Sunday 30 August 2015

PERENCANAAN AUDIT


1.1. Penugasan Audit

Penugas an b erhubungan  dengan p elaks anaan  kegiat an pendahuluan proses audit dalam rangka untuk mengetahui kondisi lapangan atau objek audit sesungguhnya. Kegiatan utama pada tahap ini adalah pengumpulan informasi umum tentang auditi, untuk ditelaah dalam rangka menentukan sasaran audit tentantif (tentative audit objectieves) atau perkiraan permasalahan yang perlu mendapat perhatian pada tahap audit pendahuluan.
Perencanaan penugasan audit merupakan keseluruhan rencana penugasan audit untuk masa yang akan datang dan dilakukan oleh lembaga audit. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab audit, wewenang audit dan pengawasan audit secara efektif, lembaga audit seharusnya, sesuai dengan keadaan negara dan praktik audit, membuat perencanaan audit dengan membuat perencanaan secara detil untuk prinsip pelaksanaan audit, tujuan dan tugas, prioritas, implementasi pengukuran, waktu dan langkah-langkah audit.
Secara keseluruhan aktivitas persiapan penugasan meliputi:
-    penerbitan Surat Tugas,
-    koordinasi dengan Inspektorat lain,
-    pemberitahuan kepada Auditi,
-    pengumpulan informasi umum,
-    penyusunan rencana penugasan,
-    penyiapan program audit untuk audit Pendahuluan.

Pada tahap penyelesaian penugasan, auditor merangkum semua permasalahan yang ditemukan dalam suatu daftar permasalahan/ temuan, kemudian mengkonfirmasikannya kepada pihak auditi untuk mendapatkan tanggapan dan pengembangan rekomendasi untuk persetujuan dan komitmen dari menajemen mengenai permasalahan yang dikemukakan dan pelaksanaan rekomendasi tersebut. Kegiatan konfirmasi dengan pihak auditi tersebut biasanya dilakukan dalam forum pertemuan akhir atau clossing conference.


1.2. Proses Awal Audit

Proses audit atau proses awal dilakukannya audit merupakan sebuah rangkaian sistemetis. Proses dapat diartikan sebagai aktivitas mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output) yang berguna/ memiliki nilai tambah (outcome). Demikian juga dengan proses audit, dapat dipandang sebagai aktivitas pengumpulan dan evaluasi bukti-bukti yang mendukung informasi/laporan yang disajikan auditi, untuk meningkatkan keyakinan (assurance) bagi pemakainya, bahwa laporan tersebut dapat dipakai sebagai dasar untuk pengambilan keputusan.

Tabel 3.1. Proses Audit

Input
Proces
Output/Outcome

Informasi/Laporan dari auditan dan bukti-bukti yang mendukungnya
Evaluasi kesesuaian informasi dengan bukti pendukung dan kriteria penyusunannya
Laporan Hasil Audit dan memperkuat keyakinan user dalam pengambilan keputusan
Sumber: STAN (2007).

Proses audit di atas cenderung mengacu pada pengertian audit keuangan, yang bertujuan untuk menilai layak dipercaya atau tidaknya laporan keuangan yang disajikan auditi. Namun secara konseptual, pengertian proses audit tersebut berlaku pula untuk audit kepatuhan dan audit operasional, karena walaupun memiliki tujuan berbeda, sebelum melakukan analisis lebih lanjut, pada awalnya auditor perlu memastikan lebih dahulu kebenaran nilai populasi yang terkait dengan kegiatan yang diaudit, seperti banyaknya sumber daya yang digunakan dan hasil yang diperoleh. Setelah itu barulah dilakukan evaluasi lebih lanjut sesuai tujuan audit, misalnya:
  • Pada pemeriksaan ketaatan atas ketentuan pengadaan barang dajasa, kegiatan audit dimulai dengan pengumpulan data mengenai frekuensi, volume dan nilai pengadaan yang akan diuji. Setelah itu barulah dilakukan pengujian mengenai ketaatan prosedur pengadaan tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Pada pemeriksaan operasional pemberian salah satu jenis perizinan, auditor terlebih dahulu mengumpulkan informasi mengenai volume dan nilai pendapatan retribusi dari pemberian izin tersebut. Setelah itu baru melakukan pengujian mengenai keekonomisan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan operasional pemberian izin tersebut.


Disamping itu, sebagai aktivitas mengolah masukan menjadi keluaran, proses audit juga dapat diartikan sebagai urut-urutan kegiatan dari awal sampai akhir. Secara umum proses audit internal dapat dikelompokkan dalam;
a)  Persiapan penugasa
b)  Audit pendahuluan
c)  Pelaksanaan pengujian. 
d)  Penyelesaian penugasan.
e)  Pelaporan dan Tindak Lanjut.

 1.3. Materialitas

Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.
Pernyataan FASB No. 2 mendefinisikan materialitas sebagai jumlah atau besarnya kekeliruan atau salah saji dalam informasi akuntansi yang, dalam kaitannya dengan kondisi yang bersangkutan, mungkin membuat pertimbangan pengambilan keputusan pihak yang berkepentingan berubah atau terpengaruh oleh salah saji tersebut.
Materialitas juga didefinisikan dalam International Accounting Standard. Menurut standar ini, informasi dipandang sebagai material bila disajikan salah atau tidak disajikan dapat mempengaruhi keputusan-keputusan ekonomis yang diambil oleh pengguna laporan yang mendasarkan keputusan-keputusannya sebagian pada informasi dalam laporan keuangan.
Materialitas bergantung pada ukuran pos atau kesalahan dan bergantung pada situasi-situasi tertentu yang melingkup kesalahsajian atau peniadaan informasi. Oleh karena itu, materialitas lebih merupakan pemberian suatu batasan daripada suatu karakteristik kualitatif primer yang harus dimiliki oleh informasi yang berguna. Definisi ini pada kenyataannya sulit diterapkan oleh auditor dalam praktik. Definisi ini memberikan penekanan kepada pengguna yang penuh pertimbangan (reasonable users) dalam menggunakan laporan keuangan untuk pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, auditor harus memiliki pemahaman tentang pengguna laporan keuangan dan keputusan-keputusan yang mereka buat. Dalam suatu audit keuangan, tujuan audit adalah memungkinkan auditor menyatakan opininya apakah laporan keuangan, dalam hal-hal yang material, disajikan sesuai dengan standar akuntansi. Dengan demikian, penilaian apakah sesuatu itu material merupakan pertimbangan profesional. Tujuan penetapan materialitas adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup.
Oleh karena itu auditor bertanggungjawab untuk menentukan apakah terdapat salah saji yang material dalam laporan keuangan, maka jika terdapat penemuan salah saji material, mereka harus membuatnya menjadi perhatian klien sehingga dapat dilakukan koreksi atas salah saji tersebut. Jika klien menolak untuk mengoreksi salah saji tersebut, maka auditor harus menerbitkan opini wajar dengan pengecualian atau tidak wajar. Langkah-langkah Penerapan Materialitas:

(1) Menetapkan pertimbangan materialitas awal
PSA 25 (Sa 312) mengharuskan auditor untuk memutuskan jumlah gabungan salah saji dalam laporan keuangan yang akan mereka anggap material diawal pengauditan bersamaan dengan ketika mereka mengembangkan strategi audit secara keseluruhan kita mengacu hal tersebut sebagai perimbangan materialitas awal.
Pertimbangan  materialit as awal merupakan  jumlah maksimal dimana  auditor  yakin dapat ter jadi s a lah s aji terhadalaporan keuangan namun  tidak mempengaruhi keputusan-keputusan  para pengguna yang rasional. Auditor menetapkan pertimbangan materialitas awal untuk membantunya merencanakan pengumpulan bukti-bukti audit yang tepat.
Makin kecil jumlah rupiah dalam penilaian awal, makin banyak jumlah bukti audit yang harus dikumpulkan. Selama melakukan audit, auditor sering kali mengubah pertimbangan materialitas awal. Kita mengistilah hal tersebut sebagai penilaian materialitas yang direvisi. Auditor kemungkinan akan membuat revisi karena perubahan dalam salah satu faktor yang digunakan dalam menentukan penilaian awal.

(2) Mengalokasikan pertimbangan materialitas awal ke setiap bagian pengauditan.
Pengalokasian pertimbangamaterialitas awal kesetiap bagian merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena auditor mengumpulkan bukti audit perbagian dibandingkan dengan laporan keuangan secara keseluruhan. Jika para auditor memiliki penilaian materialitas awal untuk setiap bagian, hal itu akan membantu mereka dalam memutuskan bukti audit yang tepat untuk dikumpulkan.
Un tu k  s u a tu  a k u n  piut ang  d a g a ng  d e n g a n  s a l d o Rp.1.000.000.000.000,-. Misalnya, auditor harus mengumpulkan lebih banyak bukti audit jika salah saji tersebut Rp.50.000.000,- dianggap material daripada jika salah saji tersebut sebesar Rp.300.000.000,- dianggap material. Auditor menghadapi 3 (tiga) kesulitan utama berikut dalam mengalokasikan materialitas ke dalam akun-akun neraca:
  • Auditor memperkirakan akun-akun tersebut memiliki salah saji yang lebih banyak dibandingkan dengan akun-akun lainnya.
  • Baik lebih saji maupun kurang saji harus dipertimbangkan
  • Biaya audit relatif mempengaruhi alokasi tersebut.


(3) Mengestimasikan salah saji total disetiap bagian pengauditan 
Ketika para auditor melakukan prosedur audit untuk setiap bagian pengauditan, mereka menyimpan kertas kerja dari semua salah saji yang ditemukan. Salah saji dalam satu akun dapat berbentuk satu dari dua jenis ini, yaitu Salah saji yang diketahui adalah salah saji dimana auditor dapat menentukan jumlah salah saji dalam akun tersebut. Contohnya ketika mengaudit aset tetap, auditor mungkin mengidentifikasikan adanya kapitalisasi aset yang disewa yang seharusnya dibebankan karena merupakan kegiatan sewa operasi.


1.4. Risiko Audit

Auditor menerima beberapa level risiko atau ketidakpastian dalam menjalani fungsi pengauditan. Auditor mengakui misalnya adanya ketidakpastian bawaan dalam ketepatan bahan bukti, ketidakpastian dalam efektivitas pengendalian internal klien, dan ketidakpastian mengenai apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar ketika audit telah selesai dilaksanakan.
Auditor yang efektif mengakui bahwa risiko-risiko muncul dan menangani risiko-risiko tersebut dengan cara yang tepat. Sebagian besar risiko yang dihadapi auditor sulit untuk diukur dan membutuhkan  pertimbangayang besar sebelum auditor dapat menanganinya dengan tepat. Menangani risiko dengan tepat merupakan hal yang penting untuk mencapai audit yang berkualitas tinggi.
Standar kedua pekerjaan lapangan mengharuskan auditor untuk mendapatkan pemahaman atas entitas dan lingkungan bisnis klien, termasuk pengendalian internalnya untuk menilai risiko salah saji material dalam laporan keuangan klien.
Auditor menangani risiko dalam perencanaan bukti audit umumnya dengan menggunakan model risiko audit. Model ini berasal dari literatur profesional dalam PSA 26 (SA350) tentang pengujian sampel audit dan dalam PSA 25 (SA312) tentang materialitas dan risiko.
Model ini dinyatakan sebagai berikut: PDR = AAR / (IRXCR)
Di mana,
PDR = Risiko deteksi yang direncanaka
AAR = Risiko audit yang dapat diterima
IR = Risiko bawaan
CR = Risiko pengendalian

Dibawah ini disajikan contoh perhitungauntuk dibahas, meskipun sering kali tidak memungkinkan untuk mengukur dengan angka setepat contoh perhitungan di bawah ini.
IR = 100% CR = 100% AAR = 5% Maka:
PDR = 0,05 / (1 X 1) = 0,05 atau 5%

Jenis-jenis Risiko menurut  Andrewa (2013: http://www.mdp. ac.id):

1)  Risiko Deteksi yang direncanakan (Planned Detection Risk)
Risiko Deteksi yang direncanakan merupakan risiko di mana bukti audit untuk suatu bagian tidak mampu mendeteksi salah saji yang melebihi salah saji yang dapat diterima. Terdapat dua hal yang penting untuk mengetahui risiko deteksi yang direncanakan:
  • Risiko deteksi yang direncanakan bergantung pada tiga faktolainnya dalam model tersebut. Risiko ini hanya dapat berubah jika auditor mengubah salah satu risiko dalam model risiko audit tersebut.
  • Risiko deteksi yang direncanakan menentukan jumlah bukti substantif yang direncanakan dikumpulkan oleh auditor, yang berbanding terbalik dengan ukuran risiko deteksi yang direncanakan.

Jika risiko deteksi audit yang direncanakan dikurangi maka auditor harus mengumpulkan lebih banyak bukti audit untuk mencapai pengurangan risiko yang direncanakan. Dalam contoh perhitungan angka sebelumnya, risiko deteksi yang direncanakan (PDR) sebesar 0,05 berarti bahwa auditor merencanakan untuk mengumpulkan bukti audit sampai risiko salah saji melebihi salah saji yang dapat diterima berkurang menjadi 5%. Jika seandainya risiko pengendalian (CR) adalah 0,5 dan bukan 1 risiko deteksi yang direncanakan (PDR) akan menjadi 0,10 sehingga bukti yang direncanakan menjadi berkurang.

2)  Risiko Bawaan (Inherent Risk)
Risik o  ba waa n  men g uk ur  p enila ia n  a udi t o r  a t as kemungkinan terdapatnya salah saji material (baik kecurangan maupun kesalahan) dalam sebuah bagian pengauditan sebelum mempertimbangkan efektivitas pengendalian internal klien. Jika auditor menyimpulkan bahwa kemungkinan salah saji tinggi tanpa mempertimbangkan pengendalian internal, auditor akan menyimpulkan bahwa risiko bawaannya adalah tinggi.

Pengendalian internal diabaikan dalam dalam menetapkan risiko bawaan karena pengendalian internal dianggap terpisah dari model risiko audit sebagai risiko pengendalian. Risiko bawaan berbanding terbalik dengan risiko deteksi yang direncanakan dan berbanding lurus dengan bukti audit.
Contoh :  pada siklus persediaan dan pergudangan di mana risiko bawaan tinggi sehingga mengakibatkan risiko deteksi yang direncanakan lebih rendah dan makin banyak bukti audit yang harus dikumpulkan dibandingkan jika risiko bawaanya lebih rendah.

3)  Risiko Pengendalian (Control Risk)
Risiko pengendalian mengukur penilaian auditor mengenai apakah salah saji melebihi jumlah yang dapat diterima di suatu bagian pengauditan akan dapat dicegah atau dideteksi dengan tepat waktu oleh pengendalian internal klien. Anggaplah auditor menyimpulkan bahwa pengendalian internal klien seluruhnya tidak efektif untuk mendeteksi salah saji. Sehingga auditor akan memberikan faktor risiko untuk risiko pengendalian tinggi bahkan mungkin 100%. Makin efektif pengendalian internal, makin rendah faktor risiko yang dapat diberikan pada risiko pengendalian. Model risiko audit menunjukkan hubungan yang erat antara risiko bawaan dan risiko pengendalian.
Sebagai contoh suatu risiko bawaan sebesar 40% dan risiko pengendalian 60% akan memengaruhi  risiko deteksi yang direncanakan dan bukti audit yang direncanakan, sama seperti halnya jika risiko bawaan 60% dan risiko pengendalian 40%. Dalam kedua kasus tersebut perkalian IR dan CR menghasilkan akan pembagi dalam model risiko audit sebesar 24%. Menurut PSA 25 (SA 312) gabungan dari risiko bawaan dan risiko pengendalian dinamakan risiko salah saji material (Risk of Material Misstatement).
Hubungan antara risiko pengendalian daan risiko deteksi yang direncanakan adalah berbanding terbalik, sedangkan hubungan

antara risiko pengendalian dan bukti substantif berbanding lurus. Jika auditor menyimpulkan bahwa pengendalian internalnya efektif, risiko deteksi yang direncanakan dapat dinaikkan sehingga bukti audit dapat diturunkan. Auditor dapat menaikkan risiko deteksi yang direncanakan ketika pengendalian internal efektif karena pengendalian yang efektif akan mengurangi kemungkinan salah saji dalam laporan keuangan.

4)  Risiko Audit yang dapat Diterima (Acceptable Audit Risk)
Risiko audit yang dapat diterima mengukur tingkat kesediaan auditor untuk menerima kemungkinan adanya salah saji dalam laporan keuangan setelah audit telah selesai dijalankan daan opini wajar tanpa pengecualian telah diterbitkan. Ketika para auditor memutuskan risiko audit yang dapat diterima lebih rendah mereka menginginkan untuk lebih yakin bahwa tidak ada salah saji dalam laporan keuangan. Risiko nol merupakan kepastian dan risik100% merupakan ketidakpastian mutlak. Keyakinan mutlak (risiko nol) atas keakuratan laporan keuangan tidak mungkin dilakukan.


1.5. Penjadwalan Audit

Tin gkat r i sik o det eksi ya n g dapat  di t e r i ma  mu n g kin mempengaruhpenentuawaktu pengujian. Jika tingkat risiko deteksi tinggi, pengujian substantif dapat dilakukan beberapa bulan sebelum akhir tahun. Sebaliknya pada saat risiko deteksi rendah, pengujian substantif dilakukan pada atau mendekati tanggal neraca. Akan tetapi terdapat kemungkinan bertambahnya risiko audit sampai tanggal neraca. SAS No. 45 tentang Substantive Test Prior to Balance Sheet Date menyebutkan bahwa kondisi yang memberikan kontribusi pada pengendalian risiko adalah:
  1. Pengendalian intern yang efektif selama periode tersisa.
  2. Tidak ada kondisi yang mendorong manajemen untuk melakukan salah saji dalam laporan keuangan selama periode tersisa
  3. Saldo akhir tahun dari akun yang telah diuji pada tanggal interim dengan pertimbangan yang tepat, dapat diprediksi dalam hal jumlah, signifikansi relatif serta komposisi
  4. Sistem akuntansi auditan dapat memberikan informasi mengenai transaksi yang tidak biasa maupun fluktuasi yang signifikan selama periode tersisa tersebut.


Jika kondisi di atas tidak terpenuhi, maka akun tersebut harus diuji pada tanggal neraca. Akan tetapi dalam praktik, auditor tidak akan melakukan pengujian substantif terhadap seluruh asersi dalam suatu akun. Misalnya, auditor dapat melakukan pemeriksaan fisik terhadap persediaan auditan pada tanggal interim untuk memenuhi asersi eksistensi. Tetapi auditor baru akan memperoleh nilai pasar setelah tanggal neraca untuk memenuhi asersi penilaian.

Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal