BAB II
DASAR TEORI
2.1 Teori Agensi (Agency Theory)
Agency
theory
menguraikan hubungan antara prinsipal dan agen, dimana prinsipal adalah pihak
yang memberikan mandat kepada pihak agen. Prinsipal mendelegasikan tanggung
jawab pengambilan keputusan kepada agen di mana hak dan kewajiban kedua belah
pihak diuraikan dalam suatu perjanjian kerja yang saling menguntungkan (Anton, 2010).
Dengan
hal ini terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan di mana
masing-masing pihak berusahaan untuk mencapai kemakmuran yang dikehendaki,
sehingga terjadi asimetri informasi antara manajemen dengan pemilik yang dapat
memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba dalam
rangka menyesatkan prinsipal mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Teori agensi mengasumsikan
bahwa CEO (agen) memiliki lebih banyak informasi daripada prinsipal. Hal ini
dikarenakan prinsipal tidak dapat mengamati kegiatan yang dilakukan agen secara
terus-menerus dan berkala. Karena prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup
mengenai kinerja agen, maka prinsipal tidak pernah dapat merasa pasti bagaimana
usaha agen memberikan kontribusi pada hasil aktual perusahaan. Situasi inilah
yang disebut asimetri informasi. Konflik inilah yang kemudian dapat memicu
biaya agensi. Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan biaya agensi dalam tiga
jenis:
1.
Biaya
monitoring (monitoring cost), pengeluaran biaya yang dirancang untuk
mengawasi aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh agen.
2.
Biaya
bonding (bonding cost), untuk menjamin bahwa agen tidak akan bertindak
yang dapat merugikan prinsipal, atau untuk meyakinkan bahwa prinsipal akan
memberikan kompensasi jika agen benar-benar melakukan tindakan
yang tepat.
3.
Kerugian
residual (residual cost), merupakan nilai uang yang ekuivalen dengan
pengurangan kemakmuran yang dialami oleh prinsipal sebagai akibat dari
perbedaan kepentingan.
Teori agensi menyatakan bahwa
konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi dengan mekanisme pengawasan
yang dapat menyelaraskan (alignment) berbagai kepentingan yang ada dalam
perusahaan. Menurut Midiastuty dan Machfoedz (2003), perlakuan manipulasi oleh
manajer yang berawal dari konflik kepentingan dapat diminimumkan melalui
mekanisme monitoring yang bertujuan menyelaraskan (alignment)
berbagai kepentingan tersebut, yaitu dengan:
1.
Memperbesar
kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial ownership),
sehingga kepentingan pemilik atau pemegang saham dapat disejajarkan dengan
kepentingan manajer.
2.
Kepemilikan
saham oleh investor institusi. Moh’d et al. dalam Midiastuty dan
Machfoedz (2003) menyatakan bahwa investor institusional merupakan
pihak yang dapat memonitor agen dengan kepemilikannya yang besar. Selain itu,
investor institusional dianggap sophisticated investors yang
tidak mudah “dibodohi” oleh tindakan manajer.
3.
Melalui monitoring
dewan direksi (board of directors). Beberapa penelitian empiris telah
menunjukkan hubungan yang signifikan antara peran dewan direksi dengan
pelaporan keuangan. Mereka menemukan bahwa ukuran dan independensi dewan
direksi mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitoring proses pelaporan keuangan.
Dalam penelitian ini
hanya kepemilikan manajerial yang menjadi variabel yang akan diteliti, karena kepemilikan manajerial dapat mempengaruhi motivasi manajer
melakukan manajemen laba.
2.2
Stewardship Theory
Stewardship theory menggambarkan hubungan antara pemegang saham
(principal) dan manajer (steward) (Anton, 2010). Teori ini memiliki asumsi bahwa kepentingan personal antara
manajer dan pemegang saham dapat diselaraskan melalui pencapaian tujuan
organisasi. Apabila terdapat perbedaan kepentingan antara principal dan steward, steward akan
menjunjung tinggi nilai kebersamaan sehingga tujuan perusahaan dapat dicapai (Anton,
2010). Pada dasarnya karyawan ingin melakukan pekerjaan dengan baik untuk
menjadi pengelola yang baik dalam perusahaan.
Dalam teori stewardship diasumsikan bahwa ada
hubungan yang kuat antara kesuksesan perusahaan dan kepuasan principal. Steward melindungi dan
memaksimumkan utilitis shareholders melalui kinerja perusahaan, oleh karena itu
fungsi utilitis steward dimaksimalkan (Anton, 2010).
Teori stewardship dalam penelitian ini
dipertimbangkan dapat menjelaskan bahwa manajemen yang terdapat dalam
perusahaan akan memaksimalkan kinerjanya agar tujuan perusahaan dapat tercapai.
Pihak manajer dalam teori ini dianggap bukan sebagai pihak yang opportunistic,
yang mana secara esensi mereka hanya melakukan pekerjaan dengan baik untuk
menjadi pengurus yang baik bagi seluruh asset yang dimiliki perusahaan. Dengan
kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai pihak yang
dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik
maupun stakeholder.
2.3
Signalling Theory
Signaling theory mengemukakan tentang bagaimana
seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan
keuangan. Sinyal ini berupa
informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan
keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang
menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain (Jamaan,
2008).
Teori sinyal menjelaskan bahwa pemberian
sinyal dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Manajer
memberikan informasi melalui laporan keuangan bahwa mereka menerapkan kebijakan
akuntansi konservatisme yang menghasilkan laba yang berkualitas karena
prinsip ini mencegah perusahaan melakukan tindakan membesar-besarkan laba dan
membantu pengguna laporan keuangan dengan menyajikan laba dan aset yang tidak overstate.
Teori sinyal juga dapat membantu pihak
perusahaan (agen), pemilik (prinsipal), dan pihak luar perusahaan mengurangi
asimetri informasi dengan menghasilkan kualitas atau integritas informasi
laporan keuangan. Untuk memastikan pihak-pihak yang berkepentingan menyakini
keandalan informasi keuangan yang disampaikan pihak perusahaan (agen), perlu
mendapatkan opini dari pihak lain yang bebas memberikan pendapat tentang
laporan keuangan.
Haris (2004) dalam Jamaan (2008) menyatakan
bahwa manajer berkewajiban memberika sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik (prinsipal). Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan
informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Akan tetapi sinyal informasi yang
sampaikan agen terkadang diterima prinsipal tidak sesuai dengan kondisi dan
ukuran keberhasilan perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi
yang tidak simetris atau asimetri informasi.
2.4
Manajemen Laba
Menurut Sulistyanto (2008),
manajemen laba merupakan upaya manajer perusahaan untuk mempengaruhi informasi
dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang
ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Sedangkan
menurut Laksamana
dalam Azlina (2010) manajemen laba merupakan sikap oportunis yang dapat
menimbulkan asimetri informasi dan merugikan pihak-pihak yang menggunakan
informasi laporan keuangan perusahaan tersebut.
Selanjutnya,
menurut Ginantra dan Putra (2015) manajemen laba merupakan usaha dari manajemen
dalam memanipulasi laporan keuangan dengan sengaja dalam batasan yang
diperbolehkan oleh prinsip-prinsip akuntansi yang memiliki tujuan untuk memberikan
informasi yang dapat mengelabuhi para pengguna laporan keuangan untuk
kepentingan manajer.
Manajemen
laba (earnings management) dilakukan dengan mempermainkan
komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab akrual merupakan
komponen yang mudah untuk dipermainkan sesuai dengan keinginan orang yang
melakukan pencatatan transaksi dan menyusun laporan keuangan. Alasannya,
komponen akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik
sehingga upaya mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus
disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan (Sulistyanto,
2008).
Ada
dua perspektif penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa manajemen
laba dilakukan oleh manajer, yaitu perspektif informasi dan oportunis.
Perspektif informasi merupakan pandangan yang menyarankan bahwa manajemen laba
merupakan kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan pribadi manajer
tentang arus kas perusahaan dimasa depan. Upaya mempengaruhi informasi itu
dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan memilih, menggunakan, dan mengubah metode dan
prosedur akuntansi. Perspektif oportunis merupakan pandangan yang menyatakan
bahwa manajemen laba merupakan perilaku manajer untuk mengelabui investor dan
memaksimalkan kesejahteraannya karena memiliki informasi lebih banyak
dibandingkan pihak lain (Sulistyanto, 2008).
Dari
berbagai definisi di atas mengenai manajemen laba dapat disimpulkan bahwa manajemen
laba adalah suatu kegiatan untuk mengatur laporan keuangan sesuai dengan keinginan
manajer yang bertujuan untuk menyesatkan para pemegang saham, stakeholder,
dan pembaca laporan keuangan.
2.4.1 Faktor-faktor Pendorong
Manajemen Laba
Manajemen
laba dilakukan oleh manajer dengan merekayasa laba perusahaannya menjadi lebih
tinggi, rendah ataupun selalu sama selama beberapa periode. Secara umum ada
beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk berperilaku oportunis. Motivasi tersebut adalah:
1.
Motivasi bonus
Bonus
plan hypothesis menegaskan bahwa ceteris paribus, manajer perusahaan
cenderung untuk memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser earnings yang
dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajer melakukan
manajemen laba untuk kepentingan bonusnya.
2.
Motivasi kontraktual lainnya
Hipotesis
debt/equity yaitu ceteris paribus, suatu perusahaan yang rasio debt/equity
besar cenderung membuat manajer perusahaan memilih prosedur-prosedur akuntansi
yang menggeser earnings yang dilaporkan dari periode masa depan ke
periode sekarang. Manajemen melakukan manajemen laba untuk memenuhi perjanjian
utangnya agar meloloskan perusahaan dari kesulitan keuangan.
3.
Motivasi politik
Perusahaan
besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba
periodiknya dibanding perusahaan yang kecil. Hal ini dilakukan untuk memperoleh
kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.
4.
Motivasi pajak
Manajer
termotivasi melakukan manajemen laba karena income taxation. Karena
semakin tinggi labanya maka semakin besar pajak yang dikenakannya. Sehingga
manajer melakukan manajemen laba untuk mengurangi pajak tersebut.
5.
Pergantian CEO
Motivasi
manajemen laba ada di sekitar pergantian CEO. Hipotesis rencana bonus menjelaskan
bahwa CEO yang akan diganti melakukan pendekatan strategi untuk memaksimalisasi
laba agar menaikkan bonusnya.
6.
Motivasi pasar modal
Motivasi
ini muncul karena informasi akuntansi digunakan secara luas oleh investor dan
para analis keuangan untuk menilai saham. Dengan begitu, kondisi ini
menciptakan kesempatan bagi manajer untuk memanipulasi laba
dengan cara mempengaruhi performa harga saham
jangka pendek.
Menurut Watts dan Zimmerman dalam
Sulistyanto (2008) pengelompokan ini sejalan dengan tiga
hipotesis utama dalam teori akuntansi positif (positive accounting theory) yang
menjadi dasar pengembangan pengujian hipotesis untuk mendeteksi manajemen laba,
yaitu:
1.
Bonus
plan hypothesis
Manajemen akan memilih metode
akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer
perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings lebih banyak
menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. Dalam suatu perusahaan yang memiliki rencana
pemberian bonus, maka seorang manajer perusahaan akan melakukan penaikan laba
saat ini dengan memilih metode akuntansi yang mampu menggeser laba dari masa
depan ke masa kini. Tindakan ini dilakukan karena manajer termotivasi untuk
mendapatkan upah yang lebih tinggi untuk masa kini. Dalam kontrak bonus dikenal
dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus)
dan cap (tingkat laba tertinggi).
2.
Debt
covenant hypothesis
Dalam konteks perjanjian hutang,
manajer akan mengelola dan mengatur labanya agar kewajiban hutangnya yang
seharusnya diselesaikan pada tahun tertentu dapat ditunda untuk tahun
berikutnya. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak
eksternal. Dalam
suatu perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity cukup tinggi, maka
akan mendorong manajer perusahaan untuk cenderung menggunakan metode akuntansi
yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Hal ini dilakukan karena
perusahaan yang memiliki rasio debt to equity yang tinggi akan
menimbulkan kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor dan
bahkan perusahaan dapat terancam melanggar perjanjian utang.
3.
Political cost hypothesis
Dalam
hipotesis ini dikatakan bahwa perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi
yang dapat mengurangi laba periodiknya dibandingkan di perusahaan kecil. Hal
tersebut sebagai akibat adanya regulasi dari pemerintah, misalnya dengan
penetapan pajak berdasarkan laba perusahaan. Kondisi inilah yang merangsang
manajer untuk mengelola dan mengatur labanya agar pajak yang dibayarkannya
tidak terlalu tinggi.
2.4.2 Teknik dan Pola Manajemen Laba
Menurut
Scott (2009:406) pola manajemen laba dapat lakukan dengan cara:
1. Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO
baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan
dapat
meningkatkan laba di masa datang.
2. Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami
tingkat laba yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan
turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
3. Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income
maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk
tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang
melakukan pelanggaran perjanjian hutang.
4. Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan
sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya
investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
Teknik dan pola manajemen laba menurut
Setiawati dan Na’im (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) dapat dilakukan dengan
tiga teknik yaitu:
a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi.
Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap
estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi
kurun waktu depresiasi aset tetap atau amortisasi aset tak berwujud, estimasi
biaya garansi dan lain-lain.
b. Mengubah metode akuntansi. Perubahan metode akuntansi
yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah metode
depresiasi aset tetap, dari metode angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
c. Menggeser periode biaya atau pendapatan. Contoh rekayasa
periode biaya atau pendapatan lain: mempercepat/menunda pengeluaran untuk
penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya,
mempercepat/menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya,
mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aset
tetap yang sudah tak terpakai.
2.4.3 Pegukuran manajemen laba
Manajemen laba diproksikan dengan Revenue
Discretionary Model. Revenue
Discretionary Model diperkenalkan oleh Stubben (2010) atas dasar
ketidakpuasan terhadap model akrual yang umum digunakan saat ini. Stubben (2010) mengembangkan model
pendapatan dan akrual pada tingkat kuartalan karena model pendapatan kuartalan
lebih kuat dan lebih baik. Revenue model menekankan pada pendapatan
perkuartalan yang diproksikan dengan piutang per tahun dengan asumsi bahwa
apabila pendapatan perkuartal mampu menjelaskan piutang dengan baik, maka tidak
akan terindikasi manajemen laba. Rumus revenue discretionary model
sebagai berikut:
(Sumber: Stubben, 2010)
di mana:
AR adalah
piutang akhir tahun
α adalah
konstanta
β adalah
koefisien regresi
∆ adalah perubahan tahunan
R1_3 adalah
pendapatan pada tiga kuartal pertama
R4 adalah
pendapatan pada kuartal keempat
ԑ adalah error
Jika
nilai residual manajemen laba ada diantara -0,075 sampai 0,075 berarti
perusahaan digolongkan sebagai perusahaan yang tidak melakukan manajemen laba.
Sebaliknya, jika nilai residual kurang dari (<) -0,075 atau lebih dari
(>) 0,075 maka perusahaan digolongkan sebagai perusahaan yang melakukan
manajemen laba (Windharta, 2014).
2.5
Profitabilitas
Profitabilitas
merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola
kekayaan perusahaan yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan. Tingkat
profitabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa kinerja perusahaan baik dan
pengawasan berjalan dengan baik, sedangkan dengan tingkat profitabilitas yang
rendah menunjukkan bahwa kinerja perusahan kurang baik dan kinerja manajemen
tampak buruk di mata principal (Irawan, 2013).
Laba yang
dihasilkan perusahaan sebagian besar berasal dari penjualan dan investasi yang
dilakukan perusahaan. Rasio profitabilitas diperoleh dari perbandingan jumlah
laba bersih setelah pajak dengan total
aset. Kreditur maupun investor akan selalu memantau rasio profitabilitas suatu
perusahaan sebelum mengambil keputusan (Ginantra dan Putra, 2015). Semakin
tinggi rasio profitabilitas maka semakin baik produktivitas aset dalam
memperoleh keutungan bersih.
Salah satu rasio
analisis yang digunakan untuk mengambarkan profitabilitas perusahaan adalah Net Profit Margin (NPM). NPM menunjukkan
kemampuan perusahaan
menghasilkan laba bersih setelah dipotong pajak. NPM digunakan untuk
mengukur rupiah laba yang dihasilkan oleh setiap satu rupiah penjualan. NPM
mengukur seluruh efisiensi, baik administrasi, produksi, penentuan harga,
pemasaran, pendanaan maupun manajemen pajak (Ginantra dan Putra, 2015).
Manajemen akan menampilkan
kinerja yang terbaik untuk meningkatkan NPM perusahaan agar dapat menambah
kepercayaan investor untuk berinvestasi di perusahaan tersebut. Meningkatkan
kinerja dari perusahaan dapat dilakukan dengan melakukan manajemen pajak agar
mendapatkan laba sesuai dengan keinginan. Rumus NPM sebagai berikut:
(Sumber: Ginantra dan Putra, 2015)
2.6 Kepemilikan
Manajerial
Dari
sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh
motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran
yang berbeda pula, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang
saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan
mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut
menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang
diterapkan pada perusahaan yang dikelolanya.
Jensen
dan Meckling (1976) menyatakan bahwa praktek manajemen laba dapat diminimumkan
dengan menyelaraskan perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen dengan
cara memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial
ownership). Dalam kepemilikan saham yang rendah, maka insentif terhadap
kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat. Warfield et al. dalam Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyatakan
adanya kepemilikan manajerial dapat mengurangi dorongan manajer untuk melakukan
tindakan manipulasi sehingga laba yang dilaporkan merefleksikan keadaan ekonomi
yang sebenarnya dari perusahaan tersebut.
Gideon (2005)
dalam Zeptian dan Rohman (2013) menyatakan kepemilikan
manajerial merupakan persentase kepemilikan saham dari manajemen perusahaan
meliputi manajer, dewan komisaris maupun
dewan direksi. Kepemilikan manajerial
dapat diukur dengan skala nominal di
mana diberi nilai 1 jika dalam perusahaan ada pihak manajemen yang memiliki
saham perusahaan, dan diberi nilai 0 jika tidak ada pihak manajemen yang
memiliki saham perusahan (Asward dan Lina, 2015).
2.7 Kepemilikan Publik
Kepemillikan
publik akan menggambarkan jumlah saham yang beredar di masyarakat. Proporsi
yang besar atas kepemilikan saham oleh publik akan berakibat pada tingkat
kepercayaan dari para investor terhadap perusahaan tinggi, maka manajemen
cenderung melakukan manajemen laba agar dapat meningkatkan laba dan kinerja
perusahaan yang baik (Yoviana dan Yuyetta, 2011). Tujuan utama para investor
dalam berinvestasi yaitu melakukan peningkatan kesejahteraan dengan mendapatkan
dividen maupun capital gain.
Proporsi
kepemilikan publik tinggi dalam suatu perusahaan membuat manajemen harus selalu
dituntut untuk menunjukkan kredibilitas yang baik dengan cara menampilkan
performa laporan keuangan yang sesuai dengan keinginan investor seperti
menstabilkan rasio-rasio keuangan yang dapat mempengaruhi keputusan investor.
Hal ini dilakukan agar investor mau terus menginvestasikan dana pada
perusahaan, karena kondisi tersebut manajemen cenderung melakukan manajemen
laba agar selalu dapat menampilkan kinerja yang terbaik dalam perusahaan.
Kinerja perusahaan yang selalu baik akan mempengaruhi keputusan investor untuk
berinvestasi.
Pengukuran
untuk kepemilikan publik dihitung dengan membandingkan saham yang dimiliki
publik dengan kepemilikan kurang dari 5% dengan jumlah saham perusahaan yang
beredar yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
(Sumber: Ginantra dan Putra, 2015 )
2.8 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah beberapa
penelitian terdahulu yang mengkaji tentang tidakan manajemen laba pada
perusahaan yang diringkas dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Ringkasan
Penelitian Terdahulu
No
|
Penelitian
|
Variabel
|
Alat Analisis
|
Kesimpulan
|
1
|
Ginantra
dan Putra (2015) Pengaruh
Profitabilitas, Leverage, Ukuran Perusahaan, Kepemilikan Publik, Dividend
Payout Ratio Dan Net Profit Margin pada Perataan Laba
|
Dependen:
-
Perataan laba (income
smoothing)
Independen:
-
Profitabilitas
- Financial leverage
-
Ukuran perusahaan
-
Kepemilikan publik
- Dividend payout
-
Net profit margin
|
Regresi Logistik
|
- Profitabilitas, financial leverage, ukuran
perusahaan, kepemilikan publik dan dividend payout tidak berpengaruh
terhadap manajemen laba
-
Net profit margin
berpengaruh positif terhadap manajemen laba
|
2
|
Suriyani
dkk. (2015)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba (Studi
Empiris pada
Perusahaan Manufaktur yang
Terdaftar di
BEI Periode Tahun 2008-2013)
|
Dependen:
-
Manajemen laba (discretionary
accruals)
Independen:
-
Kepemilikan
institusional
-
Dewan komisaris
independen
-
Persentase saham
publik
-
Komite audit
- Leverage
|
Regresi
Linier Berganda
|
-
Persentase saham
publik berpengaruh positif terhadap manajemen laba
-
Komite audit
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
- Kepemilikan institusional, dewan komisaris independen
dan leverage tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
|
3
|
Gunawan
dkk. (2015)
Pengaruh Ukuran Perusahaan,
Profitabilitas dan
Leverage Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
|
Dependen:
-
Manajemen laba (discretionary
accruals)
Independen:
-
Ukuran perusahaan
-
Profitabilitas
- Leverage
|
Regresi
Linier Berganda
|
-
Ukuran perusahaan,
profitabilitas dan leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen
laba
|
4
|
Raja dkk.
(2014)
Aktivitas Manajemen Laba: Analisis Peran
Komite Audit, Kepemilikan Institusional, Persentase Saham Publik dan Leverage
|
Dependen:
-
Manajemen laba (discretionary
accruals)
Independen:
-
Komite audit
-
Kepemilikan
institusional
-
Persentase saham
publik
- Leverage
|
Regresi Linier
Berganda
|
-
Komite audit,
kepemilikan institusional dan persentase saham publik berpengaruh negatif
signifikan terhadap manajemen laba
-
Leverage berpengaruh
positif signifikan terhadap manajemen laba
|
5
|
Mahariana dan Ramantha (2014) Pengaruh
Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba
Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia
|
Dependen:
-
Manajemen laba
Independen:
-
Kepemilikan manajerial
-
Kepemilikan Institusional
|
Regresi Linier Berganda
|
-
Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba
-
Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba
|
6
|
Agustia
(2013) Pengaruh Faktor Good Corporate Governance, Free Cash Flow dan Leverage Terhadap Manajemen
Laba
|
Dependen:
-
Manajemen laba (discretionary
accruals)
Independen:
-
Kepemilikan
institusional
-
Kepemilikan
manajerial
-
Ukuran komite
audit
- Leverage
-
Proporsi dewan
komisaris
- Free cash flow
|
Regresi
Linier Berganda
|
-
Leverage dan free
cash flow berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba
-
Kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, ukuran komite audit dan proporsi dewan
komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
|
7
|
Dwikusumowati
dan Raharjo (2013) Pengaruh Karakteristik Komite Audit dan Karakteristik
Perusahaan terhadap Manajemen Laba
|
Dependen:
-
Manajemen laba (discretionary
accruals)
Independen:
-
Independensi
komite audit
-
Keahlian keuangan
komite audit
- Leverage
-
Ukuran perusahaan
-
Profitabilitas
|
Regresi
Linier Berganda
|
-
Keahlian keuangan
komite audit dan profitabilitas berpengaruh terhadap manajemen laba
-
Independensi
komite audit, leverage dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba
|
8
|
Zeptian
dan Rohman (2013)
Analisis
Pengaruh Penerapan Corporate Governance, Struktur Kepemilikan dan
Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba pada Perbankan
|
Dependen:
-
Manajemen laba (discretionary
accruals)
Independen:
-
Proporsi
komisaris independen
-
Komite audit
-
Kualitas auditor
-
Kepemilikan
manajerial
-
Kepemilikan
institusional
-
Ukuran perusahaan
|
Regresi
Linier Berganda
|
-
Komisaris
independen dan kualitas
auditor berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
-
Komite audit,
kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan ukuran perusahaan tidak
berpengaruh
|
9
|
Sudibyo
Dan Sabeni (2013) Pengaruh Struktur Corporate Governance dan Ukuran
Perusahaan terhadap Manajemen Laba (Studi Empiris pada Perusahaan Jasa Non
Keuangan yang Terdaftar di BEI 2009-2011)
|
Dependen:
- Descretionary accruals
Independen:
-
Kepemilikan
institusional
-
Kepemilikan
manajerial
-
Ukuran perusahaan
|
Regresi
Linier Berganda
|
- Kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
- Ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan
|
10
|
Noviana Dan Yuyetta (2011) Analisisn
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Praktek Perataan Laba (Studi Empiris Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode 2006-2010)
|
Dependen:
-
Perataan Laba (discretionary
accruals)
Independen
-
Profitabilitas
-
Risiko Keuangan
-
Nilai Perusahaan
-
Kepemilikan
Manajerial
-
Kepemilikan
Publik
- Dividend Payout Ratio
|
Regresi
Linier Berganda
|
- Dividend Payout Ratio berpengaruh positif
signifikan terhadap discretionary accruals
-
Profitabilitas,
risiko keuangan, nilai perusahaan, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan
publik tidak berpengaruh signifikan
|
11
|
Azlina (2010)
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba (Studi
Pada Perusahaan yang
Terdaftar di
BEI)
|
Dependen:
-
Manajemen laba (discretionary accruals)
Independen:
-
Dewan direksi
- Leverage
-
Persentase saham publik
-
Ukuran perusahaan
|
Regresi
Linier Berganda
|
-
Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba
-
Dewan direksi, leverage dan persentase saham
publik tidak berpengaruh
|
2.9 Kerangka
Konsep
Berdasarkan
landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya serta permasalahan yang dikemukakan,
maka sebagai acuan untuk merumuskan hipotesis, berikut disajikan pemikiran
teoris yang yang dituangkan dalam model penelitian seperti yang ditunjukkan
pada gambar berikut:
Gambar 2.1
Kerangka
Konsep
Profitabilitas
(X1)
|
Manajemen Laba
(Y)
|
Kepemilikan Manajerial
(X2)
|
Kepemilikan Publik
(X3)
|
Dari bagan
di atas, dapat kita lihat bahwa tindakan manajemen laba dipengaruhi oleh
profitabilitas, kepemilikan manajerial dan kepemilikan publik.
2.10 Pengembangan
Hipotesis
2.10.1 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba
Profitabilitas merupakan kemampuan
perusahaan selama periode tertentu dalam menghasilkan laba. Profitabilitas
mempengaruhi manajemen laba karena perhatian investor yang besar pada tingkat
profitabilitas perusahaan dapat mendorong manajer untuk melakukan manajemen
laba.
Profitabilitas merupakan ukuran penting untuk
menilai sehat tidaknya perusahaan yang mempengaruhi investor untuk mengambil
keputusan. Perusahaan dengan tingkat profitabilitas rendah mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk melakukan manajemen laba untuk menutupi
kekurangan perusahaan tersebut dari investor. Apabila investor mengetahui
profitabilitas yang dihasilkan suatu perusahaan rendah atau tidak seperti yang
diharapkan, maka investor akan ragu untuk berinvestasi pada perusahaan. Oleh
sebab itu perusahaan akan memilih untuk melakukan manajemen laba.
Dalam
hubungan keagenan, pemegang saham tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah
sedangkan manajemen menerima kompensasi keuangan. Dengan ini manajemen akan
termotivasi untuk menggunakan keseluruhan aset yang dimiliki perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan, sehingga tingkat profitabilitasnya meningkat, maka
manajer akan memperoleh reward dengan hasil kinerja atas meningkatnya
profitabilitas perusahaan.
Berdasarkan signalling theory apabila
laba yang dilaporkan oleh perusahaan meningkat maka informasi tersebut dapat
dikategorikan sebagai sinyal baik karena mengindikasikan kondisi perusahaan
baik. Sebaliknya apabila laba yang dilaporkan menurun maka perusahaan berada
dalam kondisi tidak baik sehingga dianggap sebagai sinyal yang jelek. Sinyal
inilah yang akan menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan investor untuk
terus berinvestasi pada perusahaan atau tidak.
Pada penelitian Dwikusumowati dan
Rahardjo (2013) menyatakan bahwa profitabilitas memiliki pengaruh pengaruh
positif terhadap manajemen laba artinya semakin tinggi profitabilitas
perusahaan maka semakin tinggi kecenderungan
perusahaan melakukan tindakan manajemen laba. Tetapi berbeda dengan hasil
penelitian Ginantra dan Putra (2015) dan Gunawan, dkk (2015) menyatakan bahwa
profitabilitas tidak mempengaruhi manajemen laba.
Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H1 : Profitabilitas berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba
2.10.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap
Manajemen Laba
Kepemilikan manajerial merupakan saham
yang dimiliki oleh manajemen perusahaan, anggota dewan direksi dan dewan komisaris. Jika manajer mempunyai kepemillikan
pada perusahaan maka manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang
saham, karena manajer juga mempunyai kepentingan di dalamnya.
Dari sudut pandang teori akuntansi,
manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan, motivasi
yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda seperti
antara manajer yang sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak
sebagai pemegang saham.
Teori
agensi menyatakan hubungan principal dan agen di mana kedua belah pihak
berusaha untuk mencapai kemakmuran yang dikehendaki. Dengan adanya dua
kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan di mana masing-masing pihak
perusahaan untuk mencapai kemakmuran yang dikehendaki, sehingga terjadi asimetri informasi antara manajemen
dengan pemegang saham. Hal ini dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk
melakukan manajemen laba dalam rangka menyesatkan mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Teori
agensi ini mendukung hasil penelitian Mahariana dan Ramantha (2014) yang menyatakan kepemilikan manajerial
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
Berdasarkan
teori stewardship yang menjelaskan bahwa manajemen yang terdapat dalam
perusahaan akan memaksimalkan kinerjanya agar tujuan perusahaan tercapai. Dalam
teori stewardship memandang manajemen sebagai pihak yang dapat dipercaya
untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder.
Teori ini mendukung hasil penelitian Zeptian dan Rohman (2013) dan Agustia
(2013) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba.
Besar kecilnya jumlah kepemilikan
saham manajerial dalam perusahaan dapat mengidentifikasikan adanya kesamaan
kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Artinya semakin besar
kepemilikan manajerial maka semakin rendah
kecenderungan pihak manajemen melakukan praktik manajemen laba karena
manajer merasa ikut mempunyai perusahaan (Sudibyo dan Sabeni, 2013).
Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H2 : Kepemilikan Manajerial berpengaruh
signifikan terhadap manajemen laba
2.10.3 Pengaruh Kepemilikan Publik Terhadap Manajemen
Laba
Kepemilikan publik akan menggambarkan
jumlah saham yang beredar di masyarakat. Proporsi yang besar atas kepemilikan
saham oleh publik akan berakibat pada tingkat kepercayaan dari para investor terhadap
perusahaan tinggi, maka manajemen cenderung melakukan manajemen laba agar dapat
meningkatkan laba dan kinerja perusahaan yang baik.
Berdasarkan
teori agensi, kepemilikan publik yang tinggi akan cenderung membuat manajemen
melakukan tindakan manajemen laba. Hal ini karena publik hanya mendapatkan informasi tentang
perusahaan dari laporan keuangan dan laporan tahunan yang dibuat oleh manajemen
perusahaan. Publik juga secara individu tidak dapat mempengaruhi keputusan
manajemen dikarenakan persentase kepemilikan
atas saham perusahaan yang relatif kecil yaitu di bawah 5%.
Berdasarkan teori sinyal bahwa publik
hanya mengetahui informasi tentang perusahaan dari informasi yang disajikan
oleh pihak manajemen perusahaan dalam laporan keuangan maupun laporan tahunan
perusahaan. Sehingga dari informasi tersebut publik akan mengetahui kinerja
perusahaan dan prospek perusahaan, di mana jika kinerja perusahaan dan prospek
perusahaan baik akan membuat publik berinvestasi pada perusahaan tersebut,
begitu juga sebaliknya jika kinerja dan prospek perusahaan buruk maka publik
tidak akan berinvestasi di perusahaan tersebut.
Dalam penelitian Ginantra dan Putra (2015) menyatakan bahwa proporsi
kepemilikan publik yang tinggi dalam suatu perusahaan harus selalu dituntut untuk
menunjukkan kredibilitas yang baik dengan cara menampilkan performa laporan
keuangan yang sesuai dengan keinginan investor seperti menstabilkan rasio-rasio keuangan yang dapat
mempengaruhi keputusan investor. Hal ini dilakukan agar investor mau terus menginvestasikan
dana pada perusahaan, karena kondisi tersebut manajemen cenderung melakukan
manajemen laba agar selalu dapat menampilkan kinerja yang terbaik dalam
perusahaan. Kinerja perusahaan yang selalu baik akan mempengaruhi pada
keputusan investor untuk berinvestasi.
Suryani dkk (2015) menyatakan
persentase saham publik berpengaruh positif terhadap manajemen laba artinya
semakin tinggi persentase saham publik maka semakin besar kemungkinan
perusahaan melakukan manajemen laba.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Noviana dan Yuyetta (2011) dan Azlina
(2010) yang menyatakan kepemilikan publik atau persentase saham publik tidak
mempengaruhi tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer.
Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H3 : Kepemilikan Publik berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba
No comments:
Post a Comment