KKN

Setiap organisasi memiliki situasi dan kondisi yang berbeda- beda akan tetapi mereka mempunyai beberapa pengendalian intern kunci yang sama dalam mencegah KKN. Pengendalian-pengendalian tersebut seperti dikutif dari Murwanto (2007:211) adalah: 
a) Pengendalian-pengendalian yang melibatkan lebih dari satu pejabat. 
  • Pemisahan tugas sehingga tidak ada satu pegawai pun yang mengendalikan seluruh proses dalam suatu transaksi atau kegiatan. Pada umumnya, ketika ada risiko KKN, terutama penggelapan, tugas-tugas harus melibatkan minimal dua pegawai. 
  • Supervisi langsung untuk mengurangi kemungkinan dan godaan untuk melakukan KKN. Pegawai yang dibiarkan sendiri untuk suatu periode yang panjang atau periode yang dapat diprediksi dapat tergoda untuk melakukan KKN, terutama apabila pegawai tersebut bertanggung jawab atas aset-aset yang dapat dipindahkan dan berharga. 
b) Pengendalian-pengendalian yang menggunakan rekonsiliasi independen. 
Rekonsiliasi bank adalah contoh nyata pengendalian jenis ini. Rekonsiliasi independen atas dua perangkat catatan seringkali dapat mencegah atau menemukan kecurangan karena tidak semua pihak memiliki akses atas semua catatan. Seringkali pelaksanaan rekonsiliasi, walaupun bukan dengan maksud untuk menemukan kecurangan, dapat mencegah terjadinya kecurangan karena pegawai yang mempersiapkan suatu catatan atau laporan biasanya tidak mengetahui catatan/laporan lainnya yang direkonsiliasikan dengan catatan atau laporannya. 
Rekonsiliasi antara pegawai pada posisinya dengan catatan kepegawaian, misalnya mampu mencegah adanya pembayaran- pembayaran kepada pegawai fiktif. 
c) Pengendalian-pengendalian yang melibatkan penggunaan tanda tangan. 
Para pelaku KKN potensial seringkali dapat dicegah melakukan KKN jika mereka diharuskan memberikan tanda tangan pada pekerjaan mereka. Bukti yang menunjukkan siapa yang mengerjakan suatu pekerjaan biasanya merupakan prasyarat untuk mencapai suatu kualitas dan keandalan kinerja yang baik. 
Pembayaran yang disertai tanda tangan antara pejabat yang menerima dan yang memberi merupakan contoh umum jenis pengendalian ini. 
d) Pengendalian fisik. 
Kunci pada pintu, lemari brankas, halaman yang berpagar terkunci merupakan contoh pengendalian yang membantu mencegah pencurian. Pengendalian-pengendalian fisik umumnya membantu meminimalkan risiko-risiko dan godaan-godaan. 
e) Daftar kekayaan yang dimiliki pejabat. 
Daftar ini harus tersedia bagi politisi maupun pejabat yang memiliki kepentingan terhadap pekerjaan organisasi. 

Kegiatan-kegiatan yang rawan berbeda-beda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, tetapi kegiatan-kegiatan ini memiliki kesamaan umum yang berkenaan dengan pengeluaran- pengeluaran untuk (Murwanto, 2007): 
  1. Pembayaran tunjangan atau subsidi. 
  2. Pembayaran-pembayaran kontrak, terutama pekerjaan pembangunan. 
  3. Persediaan, termasuk perkakas-perkakas kantor yang berharga. d) Pinjaman kepada pegawai, pinjaman mobil, dan sebagainya. 
  4. Pembayaran lembur, bonus dan honor-honor. f ) Pembayaran perjalanan dinas. 
  5. Barang-barang inventaris pada perumahan pegawai, penjara, rumah sakit, dan sejenisnya. 
  6. Kas kecil. 
  7. Dana-dana tak resmi, seperti sumbangan-sumbangan. j) Pembayaran kepada pegawai honorer. 
Dalam bukunya Murwanto dkk (2007) juga mengemukakan beberapa kegiatan yang dapat menjadi rawan terhadap praktik- praktik korupsi yang meluas adalah: 
  • Pentenderan, pemberian dan penyelesaian kontrak, menyewa konsultan atau staf sementara dari unit lain. 
  • Penjualan dengan tekanan, seperti pemberian hadiah atau liburan bila membeli suatu barang. 
  • Jamuan. 
  • Pemberian ijin/lisensi. 
  • Pembelian barang-barang yang langsung dikirimkan ke lokasi gedung bukannya ke gudang. 
  • Konflik kepentingan yang timbul ketika politisi atau pejabat (atau teman dan kerabat mereka) memiliki kepentingan-kepentingan finansial atas pekerjaan yang diberikan oleh instansi publik. 
  • Penggunaan peralatan khusus, seperti laptop dan mobil, untuk pekerjaan pribadi. 
  • Penghapusan atau penjualan barang-barang inventaris bekas.
Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal

Monday, 10 August 2015

ETIKA PROFESI AUDITOR

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. 
Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. 

1.1. Pengertian Etika

Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. 
Berikut ini beberapa teori etika:
1) Egoisme 
Rachels (2004) memp erkenalkan du a kons ep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang bolah saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur dan/atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. 

Kedua, egoisme etis, adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri sendiri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Berikut adalah pokok- pokok pandangan egoisme etis: 
  1. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain.
  2. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu-satunya tuga adalah kepentingan diri.
  3. Meski egois etis berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan diri, tetapi egoisme etis juga tidak mengatakan bahwa anda harus menghindari tindakan menolong orang lain
  4. Menurut paham egoisme etis, tindakan menolong orang lain dianggap sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri karena mungkin saja kepentingan orang lain tersebut bertautan dengan kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.
  5. Inti dari paham egoisme etis adalah apabila ada tindakan yang menguntungkan orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar. Sesuatu yang membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu menguntungkan diri sendiri. 
Alasan yang mendukung teori egoisme: 
  • Argumen bahwa altruisme adalah tindakan menghancurkan diri sendiri. Tindakan peduli terhadap orang lain merupakan gangguan ofensif bagi kepentingan sendiri. Cinta kasih kepada orang lain juga akan merendahkan martabat dan kehormatan orang tersebut.
  • Pandangan terhadap kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai dengan moralitas akal sehat. Pada akhirnya semua tindakan dapat dijelaskan dari prinsip fundamental kepentingan diri.

Alasan yang menentang teori egoisme etis: 
  • Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan. Kita memerlukan aturan moral karena dalam kenyataannya sering kali dijumpai kepentingan-kepentingan yang bertabrakan.
  • Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. Egoisme etis dapat dijadikan sebagai pembenaran atas timbulnya rasisme.
2) Utilitarianisme 
Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest number). Paham utilitarianisme sebagai berikut: 
  • Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak,
  • Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan,
  • Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan orang banyak (kepentingan orang banyak). Kritik terhadap teori utilitarianisme: 
  • Utilitarianisme hanya menekankan tujuan/mnfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani.
  • Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu/minoritas demi keuntungan mayoritas orang banyak.

3) Deontologi 
Paradigma teori deontologi saham berbeda dengan paham egoisme dan utilitarianisme, yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu (egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat (utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka tindakan tersebut dikatakan tidak etis. 

Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori teleologi Sangat berbeda dengan paham teleologi yang menilai etis atau tidaknya suatu tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau konsekuensi dari tindakan tersebut, paham deontologi justru mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjdi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan.

1.2. Pentingnya Etika Profesi

Apakah etika, dan apakah etika profesi itu? Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. 

Menurut Ahia& Martin (1993) etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. 

Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsipprinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepenringan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. 

Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan kehlian (Wignjosoebroto, 1999).

Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. 
Tanpa etika profesi, apa yang semual dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini. 

1.3. Profesi

Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek (Isnanto, 2009). 

PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. 

PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang. 
Menurut Isnanto (2009) Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
  1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
  2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
  3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi har us meletak kan kep entingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
  4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
  5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Suatu pekerjaan atau keguatan dikatakan profesi jika memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat Suatu Profesi antara lain: 
  • Melibatkan kegiatan intelektual.
  • Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
  • Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.
  • Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan. 
  • Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
  • Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
  • Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
  • Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.

1.4. Etika Akuntan Indonesia

Etika profesi akunt an di Indonesia diatur dalam Ko de Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:
  1. Prinsip Etika, prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota.
  2. Aturan Etika, aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan
  3. Interpretasi Aturan Etika, Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

Kode etik akuntan Indonesia memuat delapan prinsip etika sebagai berikut (Mulyadi, 2001: 53): 

1) Tanggung Jawab profesi. 
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada s emua p emakai jasa profesional mereka. 
Anggota juga harus selalu bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi. 

2) Kepentingan Publik 
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. 
Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara. 
Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. 

3) Integritas 
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip. 

4) Obyektivitas. 
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. 
Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas. 

5) Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional 
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir.
Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik- baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. 
Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya. 

6) Kerahasiaan 
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. 
Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan. 
Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.

7) Perilaku Profesional 
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum. 

8) Standar Teknis 
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. 
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan. 

1.5. Independensi Auditor

Independensi me ny ang kut ke m ampuan untuk b er t indak obyekt if serta penuh integritas. Hal ini hanya bi s a dilaku kan oleh seseorang yang secara psikologis memiliki intelektual ting gi dan p enu h dengan kejujuran. Oleh karena itu independensi adalah state of mind yang tidak mudah untuk diukur. Penilaian terhadap independensi terbatas pada evaluasi terhadap appearance, terhadap cara dan hasil kerja yang dilakukan oleh akuntan publik. Untuk tujuan praktis seorang akuntan publik harus bebas dari hubungan-hubungan yang memiliki potensi untuk menimbulkan bias dalam memberikan opini atas laporan keuangan klien (Kasidi, 2007). 

Independensi adalah sikap tidak memihak. Independensi auditor adalah sikap tidak memihak kepada kepentingan siapapun dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan yang dibuat oleh pihak manajemen. Auditor mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur tidak saja kepada pihak manajemen, tetapi juga terhadap pihak ketiga sebagai pemakai laporan keuangan, seperti kreditor, pemilik maupun calon pemeilik.

Teori sikap dan perilaku (Theory of Attitude and Behaviour) yang dikembangkan oleh Triandis (1971) dalam Janti Soegiastuti (2005), dipandang sebagai teori yang dapat mendasari untuk menjelaskan independensi. Teori tersebut menyatakan, bahwa: perilaku ditentukan untuk apa orang-orang ingin lakukan (sikap), apa yang mereka pikirkan akan mereka lakukan (aturan-aturan sosial), apa yang mereka bisa lakukan (kebiasaan) dan dengan konsekuensi perilaku yang mereka pikirkan. 

Sikap menyangkut komponen kognitif berkaitan dengan keyakinan, sedangkan komponen sikap afektif memiliki konotasi suka atau tidak suka. Sikap adalah pernyataan evaluatif mengenai seluruh tendensi tindakan, baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai obyek, orang atau peristiwa. Sikap merupakan kecenderungan dalam merespon sesuatu. Sikap bukanlah perilaku, namun sikap menghadirkan suatu kesiapsiagaan untuk tindakan yang mengarah pada perilaku, sehingga sikap merupakan wahana dalam membimbing perilaku. 

Fenomena sikap timbulnya tidak saja ditentukan oleh keadaan obyek yang sedang dihadapi, tetapi juga oleh kaitanya dengan pengalaman-pengalaman, oleh situasi pada saat ini, dan oleh harapan untuk masa yang akan datang. Seseorang membentuk sikap dari pengalaman pribadi, orang tua, panutan masyarakat, dan kelompok sosial. Ketika pertama sekali seseorang mempelajarinya sikap menjadi suatu bentuk bagian dari pribadi individu yang membantu konsistensi perilaku. Para akuntan harus memahami sikap dalam rangka memahami dan memprediksikan perilaku. 

Seorang auditor hasil auditnya memberikan pendapat dan pemahaan. Pemahaman berfungsi membantu seseorang dalam memberikan maksud atau memahami situasi atau peristiwa baru. Sikap juga melayani suatu hal yang bermanfaat atau sebagai fungsi kebutuhan yang memuaskan. Sikap juga melayani fungsi defensif ego dengan melakukan pengembangan guna melindungi manusia dari pengetahuan yang berlandaskan kebenaran mengenai dasar manusia itu sendiri atau dunianya, dan akhirnya sikap juga melayani fungsi nilai ekpresi untuk mencapai kepuasan.

Jika dilihat berbagai hasil penelitian bidang Audit, baik sektor privat maupun sektor publik, sebagian besar studi empiris yang ada tentang persepsi independensi auditor memfokuskan pada pengidentifikasian faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi independensi dan menilai dampaknya terhadap independensi dalam persepsi, karena independensi aktual tidak mudah untuk diobsevasi. Beberapa studi mencoba untuk menemukan hubungan antara faktor- faktor tersebut dengan independensi auditor, apakah berhubungan secara signifikan atau tidak, apakah berhubungan secara positif atau secara negatif (Pany dan Reckers, 1980). Kelompok yang lain mencoba untuk membuat peringkat berdasarkan tingkat pengaruhnya pada persepsi indepenensi auditor (Shockley, 1981). 

Diantara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi independensi auditor yang telah diteliti adalah : 
  1. Efek dari pemberiah hadiah (Pany dan Reckers, 1980); hadiah yang diberikan klien terhadap audit bisa mempengaruhi independensi auditor dalam memberikan opini.
  2. pemberian diskon pembelian (Pany dan Reckers, 1980); hal ini berpengaruh melalui hubungan tidak langsung, berhubungan dengan pribadi atau keluarga auditor, jika ingin bertransaksi dengan perusahaan klien, maka akan mendapatkan keringanan harga dalam pemberian produk.
  3. ukuran kantor akunt an publ ik (KAP) (Sho ck le y 1981); b es arkecilnya at au ting kat b onaf idit as s ebuah KAP bis a mempengaruhi independensi auditor.
  4. layanan pemberian jasa konsultasi manajemen atau management advisory services (MAS) (Shockley, 1981; Knapp, 1985;); sama halnya dengan diskon atau keringanan harga, layanan pemberian jasa konsultasi manajemen atau management advisory services juga merupakan jasa timbal balik dari klien terhadap auditor.
  5. kondisi keuangan klien (Knapp, 1985); kondisi keuangan klien dapat mengganggu keputusan auditor dalam menjaga independensi.
  6. lamanya hubungan audit dengan perusahaan klien (Shockley, 1981; Teoh dan Lim, 1996); hubungan baik sebagai pelanggan antara klien dengan auditor dapat melemahkan independensi auditor.
  7. tingkat persaingan dalam memberikan layanan jasa auditing (Knapp, 1985); kadangkala sebuah KAP lebih mengejar output dan hasil, hal ini dapat membahayakan independensi auditor.
  8. besarnya jasa audit yang relatif terhadap besarnya klien (Teoh dan Lim, 1996; Pany dan Reckers,1980); hasil yang diperoleh atau pemberian jaa audit dapat menurunkan atau bahkan menaikan kadar independensi seorang auditor.
  9. keberadaan komite audit (Teoh dan Lim, 1996); keberadaan komite audit dapat mempengaruhi etika seorang auditor.
Di Indonesia berbagai kasus pelanggaran etika auditor, baik sektor privat maupun sektor publik, apalagi ciri Indonesia adalah negara berkembang, di mana proses adopsi good governance baru saja digulirkan. Masalah independensi sebenarnya bukanlah monopoli akuntan publik Indonesia, melainkan sudah merupakan masalah internasional. Internasional Federation of Accountans telah mengeluarkan exposure draft yang membahas masalah independensi ini (Media Akuntansi, Juni 2000).
Tidak sekedar independensi dalam sikap mental dan penampilan saja, tetapi juga mencakup mutu, integritas, obyektivitas dan sikap kehati–hatian akuntan publik. Independensi dalam penampilan akuntan publik dianggap rusak jika ia mengetahui atau patut mengetahui keadaan atau hubungan yang mungkin mengkompromikan independensinya. 
Menurut Ruchjat Kosasih (2000) ada empat jenis risiko yang dapat merusak independensi akuntan publik , yaitu :
  1. Self interest risk, yang terjadi apabila akuntan publik menerima manfaat dari keterlibatan keuangan klien.
  2. Self Review Risk. Yang terjadi jika akuntan publik melaksanakan penugasan pemberian jasa keyakinan yang menyangkut keputusan yang dibuat untuk kepentingan klien atau melaksanakan jasa lain yang mengarah pada produk atau pertimbangan yang mempengaruhi informasi yang menjadi pokok bahasan dalam penugasan pemberian jasa keyakinan.
  3. Advocacy risk, yang terjadi apabila tindakan akuntan publik menjadi terlalu erat kaitanya dengan kepentingan klien.
  4. Client influence risk, yang terjadi apabila akuntan publik mempunyai hubungan erat yang kontinyu dengan klien, termasuk hubungan pribadi yang dapat mengakibatkan intimidasi oleh atau keramah-tamahan (familiarity) yang berlebihan dengan klien (Ruchjat Kosasih, hal. 47-48).

1.6. Pelanggaran Etika dan Tindakan Melanggar Hukum 

Etika sebagai sebuah nilai yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku di dalam kehidupan kelompok tersebut, tentunya tidak akan terlepas dari tindakan- tindakan tidak etis. Tindakan tidak etis yang dimaksudkan di sini adalah tindakan melanggar etika yang berlaku dalam lingkungan kehidupan tersebut. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya tindakan- tindakan tidak etis dalam sebuah perusahaan menurut Jan Hoesada (2002) adalah: 
a) Kebutuhan Individu 
Kebutuhan individu merupakan faktor utama penyebab terjadinya tindakan-tindakan tidak etis. Contohnya, seseorang bisa saja melakukan korupsi untuk mencapai kebutuhan pribadi dalam kehidupannya. Sebuah keinginan yang tidak terpenuhi itulah yang memancing individu melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis.
  
b) Tidak ada pedoman
Tindakan tidak etis bisa saja muncul karena tidak adanya pedoman atau prosedur-prosedur yang baku tentang bagaimana melakukan sesuatu. 

c) Perilaku dan kebiasaan individu 
Tindakan tidak etis juga bisa muncul karena perilaku dan kebiasaan individu, tanpa memperhatikan faktor lingkungan di mana individu tersebut berada. Kebiasan tersebut bisa terikut kemana saja yang bersangkutan berada termasuk dalam profesinya. 

d) Lingkungan tidak etis 
Suatu lingkungan dapat mempengaruhi orang lain yang berada dalam lingkungan tersebut untuk melakukan hal serupa. Lingkungan tidak etis ini terkait pada teori psikologi sosial, di mana anggota mencari konformitas dengan lingkungan dan kepercayaan pada kelompok. 

e) Perilaku atasan 
Jika atasan yang terbiasa melakukan tindakan tidak etis, dapat mempengaruhi orang-orang yang berada dalam lingkup pekerjaannya untuk melakukan hal serupa. Hal itu terjadi karena dalam kehidupan sosial sering kali berlaku pedoman tidak tertulis bahwa apa yang dilakukan atasan akan menjadi contoh bagi anak buahnya.


Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal

Friday, 24 July 2015

PEMAHAMAN UMUM TENTANG AUDIT

1.1. Pengertian Audit

Audit atau pemeriksaan paling banyak digunakan pada sektor keuangan, atau lebih jelasnya sebagai pemeriksaan keuangan, apakah itu berkaitan dengan penerimaan uang maupun penggunaan atau proses pengeluaran uang tersebut. Bila kita mendengar kata audit, yang ada di pikiran kita pasti teringat pada seorang yang meneliti dan melakukan pengecekan atas berbagai macam hal terutama yang berkaitan dengan keuangan.
Secara khusus Audit adalah sebuah proses pemeriksaan. Mengingat pentingnya proses audit, maka biasanya
pihak auditor (pihak yang melakukan audit bisa disebut dengan auditor) akan mem erintahkan kepada lembaga/ perusahaan yang akan diaudit untuk menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan. Dalam kasus tertentu  terkadang proses audit dilaku kan oleh s ebuah lembaga audit independent supaya hasilnya bisa lebih dipercaya, biasanya bagi perusahaan akan menunjuk sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terpercaya.

Berbagai ahli memberikan pengertian mengenai audit, beragam defisini diungkapkan, (yang dikutip dari www.carapedia.com) antara lain:
a)  Menurut Arens dan Loebbecke (2003) audit merupakan Suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten.
b)  Mulyadi (2002) menyebutkan pengertian Audit sebagai Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

Menurut (Mulyadi, 2002), berdasarkan beberapa pengertian auditing di atas maka audit mengandung unsur-unsur:
a)  suatu proses sistematis, artinya audit merupakan suatu langkah atau prosedur yang logis, berkerangka dan terorganisasi. Auditing dilakukan dengan suatu urutalangkah yang direncanakan, terorganisasi dan bertujuan.
b)  untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif, artinya proses sistematik ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat oleh individu atau badan usaha serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau berprasangka terhadap bukti-bukti tersebut.
c)  pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi, artinya pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi merupakan hasil proses akuntansi.
d)  menetapkan tingkat kesesuaian, artinya pengumpulan bukti mengenai pernyataan dan evaluasi terhadap hasil pengumpulan

bukti tersebut dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Tingkat kesesuaian antara pernyataan dengan kriteria tersebut kemungkinan dapat dikuantifikasikan, kemungkinan pula bersifat kualitatif.
e)  kriteria yang telah ditetapkan, artinya kriteria atau standar yang dipakai sebagai dasar untuk menilai pernyataan (berupa hasil akuntansi) dapat berupa:
·         peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan legislatif;
·         ang garan at au ukuran  prest asi yang ditet apkan oleh manajemen;
·         prinsip akuntansi berterima umum (PABU) diindonesia
f )  Penyampaian hasil (atestasi), dimana penyampaian hasil dilakukan secara tertulis dalam bentuk laporan audit (audit report)
g)  pemakai yang berkepentingan, pemakai yang berkepentingan terhadap laporan audit adalah para pemakai informasi keuangan, misalnya pemegang saham, manajemen, kreditur, calon investor,
organisasi buruh dan kantor pelayanan pajak.

Berdasarkan sifat dan karakter pekerjaan dan tujuan yang akan dicapai, Audit dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :

a)  Audit Laporan Keuangan (financial statement audit).
Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Hasil audit lalu dibagikan kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.

b)  Audit Kepatuhan (compliance audit).
Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa sesuai dengan kondisi, peratuan, dan undang-undang  tertentu. Kriteria- kriteria yang ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-sumbeyang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya disebut fungsi audit internal, karena oleh pegawai perusahaan.

c)  Audit Operasional (operational audit).
Audit operasional merupakan penelahaan secara sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yang obyektif dan analisis yang komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu.

1.2. Klasifikasi Auditor

Auditor biasanya diklasifikasikan dalam dua kategori berdasarkan siapa yang mempekerjakan mereka, yaitu: Auditor eksternal, dan auditor internal, perbedaannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)  Auditor eksternal. Audit eksternal merupakan pihak luar yang bukan merupakan karyawan perusahaan atau instansi pemerintah terkait, berkedudukan independen dan tidak memihak baik terhadap  auditeenya maupun  terhadapihak-pihak yang berkepentingan dengan auditeenya (pengguna laporan keuangan). Auditor eksternal dapat melakukan setiap jenis audit.
2)  Auditor Internal. Auditor internal adalah pegawai dari perusahaan yang diaudit atau lembaga teknis pemerintah yang memiliki sifat audit internal, auditor ini melibatkan diri dalam suatu kegiatan penilaian independen dalam lingkungan perusahaan atau institusi
pemerintah sebagai suatu bentuk jasa bagi perusahaaan.



 Fungsi dasar dari Internal Audit adalah suatu penilaian, yang dilakukan oleh pegawai perusahaan atau instansi pemerintah terkait yang terlatih mengenai ketelitian, dapat dipercayainya, efisiensi, dan kegunaan catatan-catatan (akutansi) perusahaan/organisasi, serta pengendalian intern yang terdapat dalam perusahaan/organisasi. Tujuannya adalah untuk membantu pimpinan perusahaan/ organisasi (manajemen) dalam melaksanakan tanggungjawabnya dengan memberikan analisa, penilaian, saran, dan komentar mengenai kegiatan yang di audit.
Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor melakukan kegiatan–kegiatan berikut:
  1. Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan sistem pengendalian manajemen, struktur pengendalian intern, dan pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal.
  2. Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur- prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen
  3. Memast i kan s eb erap a jau h har t a p er us a haan/organis asi dipertanggung-jawabkan dan dilindungi dari kemungkinan t e r j adinya  s egala b e n t uk  p e nc ur ia n,  k e c ura n g a n  da n penyalahgunaan.
  4. Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya.
  5. Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh manajemen.
  6. Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka meningkatkan efisensi dan efektifitas.


Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya tersebut dapat disimpulkan bahwa internal auditor antara lain memiliki peranan dalam:
-    Pencegahan Kecurangan (Fraud Prevention),
-    Pendeteksian Kecurangan (Fraud Detection), dan
-    Penginvestigasian Kecurangan (Fraud Investigation).

 1.3. Lembaga Audit

Profesi Auditor sangat dibutuhkan pada berbagai aspek yang berkaitan dengan pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja dan kepatuhan. Apalagi hingga saat ini, dengan diterapkannya prinsip-prinsiGood Governance, pengawasan pengelolaan keuangan negara semakin mempersempit ruang gerak kesempatan untuk melakukan kolusi dan praktik melanggar hukum lainnya.

Auditor yang bekerja untuk kepentingan pemilik, yang ditugaskan melakukan pemeriksaan atas laporan pertanggung jawaban pengurus organisasi, biasanya ditunjuk dari lembaga independen, disebut auditor eksternal. Sedangkan auditor yang dipekerjakan oleh dan untuk kepentingan manajemen, karena posisinya berada di bawah kendali manajemen yang memberi penugasan, disebut auditor internal (STAN, 2007).
Auditor adalah sebuah profesi, diberbagai negara tidak berbeda dengan indonesia auditor memiliki strata tersendiri. Di negara kita, ada dua lembaga yang memberikan jasa sebagai auditor eksternalatau auditor independen, yaitu Kantor Akuntan Publik atau KAP” dan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK (STAN, 2007):
a)  Kantor Akuntan Publik (KAP) yang memiliki izin yang masih berlaku dari Kementerian Keuangan, yang anggotanya tergabung dalam Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Lembaga ini biasanya melakukan audit terhadalaporan keuangan perusahaan komersial dan institusi/lembaga non pemerintah berdasarkan perintah stakeholder, biasanya oleh Komisaris selaku wakil dari pemegang saham, yang dituangkan dalam satu perikatan (SPK/ Kontrak).
b)  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang- undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Sesuai dengan agency theroy bahwa ada pemberi tugas dan ada peneriman tugas.begitu pula dengan auditor, auditor internal dipekerjakan oleh manajemen/pimpinan  organisasi (Direksi atau Kepala Pemerintahan, Menteri/ Kepala LPND) untuk dan atas nama serta bertanggung jawab kepada manajemen. Tenaganya dapat berasal dari para profesional yang disewa secara temporer (sesuai kebutuhan/ tidak permanen) dari luar (outsource) atau dari sumber internal yanditampung dalam satu wadah (institusi/satuan kerja) yang madiri dan bersifat permanen dan secara khusus diberi tugas melaksanakan fungsi pengawasan.
Tugas utama audit internal adalah memberikan pendampingan dan pengawasan pengelolaan keuangan. Pemerintah Indonesia memiliki salah satu Auditor Internal yaitu BPKP. Ada banyak lembaga audit internal yang bersifat permanen dengan tugas membantu manajemen di bidang pengawasan dalam pengelolaan keuangan, antara lain (STAN, 2007):
  • Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yaitu lembaga audit internal pemerintapusat, dibentuk dengan Keputusan Presiden, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
  • Inspektorat Jenderal Kementerian/Unit  Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), merupakan auditor internal di lingkungan masing-masing Kementerian/LPND.
  • Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota sebagai auditor internal di lingkungan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten/ Kota.
  • Auditor internal pada Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta yang disebut dengan berbagai istilah, seperti Satuan Pemeriksa Intern (SPI), Kantor Audit Internal (KAI), Satuan Kerja Audit Internal (SKAI).


Berbagai profesi biasanya memiliki asosiasi yang menaunginya, begitu pula untuk auditor internal di Indonesia, telah berdiri Konsorsium Organisasi Profesi Audit Internal, terdiri dari The Institute of Internal Auditors Indonesia Chapter, Forum Komunikasi Satuan Pengawasan Intern BUMN/BUMD, Yayasan Pendidikan Internal Audit, Dewan Sertifikasi Qualified Internal Audit, Perhimpunan Audit Internal Indonesia, dan Asosiasi Auditor Internal (STAN, 2007).

1.4. Audit Sektor Publik

Sebagian cerita di atas adalah bagaimana proses pemeriksaan atau audit dilakukan pada organisasi perusahaan atau lembaga bisnis private. Sementara untuk organisasi sektor publik isu pemeriksaan hanya baru terasa 10 tahun terakhir setelah era reformasi.
Audit terhadap institusi sektor publik menjadi terasa penting saat baru disadari bahwa lembaga eksekutif sebagai pihak yang mengelola uang negara yang merupakan uang rakyat, uang orang banyak, perlu untuk dipertanggungjawabkan penggunanaanya dan perlu diperiksa kewajarannya. Audit terhadap sektor publik menjadi fokus perhatian karena dinilai instansi pemerintah tidak terbuka terhadap masyarakat mengenai kondisi keuangan sebenarnya dan instansi sektor publik rawan akan penyalahgunaan dana sehingga dibutuhkan aturan yang ketat dan audit yang independen terhadap pemeriksaan laporan keuangan instansi pemerintahan.
Audit terhadap sektor publik sangat penting dilakukan hal ini merupakan bentuk tanggung jawab sektor publik (pemerintah pusat dan daerah) untuk mempertanggungjawabkan dana yang telah digunakan oleh instansi sehingga dapat diketahui pemanfaatan dana tersebut dilaksanakan sesuai prosedur dan standar atau tidak.
Banyak sekali suara miring tentang penyalahgunaan wewenang para penyelenggara negara, korupsi, kolusi dan nepotisme. Berbagai kritik bahwa keberadaan sektor publik tak efisien dan jauh tertinggal dengan kemajuan dan perkembangan yang terjadi di sektor swasta lembaga sektor publik masih memiliki kesempatan yang luas untuk memperbaiki kinerja dan memanfaatkan sumberdaya secara ekonomis efisien dan efektif. Istilah akuntabilitas publik value for money reformasi sektor publik privatisasi good public governancetelah begitu cepat masuk kedalam kamus sektor publik (Mardiasmo2004:17).
Bahkan istilah pemeriksaan khusus terhadap kasus-kasus yg diperkirakan mengandung unsur penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sudah dikenal luas di lingkungan pemerintahan dan BUMN/BUMD (Karni, 2000:117).


1.5. Institusi Sektor Publik

Menurut Mahsun dkk (2007) bahwa sektor publik dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan umum dan penyediaan barang dan jasa kepada publik yang dibayar melalui pajak atau pendapatan negara lainnya yang diatur dengan hukum. Dalam kerangka pemahaman sektor publik maka barang publik yang dimaksud tidak hanya berupa dalam bentuk barang secara fisik namun juga mengandung makna non fisik yaitu pelayanan publik (untuk selanjutnya dalam bab ini barang publik juga diartikan sebagai pelayanan publik). Dari berbagai literatur, barang publik dapat dikategorisasikan menjadi dua jenis, yaitu:
a)  Barang publik murni (pure public goods), contohnya: pertahanan nasional (defence) dan layanan pemadam kebakaran (fire service), dimana pengadaan barang publik murni ini dibiayai dari pajak. Dengan begitu terdapat empat karakteristik barang publik murni, sebagai berikut:
  1. Non rivalry in consumption, maksudnya barang publik merupakan konsumsi umum  sehingga konsumen tidak bersaing dalam mengkonsumsinya.
  2. Non-exclusive, maksudnya penyediaan barang publik tidak hanya diperuntukkan bagi seseorang dan mengabaikan yang lainnya sehingga tidak ada yang eksklusif antar individu dalam masyarakat, semua orang memiliki hak yang sama untuk mengkonsumsinya.
  3. Low excludability, maksudnya penyedia atau konsumen suatu barang tidak bisa menghalangi atau mengecualikan orang lain untuk menggunakan atau memperoleh mamfaat dari barang tersebut.
  4. Low competitive, maksudnya antar penyedia barang publik tidak saling bersaing secara ketat, hal ini karena keberadaan barang ini tersedia dalam jumlah dan kualitas yang sama.

b)  Barang semi publik (quasi-public goods) atau biasa juga disebut common pool goods, yaitu barang-barang atau jasa kebutuhan masyarakat yang mamfaat barang atau jasa dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, namun apabila dikonsumsi oleh individu tertentu akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Barang atau jasa ini sebetulnya mempunyai daya saing yang tinggi tetapi non excludable, maksudnya penyedia atau konsumen barang atau pelayanan publik ini tidak bisa menghalangi/mengecualikan orang lain untuk menggunakan serta memperoleh mamfaat dari barang tersebut, meskipun konsumsi seseorang akan mengurangi keberadaaan barang atau jasa tersebut. Contohnya adalah pelayanan kesehatan dan pendidikan. Penyediaan barang atau jasa semi publik ini sebagian dapat dibiayai oleh sektor publik dan sebagian lainnya dibiayai oleh sektor privat.

Berdasarkan penjelasan diatas, keberadaan sektor publik tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan barang publik yang menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga keberadaan sektor publik ditengah masyarakat tidak bisa dihindarkan (inevitable). Dengan demikian, menurut  Jones dan Bates (1990) terdapat tiga peran utama sektor publik dalam masyarakat yaitu:
1)  Regulatory role, sektor publik berperan dalam menetapkan segala aturan yang berkaitan dengan kepentingan umum, karena tanpa ada aturan maka ketimpangan akan terjadi dalam masyarakat. Bisa saja sebagian masyarakat akan dirugikan karena tidak mampu/ mendapatkaakses memperoleh barang atau layanan yang sebetulnya untuk umum sebagai akibat dari penguasaan barang atau layanan tersebut oleh kelompok masyarakat lainnya.
2)  Enabling role, adalah peran sektor publik dalam menjamin terlaksananya peraturan yang sudah ditetapkan dalam penyediaabarang dan jasa publik, dimana sektor publik harus dapat memastikan kelancaran aktivitas pelaksanaan program dan kegiatan yang diperuntukkamasyarakat. Implikasinya sektor publlik diberi kewenangan untuk penegakkan hukum (law enforcement) dalam kaitannya menjamin ketersediaan barang dan jasa publik yang sesuai dengan hukum.
3)  Direct provision of goods and services, karena semakin kompleksnya area yang harus di cover oleh sektor publik dan adanya keterbatasan dalam pembiayaan barang dan jasa publik secara langsung maka pemerintah dapat melakukan privatisasi. Sehingga disini peran sektor publik adalah ikut mengendalikan/mengawasi sejumlah proses pengadaan barang dan jasa publik serta regulasi yang ditetapkan sehingga tidak merugikan masyarakat.

Jika dilihat dari definisi dan peran sektor publik tersebut di atas, maka dengan kata lain sektor publik adalah government (pemerintah) yang berfungsi untuk  mensejahterakamasyarakat, dimana pemerintah diberi kekuasaan oleh masyarakat untuk mengatur dan menjamin pemenuhan kebutuhan barang dan jasa publik yang berdasarkan hukum.


Organisasi Sektor Publik

Organisasi secara umum dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang berkumpul  dan berker jasama dengan cara yang terstruktuuntuk mencapai tujuan atau sejumlah sasaran tertentu yang telah ditetapkan bersama-sama. Apabila dilihat dari tujuan dan sumber pendanaannya maka terdapat 2 tipe organisasi sektor publik (Mahsun dkk, 2007) yaitu:
1)  Pure non-profit organization, tujuan organisasi ini adalah menyediakan atau menjual barang dan/atau jasa dengan maksud untuk melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumber pendanaan organisasi ini berasal dari pajak, retribusi, dan pemenerimaan pemerintah lainnya.

2)  Quasi non-profit organization, tujuan organisasi ini adalah menyediakan atau menjual barang dan/atau jasa dengan maksud untuk melayani dan memperoleh keuntungan (surplus). Sumber pendanaan organisasi ini bersal dari investor pemerintah/swasta dan kreditor.

Dalam perkembangannya di setiap negara cakupan organisasi sektor publik sering tidak sama, sehingga tidak ada definisi yang secara komprehensif memformulasikan secara baku menyatakan cakupan organisasi sektor publik untuk semua sistem pemerintahan. Sehingga dalam suatu pemerintahadimungkinkan terdiri dari berbagai macam organisasi sektor publik yang pendirian dan fungsinya memiliki misi tersendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia sendiri organisasi sektor publik yang bertujuan non-profit  contohnya adalah Badan Layanan Umum (BLU) dan yayasan sosial yang dibiayai pemerintah. Sedangkan organisasi sektor publik yang bertujuan mencari laba contohnya adalah BUMN/BUMD. Banyaknya variasi dari organisasi sektor publik juga disebabkan adanya perubahan lingkungan organisasi itu sendiri karena secara natural para manager/pimpinan  organisasi akan selalu berupaya mengembangkan berbagai pendekatan yang paling efektif dan efisien untuk meningkatkan kinerja organisasi secara terus menerus, bahkan menurut Niviari (2008), berbagai organisasi sektor publik di Amerika terutama agen-agen pemerintahan justru yang memulai dalam inovasi dan pengembangan manajemen kinerja.
Selanjutnya menurut  Mahsun dkk (2007) bentuk adaptasi organisasi sektor publik dalam menghadapi pesatnya perubahan lingkungan antara lain:
1)  Struktur yang terlalu birokratik dan bertingkat mengalami pemangkasan, karena model struktur yang terlalu birokratik dalam prakteknya tidak efektif untuk meningkatkan produktifitas organis asi, memic u ter j adinya praktek KKN dan s er ing mengecewakan users.

2)  Sistem sentralisasi mulai banyak diubah menjadi desentralisasi, yaitu memunc ulnya unit-unit  p er t ang gungjawab an at as pendelegasian kewenangan yang mempunyai keleluasaan untuk mengatur dan mengelola sumber daya yang dimiliki.
3)  Melakukan perbaikan organisasi berbasis kinerja, dimana laporan pengukuran kinerja mulai dilengkapi tidak hanya berisikan tentang penggunaan anggaran tetapi lebih berorientasi pada input, output, outcome dan benefit. Disamping itu juga adanya umpan balik berupa saran dan rekomendasi perbaikan kinerja untuk tahun berikutnya.
4)  Pe ng ambi lan ke putus an dilaku kan s e cara cepat dengan membangun sistem informasi manajemen yang handal sebagai respon atas semakin kompleksnya transaksi organisasi.
5)  Adanya perbedaan yang sistematis terhadap individu-individu dalam organisasi, merupakan akibat dari pengembangan kapasitas anggota organisasi atas respon dari perubahan lingkungan organisasi.
6)  Munculnya kesadaran yang tinggi atas pentingnya ukuran kinerja non finansial, sebagai akibat dari tuntutan  optimalisasi tingkat kepuasan masyarakat atas penyediaan barang atau pelayanan publik.
7)  Berdasarkan ciri-ciri adaptasi organisasi sektor publik tersebut diatas, jika dikaitkan dengan pekembangan organisasi sektor publik di Indonesia maka dapat dilihat bahwa pemerintah kita saat ini telah mengarah pada perubahan manajemen sektor publik secara sistematis dimulai dari pembentukan undang-undang otonomi daerah sampai dengan undang-undang yang mengatur keuangan negara.


1.6. Akuntansi Sektor Publik

Bila dicermati lebih dalam mengenai ciri dari organisasi sektor publik bahwa sebenarnya institusi sektor publik wajib keberadaanya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tentu memiliki konswekwensi pendanaan, artinya dibutuhkan anggaran pengeluaran sebagai akibat aktifitas pelayanan tersebut.
Dana atau anggaran pengeluar an y ang di kelola harus dipertanggungjawabkan dengan menggunakan model pertanggungjawaban yang memiliki standar pencatatan yang sama, yaitu standar akuntansi pemerintah. Sektor publik adalah manajemen keuangan yang berasal dari publik sehingga menimbulkan konsekuensi untuk dipertanggung jawabkan kepada publik. Dengan demikian, pengelolaannya memerlukan keterbukaan dan akuntabilitas terhadap publik.
Dengan demikian dalam setiap institusi sektor publik wajib adanya akuntansi yang disebut sebagai Akuntansi sektor publik. Akuntansi sektor publik adalah sistem akuntansi yang dipakai oleh lembaga-lembaga publik sebagai salah satu alat pertanggung jawaban kepada publik. Sekarang terdapat perhatian yang makin besar terhadap praktek akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga publik, baik akuntansi sektor pemerintahan maupun lembaga publik non-pemerintah. Lembaga publik mendapat tuntutan dari masyarakat untuk dikelola secara transparan dan bertanggung jawab.
Organisasi sektor publik menghadapi tekanan untuk lebih efisien, memperhitungkan  biaya ekonomi dan biaya sosial dan memanfaatkannya bagi publik, serta dampak negatif atas aktivitas yang dilakukan. Berbagai tuntutan tersebut menyebabkan akuntansi dapat diterima sebagai ilmu yang dibutuhkan  untuk mengelola urusan-urusan  publik. Akuntansi sektor publik sedang mengalami proses untuk menjadi disiplin ilmu yang lebih dibutuhkan.
Organisasi sektor publik luas lingkupnya dengan berbagai karakteristik. Ruang lingkup akuntansi sektor publik meliputi badan-badapemerintahan  (pemerintah  pusat, pemerintah daerah, dan unit-unit  kerja pemerintah), organisasi sukarelawan, rumah sakit, perguruan tinggi dan universitas, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, organisasi politik, dan sebagainya.

Seperti telah disebutkan di atas, proses pencatatan akuntansi harus memiliki standarisasi yang sama. Sistem akuntansi untuk badan-badan pemerintahaharus mengikuti standar akuntansi pemerintah (SAP) seperti dimaksud dalam undang-undang nomo17 tahun 2003 pasal 32, undang-undang nomor 1 tahun 2004 pasa51 ayat 3, dan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 2005. Di sisi lain, unit-unipemerintah yang bergerak di bidang bisnis (BUMN dan BUMD) harus mengikuti standar akuntansi keuangan yang dikeluarkan oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia). Sementara itu, organisasi publik non pemerintahan mengikuti standar akuntansi keuangan.
Salah satu bentuk penerapan teknik akuntansi sektor publik adalah di organisasi BUMN. Pada tahun 1959 pemerintahan orde lama mulai melakukan kebijakan-kebijakan berupa nasionalisasi perusahaan asing yang ditransformasi menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tetapi karena tidak dikelola oleh manajer profesional dan terlalu banyaknya politisasi atau campur tangan pemerintah, mengakibatkan perusahaan tersebut hanya dijadikasapi perah oleh para birokrat. Sehingga sejarah kehadirannya tidak memperlihatkan hasil yang baik dan tidak menggembirakan.
Kondisi ini terus berlangsung pada masa orde baru. Lebih b er tolak b elakang lagi pada s aat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang fungsi dari BUMN. Dengan memperhatikan beberapa fungsi tersebut, konsekuensi yang harus ditanggung oleh BUMN sebagai perusahaan publik adalah menonjolkan keberadaannya sebagai agent of development daripada sebagai business entity. Terlepas dari itu semua, bahwa keberadaan praktik akuntansi sektor publik di Indonesia dengan status hukum yang jelas telah ada sejak beberapa tahun bergulir dari pemerintahan yang sah. Salah satunya adalah Perusahaan Umum Telekomunikasi (1989).

Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal