Saturday 5 September 2015

AUDIT SAMPLING

Dalam melaksanakan audit, seorang auditor tidak mungkin memeriksa seluruh bukti audit yang jumlahnya sangat banyak, maka dari itu auditor dapat memilih beberapabukti audit dengan mengambil beberapa sampel. Ketika memilih sampel dari popuasi, uditor berusaha untuk memperoleh sampel yang representatif. Sampel representatif (representative sample) adalah sampel yang karakteristiknya hampir sama dengan yang dimiliki oleh populasi.ini berarti item item yang dijadikan sampel populasi serupa dengan item item yang tidak dijadikan sampel.

Dalam praktek, auditor tidak pernah mengetahui apakah suatu sampel bersifat representatif, bahkan setelah semua pengujian selesai dilakukan. Satu satunya cara untuk mengetahui apakah suatu sampel bersifat representatif adalah dengan melakukn audit lebih lanjut atas populasi secara keseluruhan. Akan tetapi, auditor dapat meningkatkan kemungkinan sampel dianggap representatif dengan menggunakannya secara cermat ketika merancang proses sampling, pemilihan sampl, dan evaluasi sampel. Hasil sampel dapat menjadi non-representatif akibat kesalahan non-sampling atau kesalahan sampling. Risiko dari dua jenis kesalahan yang terjadi tersebut disebut sebagai risiko non-sampling dan risiko sampling. Keduanya dapat dikendalikan.

Risiko non-s ampling (non-sampling r isk) adalah r isiko bahwa pengujian audit tidak menemukan pengecualian yang ada dalam sampel. Prosedur audit yang tidak efektif untuk mndeteksi pengecualian uang diragukan adalah dengan memeriksa sampel dokumen pengiriman dan menentukan apakah masing-masing telah dilampirkan ke faktur penjualan, dan bukan memeriksa sampel salinan faktur penjualan untuk menentukan apakah dokumen pengiriman telah dilampirkan. Dalam kasus ini auditor telah melakukan pengujian dengan arah yang salah karena memulainya dngan dokumen pengiriman dan bukan salinan fakturpenjualan. Prosedur audit yang dirancang dengan cerma, instruksiyang tepat, pengawasan, dan review merupakan cara untuk mengendalikan risiko non-sampling.

Risiko sapling (sampling risk) adalah risiko bahwa auditor mencapai kesimpulan yang salah karna sampel populasi yang tidak representatif. Risiko sampling adalah bagian sampling yang melekat akibat pengujian lebih sedikit dari populasi secara keseluruhan. Jika populasi sebenarnya memiliki tingkat pengecualian, uditir menerima populasi yang slah karenaa sampel tidak cukup mewakili populasi.

1.1. Pengertian Umum Sampling

Dalam setiap pelaksanaan audit baik keuangan maupun operasional, auditor selalu dihadapkan dengan banyaknya bukti-bukti transaksi yang harus diaudit dengan waktu audit yang sangat terbatas. Sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, auditor berkepentingan dengan keabsahan simpulan dan pendapatnya terhadap keseluruhan isi laporan dan/atau kegiatan yang diauditnya (BPKP, 2008).

Mengingat tanggung jawab ini, maka auditor hanya akan dapat menerbitkan laporan yang sepenuhnya benar, jika dia memeriksa seluruh bukti transaksi. Namun demikian, hal ini tidak mungkin dilakukan. Per tama, dari segi waktu dan biaya hal ini akan memerlukan sumberdaya yang sangat besar. Kedua, dari segi konsep, audit memang tidak dirancang untuk memberikan jaminan mutlak bahwa hasil audit 100% sesuai dengan kondisinya. Oleh karena itu, auditor harus merancang cara untuk mengatasi hal tersebut. Cara yang dapat dilakukan auditor adalah hanya memeriksa sebagian bukti yang ditentukan dengan cara seksama, sehingga bisa untuk mengambil kesimpulan secara menyeluruh.
Hal ini dapat dilakukan dengan metode sampling audit. Dengan cara demikian maka audit dapat dilakukan dengan biaya dan waktu yang rasional. Jadi digunakannya metode pengujian dengan sampling audit diharapkan auditor dapat memperoleh hasil pengujian yang objektif dengan waktu dan biaya yang minimal, sehingga pekerjaan audit bisa efektif dan efisien.

1.2. Teknik Sampling

Teknik sampling dalam audit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: menggunakan Metode Statistik atau disebut “sampling statistik” dan Tanpa Menggunakan Metode Statistik atau disebut “sampling non statistik”. Perbedaan antar keduanya dapat dirumuskan sebagai berikut:

Metode
Sampling

Sampling Statistik

Sampling Non Statistik


Analisis
Menggunakan rumus/formula statistik, sehingga judgment yang akan digunakan harus dikuantifikasi lebih dahulu sesuai kebutuhan formula

Tidak menggunakan rumus/ formula statistik, sehingga judgment yang akan digunakan tidak perlu dikuantifikasi
Pemilihan Sampel
Harus acak (random)
Boleh acak, boleh pula tidak

Kedua bentuk sampling tersebut memiliki perbedaan, keduanya juga miliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kedua pendekatan ini dapat digunakan dalam audit, karena tidak ada satu pihakpun yang dapat menjamin bahwa salah satu di antara keduanya lebih baik dari yang lain. Namun, dibandingkan dengan sampling non statistik, sampling statistik lebih mudah dipertanggungjawabkan, karena formulanya sudah baku dan diterima oleh kalangan akademisi secara umum.

Sesuai dengan sifat datanya, sampling terdiri atas dua jenis: Sampling Atribut dan Sampling Variabel. Sampling Atribut adalah metode sampling yang meneliti sifat non angka (kualitatif ) dari data, sedangkan Sampling Variabel adalah metode sampling yang meneliti sifat angka (kuantitatif ) dari data. Dalam audit, sampling atribut biasanya digunakan pada pengujian pengendalian, sedangkan sampling variabel biasanya digunakan pada pengujian substantif.

Metode yang digunakan pada sampling atribut biasanya mencakup metode sampling atribut (attribute sampling), metode sampling penemuan (discovery/explanatory sampling), dan metode sampling penerimaan (acceptance sampling). Sedangkan metode yang biasanya digunakan pada sampling variabel mencakup metode sampling variabel sederhana (classical variable sampling atau mean per unit estimation) dan metode sampling satuan mata uang (monetary unit sampling atau probability proportional to size sampling).


1.3. Menentukan Sampling

Dalam merancang sebuah sampel auditor harus mempertimbangkan hal-hal berikut (Murwanto dkk, (2007):

a) tujuan-tujuan audit yang harus dipenuhi dengan menguji item sampel, dan
b) atribut dari populasi darimana sampel akan diambil

Dalam bukunya Murwanto dkk (2007) menyebutkan bhawa Tujuan audit menentukan prosedur audit apa yang akan dilakukan. Dalam melakukan prosedur audit, auditor perlu mendefinisikan sampai sejauh mana adanya salah saji dapat mempengaruhi populasi yang akan digunakan dalam sampling.
Sebagai contoh jika tujuan dari pengujian pengendalian intern berhubungan dengan pembayaran untuk meyakinkan apakah surat perintah pembayaran telah diotorisasi dengan benar dan prosedur pengendalian intern auditan mensyaratkan otorisator untuk membubuhi surat perintah pembayaran dengan tanda tangan, maka prosedur audit yang tepat adalah memeriksa (vouch) apakah sampel dari kopi surat perintah pembayaran telah dibubuhi tanda tangan otorisator.

Dalam kasus ini tidak adanya tanda tangan otorisator dalam surat perintah pembayaran mengindikasikan terjadinya salah saji dan populasi yang diperiksa adalah seluruh kopi surat perintah pembayaran selama satu periode akuntansi. Apabila tujuan dari pengujian substantif adalah untuk menguji apakah jumlah total dalam surat perintah pembayaran telah benar dikalikan dan dijumlahkan, maka prosedur audit yang tepat adalah menghitung kembali (reperform) perkalian dan penjumlahan dalam sampel dari kopi surat perintah pembayaran. Dalam kasus ini, salah saji adalah kesalahan aritmetis dalam perkalian dan penjumlahan dan populasi yang diperiksa sekali lagi adalah seluruh kopi surat perintah pembayaran selama satu periode akuntansi.

Bila auditor menggunakan statistical sampling method, maka risiko sampling, kesalahan yang dapat ditoleransi, dan perkiraan kesalahan dalam populasi telah diperhitungkan dalam metode sampling tersebut. Apabila auditor menggunakan judgmental sampling method, maka auditor perlu untuk mempertimbangkan ketiga faktor ini dalam menentukan jumlah sampel.

Langkah auditor selanjutnya setelah menentukan jumlah sampel adalah menentukan bagaimana item sampel tersebut akan dipilih. Auditor harus memilih item sebagai sampel dengan harapan bahwa semua unit dalam populasi memiliki kesempatan untuk dipilih. Statistical sampling mensyaratkan item sampel dipilih secara acak sehingga setiap unit sampel memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Unit sampel dapat berupa item fisik misalnya faktur pembelian atau berupa unit moneter.

Apabila digunakan metode non statistik, auditor menggunakan penilaian profesionalnya untuk memilih item sebagai sampel. Karena tujuan pengambilan sampel adalah untuk menarik kesimpulan mengenai keseluruhan populasi, auditor akan berusaha semaksimal mungkin untuk memilih sampel yang representatif dengan memilih sampel yang memiliki karakteristik yang sama dengan populasi dan memilih sampel sedemikian rupa hingga dapat menghindari bias. Terdapat beberapa metode pemilihan sampel audit. namun metode yang sering digunakan dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu pemilihan secara acak (random selection) dan pemilihan tidak acak (non-random selection).

1.4. Judmental Sampling

Sampel dipilih berdasarkan penilaian auditor bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel auditnya. Misalnya untuk memperoleh data tentang bagaimana satu alporan keuangan yang diaduit, maka bagian keuangan merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.

Judgmental sampling mengacu pada penggunaan teknik samping dalam keadaan di mana auditor mengandalkan pada penilaiannya sendiri dalam menentukan:

a) berapa besar sampel yang harus diambil;
b) item-item yang mana dari populasi yang harus dipilih;
c) apakah diterima atau tidak keandalan populasi berdasarkan hasil yang diperoleh dari pemeriksaan unit sampel.

Metode sampling ini memiliki keuntungan yang lebi h dibandingkan statistical sampling yaitu lebih cepat dan lebih murah dalam aplikasinya. Dan juga metode ini memungkinkan auditor untuk memasukkan ke dalam prosedur sampling penyisihan/cadangan untuk faktor-faktor dari hasil tahapan audit sebelumnya, contohnya hasil dari pemahaman atas pengendalian intern auditan.

Akan tetapi tidak seperti statistical sampling, metode ini tidak menyediakan perhitungan risiko sampling, penilaian auditor harus dapat dipertanggungjawabkan, dan kesimpulan yang diambil berkaitan dengan sampel dapat sulit dipertahankan. Selanjutnya ketika menggunakan judgmental sampling adalah hal yang sulit untuk tidak menghasilkan bias berkaitan dengan ukuran sampel, item yang dipilih dan kesimpulan yang diambil atas populasi.

1.5. Tahapan Sampling Audit

Seperti dikutif dari modul BPKP (2008), langkah-langkah sampling dibagi dalam enam tahap:
1) Menyusun Rencana Audit
Kegiatan sampling audit diawali dengan penyusunan rencana audit. Pada tahap ini ditetapkan:
  • Jenis pengujian yang akan dilakukan, karena berpengaruh pada jenis sampling yang akan digunakan. Pada pengujian pengendalian biasanya digunakan sampling atribut, dan pada pengujian substantif digunakan sampling variabel. 
  • Tujuan pengujian, pada pengujian pengendalian untuk menelit i derajat ke andalan p engendalian, s e dang kan pengujian substantif tujuannya meneliti kewajaran nilai informasi kuantitatif yang diteliti. 
  • Populasi yang akan diteliti, disesuaikan dengan jenis dan tujuan pengujian yang akan dilakukan. 
  • Asumsi-asumsi yang akan digunakan dalam penelitian, terutama yang diperlukan untuk menentukan unit sampel dan membuat simpulan hasil audit, seperti tingkat keandalan, toleransi kesalahan, dan sebagainya. 
2) Menetapkan Jumlah/Unit Sampel
Tahap berikutnya adalah menetapkan unit sampel. Jika digunakan metode sampling statistik, unit sampel ditetapkan dengan menggunakan rumus/formula statistik sesuai dengan jenis sampling yang dilakukan. Pada tahap ini hasilnya berupa pernyataan mengenai jumlah unit sampel yang harus diuji pada populasi yang menjadi objek penelitian.

3) Memilih Sampel
Setelah diketahui jumlah sampel yang harus diuji, langkah selanjutnya adalah memilih sampel dari populasi yang diteliti. Jika menggunakan sampling statistik, pemilihan sampelnya harus dilakukan secara acak (random).


4) Menguji Sampel

Melalui tahap pemilihan sampel, peneliti mendapat sajian sampel yang harus diteliti. Selanjutnya, auditor menerapkan prosedur audit atas sampel tersebut. Hasilnya, auditor akan memperoleh informasi mengenai keadaan sampel tersebut.

5) Mengestimasi Keadaan Populasi
Selanjutnya, berdasarkan keadaan sampel yang telah diuji, auditor melakukan evaluasi hasil sampling untuk membuat estimasi mengenai keadaan populasi. Misalnya berupa estimasi tingkat penyimpangan/kesalahan, estimasi nilai interval populasi, dan sebagainya.

6) Membuat Simpulan Hasil Audit
Berdasarkan estimasi (perkiraan) keadaan populasi di atas, auditor membuat simpulan hasil audit. Biasanya simpulan hasil audit ditetapkan dengan memperhatikan/membandingkan derajat kesalahan dalam populasi dengan batas kesalahan yang dapat ditolerir oleh auditor.

Jika kesalahan dalam populasi masih dalam batas toleransi, berarti populasi dapat dipercaya. Sebaliknya, jika kesalahan dalam populasi melebihi batas toleransi, populasi tidak dapat dipercaya. Tahapan sampling audit di atas harus dilakukan secara berurutan, karena tahapan yang lebih awal merupakan dasar bagi melakukan aktivitas tahap berikutnya. lni merupakan peringatan bagi kita, bahwa kesalahan pada salah satu tahap, akan mengakibatkan kesalahan beruntun pada tahap-tahap berikutnya.




Sumber : Buku Audit Sektor Publik Anis Rachma Utary & Muhammad Ikbal

No comments:

Post a Comment