Friday, 22 July 2016

Contoh Penyusunan Bab 2 Skripsi Akuntansi Kuantitatif

BAB II
DASAR TEORI

2.1       Teori Agensi (Agency Theory)
Agency theory menguraikan hubungan antara prinsipal dan agen, dimana prinsipal adalah pihak yang memberikan mandat kepada pihak agen. Prinsipal mendelegasikan tanggung jawab pengambilan keputusan kepada agen di mana hak dan kewajiban kedua belah pihak diuraikan dalam suatu perjanjian kerja yang saling menguntungkan (Anton, 2010).
Dengan hal ini terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan di mana masing-masing pihak berusahaan untuk mencapai kemakmuran yang dikehendaki, sehingga terjadi asimetri informasi antara manajemen dengan pemilik yang dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba dalam rangka menyesatkan prinsipal mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
 Teori agensi mengasumsikan bahwa CEO (agen) memiliki lebih banyak informasi daripada prinsipal. Hal ini dikarenakan prinsipal tidak dapat mengamati kegiatan yang dilakukan agen secara terus-menerus dan berkala. Karena prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kinerja agen, maka prinsipal tidak pernah dapat merasa pasti bagaimana usaha agen memberikan kontribusi pada hasil aktual perusahaan. Situasi inilah yang disebut asimetri informasi. Konflik inilah yang kemudian dapat memicu biaya agensi. Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan biaya agensi dalam tiga jenis:
1.    Biaya monitoring (monitoring cost), pengeluaran biaya yang dirancang untuk mengawasi aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh agen.
2.    Biaya bonding (bonding cost), untuk menjamin bahwa agen tidak akan bertindak yang dapat merugikan prinsipal, atau untuk meyakinkan bahwa prinsipal akan memberikan kompensasi jika agen benar-benar melakukan tindakan yang tepat.
3.    Kerugian residual (residual cost), merupakan nilai uang yang ekuivalen dengan pengurangan kemakmuran yang dialami oleh prinsipal sebagai akibat dari perbedaan kepentingan.
Teori agensi menyatakan bahwa konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi dengan mekanisme pengawasan yang dapat menyelaraskan (alignment) berbagai kepentingan yang ada dalam perusahaan. Menurut Midiastuty dan Machfoedz (2003), perlakuan manipulasi oleh manajer yang berawal dari konflik kepentingan dapat diminimumkan melalui mekanisme monitoring yang bertujuan menyelaraskan (alignment) berbagai kepentingan tersebut, yaitu dengan:
1.    Memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial ownership), sehingga kepentingan pemilik atau pemegang saham dapat disejajarkan dengan kepentingan manajer.
2.    Kepemilikan saham oleh investor institusi. Moh’d et al. dalam Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyatakan bahwa investor institusional merupakan pihak yang dapat memonitor agen dengan kepemilikannya yang besar. Selain itu, investor institusional dianggap sophisticated investors yang tidak mudah “dibodohi” oleh tindakan manajer. 
3.    Melalui monitoring dewan direksi (board of directors). Beberapa penelitian empiris telah menunjukkan hubungan yang signifikan antara peran dewan direksi dengan pelaporan keuangan. Mereka menemukan bahwa ukuran dan independensi dewan direksi mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitoring proses pelaporan keuangan.
Dalam penelitian ini hanya kepemilikan manajerial yang menjadi variabel yang akan diteliti, karena kepemilikan manajerial dapat mempengaruhi motivasi manajer melakukan manajemen laba.
2.2          Stewardship Theory
Stewardship theory menggambarkan hubungan antara pemegang saham (principal) dan manajer (steward) (Anton, 2010). Teori ini memiliki asumsi bahwa kepentingan personal antara manajer dan pemegang saham dapat diselaraskan melalui pencapaian tujuan organisasi. Apabila terdapat perbedaan kepentingan antara principal dan steward, steward akan menjunjung tinggi nilai kebersamaan sehingga tujuan perusahaan dapat dicapai (Anton, 2010). Pada dasarnya karyawan ingin melakukan pekerjaan dengan baik untuk menjadi pengelola yang baik dalam perusahaan.
Dalam teori stewardship diasumsikan bahwa ada hubungan yang kuat antara kesuksesan perusahaan dan kepuasan principal. Steward melindungi dan memaksimumkan utilitis shareholders melalui kinerja perusahaan, oleh karena itu fungsi utilitis steward dimaksimalkan (Anton, 2010).
Teori stewardship dalam penelitian ini dipertimbangkan dapat menjelaskan bahwa manajemen yang terdapat dalam perusahaan akan memaksimalkan kinerjanya agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Pihak manajer dalam teori ini dianggap bukan sebagai pihak yang opportunistic, yang mana secara esensi mereka hanya melakukan pekerjaan dengan baik untuk menjadi pengurus yang baik bagi seluruh asset yang dimiliki perusahaan. Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai pihak yang dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder.
2.3          Signalling Theory
Signaling theory mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain (Jamaan, 2008).
Teori sinyal menjelaskan bahwa pemberian sinyal dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Manajer memberikan informasi melalui laporan keuangan bahwa mereka menerapkan kebijakan akuntansi konservatisme yang menghasilkan laba yang berkualitas karena prinsip ini mencegah perusahaan melakukan tindakan membesar-besarkan laba dan membantu pengguna laporan keuangan dengan menyajikan laba dan aset yang tidak overstate.
Teori sinyal juga dapat membantu pihak perusahaan (agen), pemilik (prinsipal), dan pihak luar perusahaan mengurangi asimetri informasi dengan menghasilkan kualitas atau integritas informasi laporan keuangan. Untuk memastikan pihak-pihak yang berkepentingan menyakini keandalan informasi keuangan yang disampaikan pihak perusahaan (agen), perlu mendapatkan opini dari pihak lain yang bebas memberikan pendapat tentang laporan keuangan.
Haris (2004) dalam Jamaan (2008) menyatakan bahwa manajer berkewajiban memberika sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik (prinsipal). Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Akan tetapi sinyal informasi yang sampaikan agen terkadang diterima prinsipal tidak sesuai dengan kondisi dan ukuran keberhasilan perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi.
2.4          Manajemen Laba
Menurut Sulistyanto (2008), manajemen laba merupakan upaya manajer perusahaan untuk mempengaruhi informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Sedangkan menurut Laksamana dalam Azlina (2010) manajemen laba merupakan sikap oportunis yang dapat menimbulkan asimetri informasi dan merugikan pihak-pihak yang menggunakan informasi laporan keuangan perusahaan tersebut.
Selanjutnya, menurut Ginantra dan Putra (2015) manajemen laba merupakan usaha dari manajemen dalam memanipulasi laporan keuangan dengan sengaja dalam batasan yang diperbolehkan oleh prinsip-prinsip akuntansi yang memiliki tujuan untuk memberikan informasi yang dapat mengelabuhi para pengguna laporan keuangan untuk kepentingan manajer.
Manajemen laba (earnings management) dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan sesuai dengan keinginan orang yang melakukan pencatatan transaksi dan menyusun laporan keuangan. Alasannya, komponen akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik sehingga upaya mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan (Sulistyanto, 2008).
Ada dua perspektif penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa manajemen laba dilakukan oleh manajer, yaitu perspektif informasi dan oportunis. Perspektif informasi merupakan pandangan yang menyarankan bahwa manajemen laba merupakan kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan pribadi manajer tentang arus kas perusahaan dimasa depan. Upaya mempengaruhi informasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan memilih, menggunakan, dan mengubah metode dan prosedur akuntansi. Perspektif oportunis merupakan pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan perilaku manajer untuk mengelabui investor dan memaksimalkan kesejahteraannya karena memiliki informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain (Sulistyanto, 2008). 
Dari berbagai definisi di atas mengenai manajemen laba dapat disimpulkan bahwa manajemen laba adalah suatu kegiatan untuk mengatur laporan keuangan sesuai dengan keinginan manajer yang bertujuan untuk menyesatkan para pemegang saham, stakeholder, dan pembaca laporan keuangan.
2.4.1    Faktor-faktor Pendorong Manajemen Laba
Manajemen laba dilakukan oleh manajer dengan merekayasa laba perusahaannya menjadi lebih tinggi, rendah ataupun selalu sama selama beberapa periode. Secara umum ada beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk berperilaku oportunis. Motivasi  tersebut adalah:
1.            Motivasi bonus
Bonus plan hypothesis menegaskan bahwa ceteris paribus, manajer perusahaan cenderung untuk memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser earnings yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajer melakukan manajemen laba untuk kepentingan bonusnya.
2.            Motivasi kontraktual lainnya
Hipotesis debt/equity yaitu ceteris paribus, suatu perusahaan yang rasio debt/equity besar cenderung membuat manajer perusahaan memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser earnings yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajemen melakukan manajemen laba untuk memenuhi perjanjian utangnya agar meloloskan perusahaan dari kesulitan keuangan.
3.            Motivasi politik
Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodiknya dibanding perusahaan yang kecil. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah. 
4.            Motivasi pajak
Manajer termotivasi melakukan manajemen laba karena income taxation. Karena semakin tinggi labanya maka semakin besar pajak yang dikenakannya. Sehingga manajer melakukan manajemen laba untuk mengurangi pajak tersebut.
5.            Pergantian CEO
Motivasi manajemen laba ada di sekitar pergantian CEO. Hipotesis rencana bonus menjelaskan bahwa CEO yang akan diganti melakukan pendekatan strategi untuk memaksimalisasi laba agar menaikkan bonusnya. 
6.            Motivasi pasar modal
Motivasi ini muncul karena informasi akuntansi digunakan secara luas oleh investor dan para analis keuangan untuk menilai saham. Dengan begitu, kondisi ini menciptakan kesempatan bagi manajer untuk memanipulasi laba  dengan cara mempengaruhi performa harga saham jangka pendek.
Menurut Watts dan Zimmerman dalam Sulistyanto (2008) pengelompokan ini sejalan dengan tiga hipotesis utama dalam teori akuntansi positif (positive accounting theory) yang menjadi dasar pengembangan pengujian hipotesis untuk mendeteksi manajemen laba, yaitu:
1.            Bonus plan hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.  Dalam suatu perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, maka seorang manajer perusahaan akan melakukan penaikan laba saat ini dengan memilih metode akuntansi yang mampu menggeser laba dari masa depan ke masa kini. Tindakan ini dilakukan karena manajer termotivasi untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi untuk masa kini. Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). 
2.            Debt covenant hypothesis
Dalam konteks perjanjian hutang, manajer akan mengelola dan mengatur labanya agar kewajiban hutangnya yang seharusnya diselesaikan pada tahun tertentu dapat ditunda untuk tahun berikutnya. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. Dalam suatu perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity cukup tinggi, maka akan mendorong manajer perusahaan untuk cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Hal ini dilakukan karena perusahaan yang memiliki rasio debt to equity yang tinggi akan menimbulkan kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor dan bahkan perusahaan dapat terancam melanggar perjanjian utang.
3.            Political cost hypothesis
Dalam hipotesis ini dikatakan bahwa perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodiknya dibandingkan di perusahaan kecil. Hal tersebut sebagai akibat adanya regulasi dari pemerintah, misalnya dengan penetapan pajak berdasarkan laba perusahaan. Kondisi inilah yang merangsang manajer untuk mengelola dan mengatur labanya agar pajak yang dibayarkannya tidak terlalu tinggi. 
2.4.2    Teknik dan Pola Manajemen Laba
Menurut Scott (2009:406) pola manajemen laba dapat lakukan dengan cara:
1. Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan
dapat meningkatkan laba di masa datang.
2.  Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat laba yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
3.  Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang.
4.  Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu:
a.    Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi. Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aset tetap atau amortisasi aset tak berwujud, estimasi biaya garansi dan lain-lain.
b.    Mengubah metode akuntansi. Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aset tetap, dari metode angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
c.    Menggeser periode biaya atau pendapatan. Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan lain: mempercepat/menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat/menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aset tetap yang sudah tak terpakai.
2.4.3    Pegukuran manajemen laba
Manajemen laba diproksikan dengan Revenue Discretionary Model.  Revenue Discretionary Model diperkenalkan oleh Stubben (2010) atas dasar ketidakpuasan terhadap model akrual yang umum digunakan saat  ini. Stubben (2010) mengembangkan model pendapatan dan akrual pada tingkat kuartalan karena model pendapatan kuartalan lebih kuat dan lebih baik. Revenue model menekankan pada pendapatan perkuartalan yang diproksikan dengan piutang per tahun dengan asumsi bahwa apabila pendapatan perkuartal mampu menjelaskan piutang dengan baik, maka tidak akan terindikasi manajemen laba. Rumus revenue discretionary model sebagai berikut:
(Sumber: Stubben, 2010)
di mana:
AR       adalah piutang akhir tahun
α          adalah konstanta
β          adalah koefisien regresi
∆          adalah perubahan tahunan
R1_3   adalah pendapatan pada tiga kuartal pertama
R4       adalah pendapatan pada kuartal keempat
ԑ          adalah error
            Jika nilai residual manajemen laba ada diantara -0,075 sampai 0,075 berarti perusahaan digolongkan sebagai perusahaan yang tidak melakukan manajemen laba. Sebaliknya, jika nilai residual kurang dari (<) -0,075 atau lebih dari (>) 0,075 maka perusahaan digolongkan sebagai perusahaan yang melakukan manajemen laba (Windharta, 2014).
2.5         Profitabilitas
Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan. Tingkat profitabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa kinerja perusahaan baik dan pengawasan berjalan dengan baik, sedangkan dengan tingkat profitabilitas yang rendah menunjukkan bahwa kinerja perusahan kurang baik dan kinerja manajemen tampak buruk di mata principal (Irawan, 2013).
Laba yang dihasilkan perusahaan sebagian besar berasal dari penjualan dan investasi yang dilakukan perusahaan. Rasio profitabilitas diperoleh dari perbandingan jumlah laba bersih setelah pajak  dengan total aset. Kreditur maupun investor akan selalu memantau rasio profitabilitas suatu perusahaan sebelum mengambil keputusan (Ginantra dan Putra, 2015). Semakin tinggi rasio profitabilitas maka semakin baik produktivitas aset dalam memperoleh keutungan bersih.
Salah satu rasio analisis yang digunakan untuk mengambarkan profitabilitas perusahaan adalah Net Profit Margin (NPM). NPM menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih setelah dipotong pajak. NPM digunakan untuk mengukur rupiah laba yang dihasilkan oleh setiap satu rupiah penjualan. NPM mengukur seluruh efisiensi, baik administrasi, produksi, penentuan harga, pemasaran, pendanaan maupun manajemen pajak (Ginantra dan Putra, 2015).
Manajemen akan menampilkan kinerja yang terbaik untuk meningkatkan NPM perusahaan agar dapat menambah kepercayaan investor untuk berinvestasi di perusahaan tersebut. Meningkatkan kinerja dari perusahaan dapat dilakukan dengan melakukan manajemen pajak agar mendapatkan laba sesuai dengan keinginan. Rumus NPM sebagai berikut:
(Sumber: Ginantra dan Putra, 2015)

2.6       Kepemilikan Manajerial
Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran yang berbeda pula, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang dikelolanya. 
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa praktek manajemen laba dapat diminimumkan dengan menyelaraskan perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen dengan cara memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial ownership). Dalam kepemilikan saham yang rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat. Warfield et al. dalam Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyatakan adanya kepemilikan manajerial dapat mengurangi dorongan manajer untuk melakukan tindakan manipulasi sehingga laba yang dilaporkan merefleksikan keadaan ekonomi yang sebenarnya dari perusahaan tersebut. 
Gideon (2005) dalam Zeptian dan Rohman (2013) menyatakan kepemilikan manajerial merupakan persentase kepemilikan saham dari manajemen perusahaan meliputi manajer, dewan komisaris maupun dewan direksi. Kepemilikan manajerial dapat diukur dengan skala nominal  di mana diberi nilai 1 jika dalam perusahaan ada pihak manajemen yang memiliki saham perusahaan, dan diberi nilai 0 jika tidak ada pihak manajemen yang memiliki saham perusahan (Asward dan Lina, 2015).

2.7       Kepemilikan Publik
Kepemillikan publik akan menggambarkan jumlah saham yang beredar di masyarakat. Proporsi yang besar atas kepemilikan saham oleh publik akan berakibat pada tingkat kepercayaan dari para investor terhadap perusahaan tinggi, maka manajemen cenderung melakukan manajemen laba agar dapat meningkatkan laba dan kinerja perusahaan yang baik (Yoviana dan Yuyetta, 2011). Tujuan utama para investor dalam berinvestasi yaitu melakukan peningkatan kesejahteraan dengan mendapatkan dividen maupun capital gain.
Proporsi kepemilikan publik tinggi dalam suatu perusahaan membuat manajemen harus selalu dituntut untuk menunjukkan kredibilitas yang baik dengan cara menampilkan performa laporan keuangan yang sesuai dengan keinginan investor seperti menstabilkan rasio-rasio keuangan yang dapat mempengaruhi keputusan investor. Hal ini dilakukan agar investor mau terus menginvestasikan dana pada perusahaan, karena kondisi tersebut manajemen cenderung melakukan manajemen laba agar selalu dapat menampilkan kinerja yang terbaik dalam perusahaan. Kinerja perusahaan yang selalu baik akan mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi.
Pengukuran untuk kepemilikan publik dihitung dengan membandingkan saham yang dimiliki publik dengan kepemilikan kurang dari 5% dengan jumlah saham perusahaan yang beredar yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
(Sumber: Ginantra dan Putra, 2015 )



2.8       Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang mengkaji tentang tidakan manajemen laba pada perusahaan yang diringkas dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu

No
Penelitian
Variabel
Alat Analisis
Kesimpulan
1
Ginantra dan Putra (2015) Pengaruh Profitabilitas, Leverage, Ukuran Perusahaan, Kepemilikan Publik, Dividend Payout Ratio Dan Net Profit Margin pada Perataan Laba
Dependen:
-  Perataan laba (income smoothing)
Independen:
-  Profitabilitas
-  Financial leverage
-  Ukuran perusahaan
-  Kepemilikan publik
-  Dividend payout
-  Net profit margin
Regresi Logistik
-    Profitabilitas, financial leverage, ukuran perusahaan, kepemilikan publik dan dividend payout tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
-    Net profit margin berpengaruh positif terhadap manajemen laba
2
Suriyani dkk. (2015)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode Tahun 2008-2013)
Dependen:
- Manajemen laba (discretionary accruals)
Independen:
- Kepemilikan institusional
- Dewan komisaris independen
- Persentase saham publik
- Komite audit
- Leverage
Regresi Linier Berganda
-   Persentase saham publik berpengaruh positif terhadap manajemen laba
-   Komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
-    Kepemilikan institusional, dewan komisaris independen dan leverage tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
3
Gunawan dkk. (2015)
Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas dan Leverage Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
Dependen:
-   Manajemen laba (discretionary accruals)
Independen:
-   Ukuran perusahaan
-   Profitabilitas
-   Leverage
Regresi Linier Berganda
-   Ukuran perusahaan, profitabilitas dan leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
4
Raja dkk. (2014)
Aktivitas Manajemen Laba: Analisis Peran Komite Audit, Kepemilikan Institusional, Persentase Saham Publik dan Leverage
Dependen:
- Manajemen laba (discretionary accruals)
Independen:
- Komite audit
- Kepemilikan institusional
- Persentase saham publik
- Leverage
Regresi Linier Berganda
-   Komite audit, kepemilikan institusional dan persentase saham publik berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba
-   Leverage berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba
5
Mahariana dan Ramantha (2014) Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia
Dependen:
-     Manajemen laba
Independen:
-     Kepemilikan manajerial
-     Kepemilikan Institusional
Regresi Linier Berganda
-   Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
-   Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
6
Agustia (2013) Pengaruh Faktor Good Corporate Governance, Free Cash Flow dan Leverage Terhadap Manajemen Laba
Dependen:
-   Manajemen laba (discretionary accruals)
Independen:
-   Kepemilikan institusional
-   Kepemilikan manajerial
-   Ukuran komite audit
-   Leverage
-   Proporsi dewan komisaris
-   Free cash flow
Regresi Linier Berganda
-  Leverage dan free cash flow berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba
-   Kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, ukuran komite audit dan proporsi dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
7
Dwikusumowati dan Raharjo (2013) Pengaruh Karakteristik Komite Audit dan Karakteristik Perusahaan terhadap Manajemen Laba
Dependen:
-   Manajemen laba (discretionary accruals)
Independen:
-   Independensi komite audit
-   Keahlian keuangan komite audit
-   Leverage
-   Ukuran perusahaan
-   Profitabilitas
Regresi Linier Berganda
-  Keahlian keuangan komite audit dan profitabilitas berpengaruh terhadap manajemen laba
-  Independensi komite audit, leverage dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
8
Zeptian dan Rohman (2013)
Analisis Pengaruh Penerapan Corporate Governance, Struktur Kepemilikan dan Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba pada Perbankan
Dependen:
-   Manajemen laba (discretionary accruals)
Independen:
-  Proporsi komisaris independen
-  Komite audit
-  Kualitas auditor
-  Kepemilikan manajerial
-  Kepemilikan institusional
-  Ukuran perusahaan
Regresi Linier Berganda
-  Komisaris independen dan kualitas auditor berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
-  Komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh
9
Sudibyo Dan Sabeni (2013) Pengaruh Struktur Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba (Studi Empiris pada Perusahaan Jasa Non Keuangan yang Terdaftar di BEI 2009-2011)
Dependen:
-  Descretionary accruals
Independen:
-  Kepemilikan institusional
-  Kepemilikan manajerial
-  Ukuran perusahaan

Regresi Linier Berganda
-  Kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
-  Ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan
10
Noviana Dan Yuyetta (2011) Analisisn Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktek Perataan Laba (Studi Empiris Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode 2006-2010)
Dependen:
-   Perataan Laba (discretionary accruals)
Independen
-   Profitabilitas
-   Risiko Keuangan
-   Nilai Perusahaan
-   Kepemilikan Manajerial
-   Kepemilikan Publik
-   Dividend Payout Ratio
Regresi Linier Berganda
-  Dividend Payout Ratio berpengaruh positif signifikan terhadap discretionary accruals
-  Profitabilitas, risiko keuangan, nilai perusahaan, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan publik tidak berpengaruh signifikan
11
Azlina (2010)
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba (Studi Pada Perusahaan yang Terdaftar di BEI)
Dependen:
-   Manajemen laba (discretionary accruals)
Independen:
-   Dewan direksi
-   Leverage
-   Persentase saham publik
-   Ukuran perusahaan
Regresi Linier Berganda
-  Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba
-  Dewan direksi, leverage dan persentase saham publik tidak berpengaruh

2.9       Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya serta permasalahan yang dikemukakan, maka sebagai acuan untuk merumuskan hipotesis, berikut disajikan pemikiran teoris yang yang dituangkan dalam model penelitian seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Konsep
Profitabilitas
(X1)
 

Manajemen Laba
 (Y)
Kepemilikan Manajerial
(X2)
                 
 
Kepemilikan Publik
(X3)
        

Dari bagan di atas, dapat kita lihat bahwa tindakan manajemen laba dipengaruhi oleh profitabilitas, kepemilikan manajerial dan kepemilikan publik.
2.10     Pengembangan Hipotesis       
2.10.1 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba 
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan selama periode tertentu dalam menghasilkan laba. Profitabilitas mempengaruhi manajemen laba karena perhatian investor yang besar pada tingkat profitabilitas perusahaan dapat mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba.
Profitabilitas merupakan ukuran penting untuk menilai sehat tidaknya perusahaan yang mempengaruhi investor untuk mengambil keputusan. Perusahaan dengan tingkat profitabilitas rendah mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan manajemen laba untuk menutupi kekurangan perusahaan tersebut dari investor. Apabila investor mengetahui profitabilitas yang dihasilkan suatu perusahaan rendah atau tidak seperti yang diharapkan, maka investor akan ragu untuk berinvestasi pada perusahaan. Oleh sebab itu perusahaan akan memilih untuk melakukan manajemen laba.
Dalam hubungan keagenan, pemegang saham tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah sedangkan manajemen menerima kompensasi keuangan. Dengan ini manajemen akan termotivasi untuk menggunakan keseluruhan aset yang dimiliki perusahaan untuk menghasilkan keuntungan, sehingga tingkat profitabilitasnya meningkat, maka manajer akan memperoleh reward dengan hasil kinerja atas meningkatnya profitabilitas perusahaan.
Berdasarkan signalling theory apabila laba yang dilaporkan oleh perusahaan meningkat maka informasi tersebut dapat dikategorikan sebagai sinyal baik karena mengindikasikan kondisi perusahaan baik. Sebaliknya apabila laba yang dilaporkan menurun maka perusahaan berada dalam kondisi tidak baik sehingga dianggap sebagai sinyal yang jelek. Sinyal inilah yang akan menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan investor untuk terus berinvestasi pada perusahaan atau tidak.
Pada penelitian Dwikusumowati dan Rahardjo (2013) menyatakan bahwa profitabilitas memiliki pengaruh pengaruh positif terhadap manajemen laba artinya semakin tinggi profitabilitas perusahaan maka semakin tinggi kecenderungan perusahaan melakukan tindakan manajemen laba. Tetapi berbeda dengan hasil penelitian Ginantra dan Putra (2015) dan Gunawan, dkk (2015) menyatakan bahwa profitabilitas tidak mempengaruhi manajemen laba.
Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
2.10.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Manajemen Laba
Kepemilikan manajerial merupakan saham yang dimiliki oleh manajemen perusahaan, anggota  dewan direksi dan dewan komisaris. Jika manajer mempunyai kepemillikan pada perusahaan maka manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham, karena manajer juga mempunyai kepentingan di dalamnya.
Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan, motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda seperti antara manajer yang sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham.
Teori agensi menyatakan hubungan principal dan agen di mana kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kemakmuran yang dikehendaki. Dengan adanya dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan di mana masing-masing pihak perusahaan untuk mencapai kemakmuran yang dikehendaki, sehingga terjadi asimetri informasi antara manajemen dengan pemegang saham. Hal ini dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba dalam rangka menyesatkan mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Teori agensi ini mendukung hasil penelitian Mahariana dan Ramantha (2014) yang menyatakan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
Berdasarkan teori stewardship yang menjelaskan bahwa manajemen yang terdapat dalam perusahaan akan memaksimalkan kinerjanya agar tujuan perusahaan tercapai. Dalam teori stewardship memandang manajemen sebagai pihak yang dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Teori ini mendukung hasil penelitian Zeptian dan Rohman (2013) dan Agustia (2013) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengidentifikasikan adanya kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Artinya semakin besar kepemilikan manajerial maka semakin rendah  kecenderungan pihak manajemen melakukan praktik manajemen laba karena manajer merasa ikut mempunyai perusahaan (Sudibyo dan Sabeni, 2013).
Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Kepemilikan Manajerial berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
2.10.3 Pengaruh Kepemilikan Publik Terhadap Manajemen Laba   
Kepemilikan publik akan menggambarkan jumlah saham yang beredar di masyarakat. Proporsi yang besar atas kepemilikan saham oleh publik akan berakibat pada tingkat kepercayaan dari para investor terhadap perusahaan tinggi, maka manajemen cenderung melakukan manajemen laba agar dapat meningkatkan laba dan kinerja perusahaan yang baik.
Berdasarkan teori agensi, kepemilikan publik yang tinggi akan cenderung membuat manajemen melakukan tindakan manajemen laba. Hal ini karena publik hanya mendapatkan informasi tentang perusahaan dari laporan keuangan dan laporan tahunan yang dibuat oleh manajemen perusahaan. Publik juga secara individu tidak dapat mempengaruhi keputusan manajemen dikarenakan persentase kepemilikan atas saham perusahaan yang relatif kecil yaitu di bawah 5%.
Berdasarkan teori sinyal bahwa publik hanya mengetahui informasi tentang perusahaan dari informasi yang disajikan oleh pihak manajemen perusahaan dalam laporan keuangan maupun laporan tahunan perusahaan. Sehingga dari informasi tersebut publik akan mengetahui kinerja perusahaan dan prospek perusahaan, di mana jika kinerja perusahaan dan prospek perusahaan baik akan membuat publik berinvestasi pada perusahaan tersebut, begitu juga sebaliknya jika kinerja dan prospek perusahaan buruk maka publik tidak akan berinvestasi di perusahaan tersebut.
Dalam penelitian Ginantra dan Putra (2015) menyatakan bahwa proporsi kepemilikan publik yang tinggi dalam suatu perusahaan harus selalu dituntut untuk menunjukkan kredibilitas yang baik dengan cara menampilkan performa laporan keuangan yang sesuai dengan keinginan investor seperti menstabilkan rasio-rasio keuangan yang dapat mempengaruhi keputusan investor. Hal ini dilakukan agar investor mau terus menginvestasikan dana pada perusahaan, karena kondisi tersebut manajemen cenderung melakukan manajemen laba agar selalu dapat menampilkan kinerja yang terbaik dalam perusahaan. Kinerja perusahaan yang selalu baik akan mempengaruhi pada keputusan investor untuk berinvestasi.
Suryani dkk (2015) menyatakan persentase saham publik berpengaruh positif terhadap manajemen laba artinya semakin tinggi persentase saham publik maka semakin besar kemungkinan perusahaan melakukan manajemen laba. Hasil ini berbeda dengan penelitian Noviana dan Yuyetta (2011) dan Azlina (2010) yang menyatakan kepemilikan publik atau persentase saham publik tidak mempengaruhi tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer.
Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Kepemilikan Publik berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba

No comments:

Post a Comment