Ilmu
ekonomi muncul karena adanya tiga kenyataan berikut :
- Kebutuhan manusia relatif tidak
terbatas.
- Sumber daya tersedia secara terbatas.
- Masing-masing sumber daya mempunyai
beberapa alternatif penggunaan.
Ilmu
ekonomi adalah ilmu
yang mempelajari perilaku manusia di dalam memenuhi kebutuhannya yang relatif
tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas dan masing-masing
sumber daya mempunyai alternatif penggunaan (opportunity cost).
Secara
garis besar ilmu ekonomi dapat dipisahkan menjadi dua yaitu ilmu ekonomi mikro
dan ilmu ekonomi makro.
1. Ekonomi Makro
Ilmu ekonomi makro mempelajari variabel-variabel ekonomi
secara agregat (keseluruhan). Variabel-variabel tersebut antara lain :
pendapatan nasional, kesempatan kerja dan atau pengangguran, jumlah uang
beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun neraca pembayaran
internasional.
Ilmu
ekonomi makro mempelajari masalah-masalah ekonomi utama sebagai berikut :
- Sejauh mana berbagai sumber daya telah
dimanfaatkan di dalam kegiatan ekonomi. Apabila seluruh sumber daya telah
dimanfaatkan keadaan ini disebut full employment. Sebaliknya bila
masih ada sumber daya yang belum dimanfaatkan berarti perekonomian dalam
keadaan under employment atau terdapat pengangguran/belum berada
pada posisi kesempatan kerja penuh.
- Sejauh mana perekonomian dalam keadaan
stabil khususnya stabilitas di bidang moneter. Apabila nilai uang
cenderung menurun dalam jangka panjang berarti terjadi inflasi. Sebaliknya
terjadi deflasi.
- Sejauh mana perekonomian mengalami
pertumbuhan dan pertumbuhan tersebut disertai dengan distribusi pendapatan
yang membaik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi
pendapatan terdapat trade off maksudnya bila yang satu membaik
yang lainnya cenderung memburuk.
2. Ekonomi
Mikro
Ilmu
ekonomi mikro
mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan,
rumah tangga. Dalam ekonomi mikro ini dipelajari tentang bagaimana individu
menggunakan sumber daya yang dimilikinya sehingga tercapai tingkat kepuasan
yang optimum. Secara teori, tiap individu yang melakukan kombinasi konsumsi
atau produksi yang optimum bersama dengan individu-individu lain akan
menciptakan keseimbangan dalam skala makro dengan asumsi ceteris paribus.
Perbedaan ekonomi
mikro dan ekonomi makro
Dilihat dari
|
Ekonomi Mikro
|
Ekonomi Makro
|
Harga
|
Harga ialah
nilai dari suatu komoditas (barang tertentu saja)
|
Harga adalah
nilai dari komoditas secara agregat (keseluruhan)
|
Unit
analisis
|
Pembahasan
tentang kegiatan ekonomi secara individual. Contohnya permintaan dan dan
penawaran, perilaku konsumen, perilaku produsen, pasar, penerimaan, biaya dan
laba atau rugi perusahaan
|
Pembahasan
tentang kegiatan ekonomisecara keseluruhan. Contohnya pendapatan nasional,
pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, investasi dan kebijakan ekonomi.
|
Tujuan
analisis
|
Lebih
memfokuskan pada analisis tentang cara mengalokasikan sumber daya agar dapat
dicapai kombinasi yang tepat.
|
Lebih
memfokuskan pada analisis tentang pengaruh kegiatan ekonomi terhadap
perekonomian secara keseluruhan
|
Contoh masalah
ekonomi makro :
Hiperinflasi Di Indonesia
Tahun 1963, 1964 dan 1965
Pada tahun 1963 Gubernur bank
sentral ditetapkan sebagai sebutan Menteri urusan bank sentral, pada waktu itu
segala urusan kebijakan moneter ditetapkan oleh Menteri urusan bank sentral dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Waktu itu aksi-aksi militer
guna memadamkan pemberontakan didaerah makin menggerogoti anggaran pemerintah,
diperbesar lagi adanya propaganda politik misalnya, pemberontakan Irian barat,
konfrontasi dengan Malaysia, pembangunan proyek-proyek mercusuar dan lain
sebagainya, yang akibatnya menimbulkan defisit bagi negara semakin parah.
Defisit negara yang semula pada tahun 1955 sebesar 14% membengkak menjadi 175%.
Sehingga untuk menutupinya pemerintah melakukan Money Creation yang mengakibatkan
inflasi makin tinggi.
Sedangkan tahun 1964,
Indonesia mengalami hiperinflasi sebesar 109% yang diakibatkan adanya mata uang
yang berbeda di Indonesia yaitu di Riau dan Papua. Namun pada tahun1964, mata
uang tersebut akhirnya dihapuskan dan Indonesia menggunakan Rupiah sebagai mata
uang nasional.
Tingginya laju inflasi ini
mengikis tingkat suku bunga riil para deposan, bahkan menjadi negatif.
Akibatnya banyak bank yang menggunakan uang nasabah dimasukkan ke institusi
luar yang returnnya lebih tinggi termasuk perdagangan komoditas yang untungnya
jauh lebih besar. Sehingga BI memberi aturan tegas bagi bank-bank di Indonesia
agar uang tidak lari keluar guna menjaga likuiditas dalam negeri. Sifatnya
adalah membatasi ruang gerak dan peningkatan permodalan. Pemerintah memberikan
aturan bahwa seluruh saldo bank-bank swasta harus dipindahkan ke rekening
bank-bank pemerintah. Untuk itu pemerintah mengharuskan bank-bank swasta
menambah jumlah modal sebesar 25 juta rupiah.
Namun hiperinflasi tetap
tidak dapat dihindari akibat Money Creation yang terus menerus, sehingga pada
tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai uang dari 1000
rupiah menjadi 1 rupiah. Kebijakan ini memberikan pukulan besar bagi perbankan
nasional, terutama yang telah menyetor modal tambahan karena tergerus drastis
dalam sekejab. Para nasabah perbankan juga gigit jari akibat nilai dana
simpanannya juga menciut 1/1000. Segala usaha pemotongan nilai uang ini
ternyata tidak berhasil meredam inflasi, dan harga tetap naik membumbung tinggi
maka terjadilah hiperinflasi.
Karena, inflasi yang tinggi
menyebabkan daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa menjadi turun pada
tahun 1965. Laju inflasi pada waktu itu sebesar 650%, berarti harga-harga naik
lebih dari enam kali lipat dalam kurun waktu satu tahun.
Perlu diketahui bahwa gejala
hiperinflasi ini dulu juga dimulai dengan menguatnya nilai tukar USD seperti
sekarang yang terjadi. Dimana USD menguat tak terkendali, padahal resesi
ekonomi terjadi di negara yang mengeluarkan uang USD tersebut. Waktu itu
Indonesia amat bergantung pada import sehingga bahan-bahan baku dan barang di
Indonesia meningkat tak terkendali, suku bunga bank meroket 90% guna mengurangi
likuiditas yang terlalu besar beredar di masyarakat. Dunia usaha macet, banyak
penganguran dimana-mana, GDP minus, banyak orang frustasi.
Banyaknya uang yang beredar
terlalu besar mengakibatkan menurunkan nilai mata uang itu sendiri. Tetapi lain
bagi pemilik emas, harganya masih tetap stabil, ketika rupiah terpuruk dari 1
USD menjadi 20.000 rupiah, maka harga emas akan semakin membumbung tinggi ,
jika melakukan jual beli didalam negeri.
Hiperinflasi tersebut
menyebabkan nilai mata uang asing menguat. Hal ini menyebabkan harga barang
import semakin naik. Pada saat itu, banyak dari perusahaan di Indonesia sendiri
melakukan banyak kegiatan import untuk bahan bakunya. Akibatnya banyak pabrik
yang melakukan pengurangan tenaga kerja dan bahkan menutup usahanya. Hal ini
menimbulkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi.
Para pemilik uang melihat hal
ini akan merupakan hal yang merugikan sehingga mereka menggunakan mata uang
asing untuk tetap mendapatkan keuntungan. Untuk mengurangi hal itu terjadi,
maka pemerintah Indonesia menetapkan tingkat suku bunga dinaikan untuk menarik
para nasabah kembali menyimpan uang di bank.
Teori dampak fisher
internasional (International Fisher Effect–IFE) menggunakan tingkat suku bunga
sebagai pengganti perbedaan inflasi, untuk menjelaskan mengapa kurs berubah
sepanjang waktu, namun teori ini sangan terkait dengan teori paritas daya beli
(Purchasing Power Parity–PPP) karena suku bunga seringkali sangat terkait
dengan tingkat inflasi. Menurut dampak fisher, tingkat suku bunga bebas resiko
nominal mencakup tingkat pengembalian riil dan taksiran inflasi. Jika investor
dari seluruh negara menginginkan pembelian yang sama, perbedaan tingkat suku
bunga antar negara mungkin merupakan akibat dariperbedaan taksiran inflasi.
Dalam kasus yang kita bahas
ini, pemerintah menggunakan teori dari Irving Fisher untuk menyelesaikan
masalah inflasi, yakni penetapkan tingkat suku bunga yang tinggi. Mereka
berharap dengan adanya suku bunga yang tinggi dapat menarik kembali para
nasabahnya agar mau untuk menabung di bank. Hal ini dapat mengurangi money
supply yang ada, yang nantinya akan berdampak terhadap penurunan nilai
mata uang asing dan penguatan pada nilai mata uang lokal.
Teori paritas daya beli (PPP)
menyatakan bahwa pergerakan nilai tukar disebabkan oleh perbedaan tingkat
inflasi. Jika suku bunga riil antara negara sama, maka perbedaan suku bunga
nominal diakibatkan oleh perbedaan taksiran inflasi. Teori dampak fisher
internasional (IFE) menyatakan bahwa mata uang asing dengan suku bunga yang
relatif tinggi akan terdepresiasi karena suku bunga nominal yang tinggi mencerminkan
taksiran inflasi. Suku bunga nominal juga turut membentuk resiko gagal bayar
(default) atas investasi.
Sama seperti contoh kasus di
atas, apabila pada tahun 1963 inflasi di Indonesia lebih tinggi dibanding
inflasi di Amerika maka rupiah akan terdepresiasi. Investor–investor tidak
memperoleh keuntungan dari investasinya di Indonesia karena perbedaan suku
bunga tersebut.
Implikasi dampak fisher
internasional (IFE) bagi investor asing yang berupaya memanfaatkan suku bunga
Amerika Serikat (AS) yang relatif tinggi akan sama. Investor asing akan terkena
dampak negatif dari tingkat inflasi AS yang relatif lebih tinggi jika mereka
berusaha memanfaatkan suku bunga AS yang lebih tinggi.
Kesimpulan :
Indonesia memang pernah
mengalami hiperinflasi, namun tidak pernah melakukan redenominasi. Yang terjadi
hanyalah nilai rupiah yang merosot tajam. Menurut studi dari Departemen Ilmu
Politik Universitas North Carolina, Indonesia pernah hiperinflasi tinggi yakni
pada tahun 1962 (131%), 1963 (146%), 1964 (109%), 1965 (307%), 1966 (1136%),
1967 (106%), dan 1968 (129%). Inflasi terjadi ketika jumlah money supply di
masyarakat terlalu tinggi. Hal ini menyebabkan nilai mata uang akan melemah
sedangkan nilai dari mata uang asing akan semakin menguat. Ketika mata uang
asing itu menguat, harga import akan semakin naik sedangkan harga ekspor akan
semakin turun. Hal ini menyebabkan perusahaan di Indonesia yang banyak
mengimpor dari luar harus mengurangi biayanya. Maka banyak terjadi pengkikisan
pekerja dan penutupan banyak pabrik yang berdampak pada peningkatan
pengangguran di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada investor yang merasa
rugi untuk menanamkan modalnya, sehingga nilai dari investasi akan menurun.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah mengambil jalan dengan Teori dampak fisher
internasional (International Fisher Effect–IFE) dimana mereka melakukan
peningkatan suku bunga untuk menarik kembali para nasabahnya untuk dapat
mengurangi money supply.
Masalah Ekonomi Mikro
PERMASALAHAN EKONOMI MIKRO
a. Masalah Harga Dasar dan Harga Tertinggi
Krisis ekonomi yang
pernah melanda dunia terjadi cukup lama dan diyakini bahwa mekanisme pasar
tidak mampu menyelesaikan masalah ekonomi tersebut. Artinya, keseimbangan permintaan dan penawaran di
pasar tidak tercapai. Pengaruh dari krisis tersebut adalah melambungnya harga
berbagai jenis barang yang di butuhkan oleh produsen dan konsumen. Salah satu campur tangan pemerintah dalam
permasalahan ini ialah kebijakan pemerintah mengenai harga dasar (floor price)
dan harga tertinggi (ceiling price). Tujuan penentuan harga dasar adalah untuk
membantu produsen, sedangkan harga tertinggi untuk membantu konsumen. Misalnya,
musim panen padi menyebabkan jumlah beras melimpah. Akibatnya, harga beras
turun sehingga para petani mengalami kerugian. Untuk mengatasi masalah
tersebut, pemerintah menentukan harga dasar (floor price) beras untuk membantu
para petani.
b. Meningkatnya Permintaan Beras
Gagal panen akan menyebabkan
berkurangnya penawaran beras sehingga harga beras akan naik. Tingginya harga
beras akan menambah beban hidup masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tidak
tetap. Untuk mengatasi pasokan beras ini, pemerintah melakukan program impor
beras melalui tender terhadap beberapa perusahaan swasta nasional dan asing.
c. Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
Sehubungan dengan naiknya
harga BBM, para pengusaha angkutan umum bus kota, angkutan kota (angkot), dan
taksi mengalami penurunan pendapatan dan mengurangi laba bagi pengusaha dan
para sopir. Untuk menyesuaikan kenaikan harga BBM tersebut, beberapa pengusaha
angkutan umum menaikkan tarifnya secara sepihak. Tindakan ini tentu sajaakan
memberatkan para konsumen pengguna
jasa angkutan. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah bersama para
asosiasi pengusaha angkutan melakukan penyesuaian tarif angkutan umum dengan
menetapkan tarif resmi bagi para pengusaha bus kota, angkutan kota dan taksi.
Besarnya tarif resmi ini tentu tidak memberatkan konsumen atau juga tidak
merugikan pengusaha angkutan umum.
d. Masalah Monopoli
Praktik monopoli akan
mengakibatkan penguasaan pasar terhadap barang atau jasa tertentu yang
dihasilkan oleh satu perusahaan. Praktik monopoli seringkali merugikan
masyarakat dan konsumen. Di samping itu, monopoli akan mempersempit peluang
usaha bagi masyarakat lain sehingga kurang menumbuhkan semangat berwirausaha
masyarakat. Perusahaan yang melakukan praktik monopoli seringkali mempermainkan
dan menetapkan harga tanpa mempertimbangkan kelompok masyarakat yang memiliki
usaha sejenis. Hal ini akan menghancurkan para pesaing. Untuk menghindari kegiatan praktik monopoli, membuat peraturan yang mengatur tentang kegiatan
usaha agar menumbuhkan iklim usaha yang sehat bagi masyarakat, yaitu UU No. 5
tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
e. Masalah Distribusi
Jalur distribusi barang dan
jasa yang panjang akan mengakibatkan tingkat harga barang menjadi tinggi dan
mahal ketika sampai ke tangan konsumen. Untuk itu, beberapa upaya telah
dilakukan oleh pemerintah atau swasta untuk memperpendek jalur distribusi sehingga
harga barang ketika sampai ke tangan konsumen tidak mahal. Misalnya, PT. Coca
Cola Indonesia melakukan distribusi barang melalui lebihdari 120 pusat
penjualan di seluruh Indonesia dan didistribusikan langsung melalui ke pedagang
eceran (80% pengecer) dan grosir dan 90% masuk kategori usaha kecil.